Oleh: Zahra Riyanti
Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM
BARU-baru ini sebuah gagasan atau tren baru tengah viral dan hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan di sosial media, yakni ‘passport bros‘ yang konon saat ini sedang digandrungi oleh pria barat. Menurut Urban Dictionary, passport bros dapat diartikan sebagai seorang pria yang biasanya dari Amerika tengah mencari istri atau pasangan dari luar negaranya.
Hal ini karena mereka merasa wanita di negaranya tidak lagi menghormati mereka, dan cenderung arogan. Seringkali mereka juga disebut dengan istilah ‘manosfer‘ karena pandangan yang strict dan anti terhadap perempuan-perempuan barat tadi. Komunitas ini seringkali di-hype dalam kajian counterpart isu-isu perempuan dan feminisme dalam berbagai level oleh para feminist.
Passport bros sendiri secara faktual adalah fenomena pria Amerika (White man) memilih melakukan travelling ke luar negeri khususnya ke Asia dan Afrika untuk mencari seorang wanita yang bisa menjadi pasangannya. Dalam anggapan para pria barat ini, wanita dari negara berkembang seperti Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika Utara dan Selatan memiliki indikator perempuan idaman yang layak diperistri karena jiwa penurut dan santun. Ini disebabkan karena kultur dan peradaban Asia dan Afrika dianggap lebih soft, elegan dan feminin dibanding perempuan barat yang terkesan kasar, gold digger dan sedikit maskulin.
Perempuan di Amerika sendiri menilai bahwa pria-pria yang melakukan passport bros ini tidak cukup mampu mendapatkan pasangan di negaranya sendiri baik secara keuangan, kecerdasan dan lain-lain. Para pria dinilai hanya ‘cari aman’ dengan menikahi perempuan Asia atau Afrika yang mudah diatur dan memperlakukan pria sebagai raja, tetapi dengan motif ekonomi di baliknya alias mata duitan.
Di samping itu juga banyak terjadi kasus penganiayaan dan perdebatan yang melibatkan pasangan pria dan wanita yang telah menikah di negeri paman sam ini. Sehingga banyak wanita Amerika mengklaim jika para pria Amerika hanyalah berorientasi pada seks dan menjadikan wanita Amerika sebagai budak seks saja, bukan untuk dididik dan memberikan kasih sayang dan cinta.
Kemudian daripada itu, tren satu ini memang sudah merajalela dan menggejala pada separuh besar laki-laki Amerika seperti sebuah kanal Tribe of Men, yang berbasis di San Francisco Bay Area yang pernah mengangkat beberapa wanita Asia yang mau menikahi pria asal Amerika untuk berkisah. Kisah-kisah mereka mendapat sambutan antusiasme penonton yang pernah mengalami hal serupa. Salah satunya pria Amerika yang menikah dan tinggal di Filipina, dan kini dia hidup bahagia dengan anak-anaknya.
Ketua Bidang Kajian Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Dr Dinar Dewi Kania, memberikan respons datar, ia tidak terlalu kaget dengan fenomena passport bros. Sebelum ramai, beberapa teman Muslim-nya di Amerika Serikat juga telah mengadukan hal sama. Menurutnya, fenomena ini juga dipicu oleh gerakan feminisme. “Ini juga di antara dampak pengaruh-pengaruh feminisme,” kata Dinar.
Ibarat seperti pisau bermata dua, passport bros di satu sisi menjadi hal yang dirasa membanggakan wanita Asia karena disenangi para pria Amerika, tapi di sisi yang lain, tujuan para lelaki barat ini justru merendahkan dignity para perempuan Asia/Afrika secara tidak langsung, karena upaya mereka mencari partner bukanlah menjadikannya sebagai istri atau teman hidup semata yang menenangkan jiwa dan hati, namun untuk memudahkan berbagai urusan penafkahan karena wanita Asia dianggap tidak banyak embel-embel dan tidak banyak maunya.
Klaim ini sesungguhnya bentuk diskriminasi luar biasa secara tidak sadar karena menggeneralisir tuduhan semua wanita barat itu sama saja, padahal belum tentu begitu. Adapun wanita Asia lebih sederhana dan tidak banyak maunya pun tidak demikian final, sebab kita hidup di alam demokrasi yang sekularistik yang tujuannya serba materislistik dan hedonis.
Meskipun demikian, kita tidak bisa memandang remeh jenuhnya para lelaki Amerika ini. Pasalnya, ini mencermikan adanya kegundahan hati yang belum tertuntaskan, dilematis dan sikap agresif dalam upaya menemukan pasangan yang cocok secara kejiwaan merupakan perkara yang lumrah, sebab Allah telah menciptakan naluri-naluri pada manusia untuk disalurkan dengan cara yang layak dan sesuai.
Baik pria atau wanita pastinya menginginkan rumah tangga yang damai dan sentosa, juga pastinya butuh pasangan yang sesuai dengan fitrah kelaki-lakianya atau keperempuanannya, sehingga ini bukanlah sebuah kesalahan dan bukan juga tercela. Namun pula keinginan dan niat hati untuk menjadi Bos dalam rumah istrinya dan berharap disantuni bak raja di singgasana juga senang memerintah pun tidak dapat dibenarkan, sebab hubungan suami istri itu adalah hubungan persahabatan, bukan atasan dan bawahan, apalagi seperti penguasa kepada rakyatnya yang sarat hirarki antar keduanya, bukan sama sekali.
Sehingga di dalam Islam, setiap lelaki dan perempuan akan dibangun kesadaran berpikir bahwasannya tujuan utama mencari pendamping hidup adalah semata-mata karena ibadah dan menggapai ridha Allah. Adapun yang non Muslim, terlepas dari cara pandang akidahnya, Islam akan membentuk dan mengarahkan kepribadian mereka untuk berburu segala kesenangan terhadap wanita yang sesuai fitrahnya dan tidak memberi mudarat yang besar.
Selain itu, poin utamanya adalah menciptakan peradaban yang kondusif, di mana Pemimpin Islam (Khalifah) akan memberikan edukasi yang bersifat permanen dan preventif karena melalu jalur sistem pendidikan Islam dan sistem sosial Islam, di mana akan membentuk insan laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur, berperilaku sehat, terjaganya interaksi antar lawan jenis dan jauh dari clash serta tidak terjadi bias gender, sehingga ketika mencari pasangan tidak lagi ada keraguan ataupun merasa dilema.
Akhirnya seluruh pemandangan dalam negeri Islam hanya tersisa kedamaian dan ketenangan, sebab tupoksi manusia telah dijalankan oleh masing-masing mereka. Masyarakat tersibuki dengan agenda membangun peradaban, bukan mandek hanya pada persoalan cari pasangan hidup atau segala derivatnya. Bukan juga hanya stuck pada aktivitas saling meninggikan martabat gender antar pria wanita, sehingga mereka tenggelam dalam diskursus yang mebebalkan lagi memusingkan. (*)