Oleh: Zahra Riyanti
Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM
JELANG pesta politik 2024, Indonesia tengah tenggelam dalam gebyar menyambut pemilu Presiden dan caleg. berbagai macam agenda mulai dihelat dari adu argumentasi Paslon dalam debat terbuka, mendekor jalanan dan tempat-tempat khalayak umum dengan beragam spanduk hingga bendera partai, blusukan dan nawacita para kandidat di mana-mana, tak kalah penting para tim sukses yang sangat totalitas membujuk hati rakyat setelah sekian purnama dicampakkan, juga manuver dan kampanye politik kerap menghiasi berbagai platform dari waktu ke waktu hingga black money dan sentimenisme di antara para simpatisan yang tak terelakan.
Pemandang di atas bukan sebuah fenomena baru ini sudah menjadi ritual biasa setiap 5 tahunan sekali. Namun ada hal lain yang menarik perhatian dan bikin pangling yakni sejumlah pejabat daerah tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya untuk ikut Caleg pada 2024 mendatang. Seperti Nama-nama kepala daerah yang sudah terdaftar di KPU antara lain Bupati Lebak Iti Jayabaya, Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat, Wali Kota Parepare Taufan Pawe dari Golkar, Wali Kota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe, dan Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman dari PKB.
Kemudian ada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dari Partai NasDem, Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy dari Perindo, Bupati Tanah Laut Sukamta, Bupati Merangin Mashuri, dan Wakil Bupati Merangin Nilwan Yahya, serta Wakil Wali Kota Serang Subadri dari PPP. Nama-nama tersebut belum final. Kemungkinan masih akan ada lagi kepala daerah yang menyusul.
Hal ini dilakukan demi mengejar jabatan anggota dewan yang dianggap strategis dan menggiurkan, oleh karenanya sudah menjadi ketentuan hukum para pejabat daerah ini harus menaggalkan jabatan lama agar bisa berkontestasi dalam pemilu nanti. Seperti yang tertuang dalam Aturan pemilu Pasal 240 Ayat (1) huruf k menyebutkan, “Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.” Dengan demikian, para kepala daerah tersebut harus meninggalkan jabatannya.
Fenomena ini pun menjadi perhatian Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono. Arfianto menilai pencalonan kepala daerah menjadi anggota legislatif (aleg) merupakan bagian dari strategi parpol untuk menggaet suara rakyat. Parpol menilai mereka adalah kader terbaik yang sudah mengikat hati rakyat. Namun menjadi problem besar dari hasrat memburu posisi di pemilu ini yaitu tupoksi dan tanggung jawab para pejabat di daerahnya masih sangat jauh dari amanah. Banyak problem yang menimpa daerah masing-masing yang belum terselesaikan, renstra kepemimpinan sesuai janji pun belum tertunaikan, padahal pengangkatan jabatan memiliki banyak konsekwensi salah satunya masa jabatan yang tertera pada regulasi yang ada itu yang harusnya dijalankan bukan memilih hengkang untuk mengejar nafsu jabatan atau ego kekuasaan.
Sayangnya, pemahaman di atas tidak berlaku dalam sistem demokrasi. Demokrasi, melalui kebijakan yang dibuat para wakil rakyat, membuka keran selebar-lebarnya bagi para pemimpin daerah untuk meninggalkan jabatannya. Sebab Undang-undang memfasilitasi hal itu sehingga mereka gampang meninggalkan amanah.
Kondisi ini tengah mempertontonkan kepada kita bahwa aturan dalam demokrasi bisa dirancang dan di format sesuai kepentingan. Ada fenomena ingin berkuasa sehingga disediakanlah aturan untuk memudahkannya. Inilah akibatnya jika kita menyerahkan pembuat aturan itu kepada manusia. Masing-masing mempunyai tendensi dan kepentingan. Sehingga, ketika mereka medesign sebuah aturan, yang diakomodasi adalah tujuan dan kepentingan pribadi, bukan rakyat.
Dari fenomena ramai-ramainya para kepala daerah mendaftar jadi caleg sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa itu semua adalah strategi parpol, bahwasanya parpol akan mendapat keuntungan besar saat kadernya dapat masuk menjadi aleg. Di antara keuntungan tersebut yakni karena aleg memiliki otoritas dalam membuat aturan. Ini akan menjadi jalan untuk mewakilkan kepentingan masing-masing parpol atau orang yang ada di baliknya. Seperti pernyataan baru-baru ini oleh aleg bahwa untuk membuat aturan harus ada persetujuan ketua partai terlebih dulu.
Selain itu aturan presidential threshold telah mensyaratkan partai yang mau mengusung calon presiden dan wakil presiden harus memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Aturan ini membuat parpol mengejar suara rakyat. Ketika dapat memenuhi kuota ambang batas itu, mereka akan mudah untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Kemudian keuntungan yang lain adalah adanya fasilitas yang “wah” bagi aleg. Inilah alasan utama para pejabat itu mengejar posisi aleg dengan sebegitu getolnya karena selain gaji pokok, mereka juga mendapatkan tunjangan dan fasilitas fantastis. Pada masa sekarang, hal ini tentu sangat menggiurkan. Tidak heran jika mantan koruptor pun ikut ramai menyerbu gedung perwakilan rakyat.
Fakta dari alasan alasan di atas harusnya membuat rakyat sadar bahwa tujuan parpol dan kadernya mengikuti pemilu bukanlah sebatas untuk kepentingan rakyat, namun demi memenuhi nafsu berkuasa dan materi untuk kenikmatan pribadi. Kalau saja ada yang tulus untuk rakyat, suara mereka pasti kalah telak.
Ini tentunya berbeda secara diametral dengan Islam. Islam memiliki pandangan unik lagi khas soal kepemimpinan. Seperti yang telah dicontohkan oleh sang uswah Rasulullah saw tentang pemimpin yang baik. Dan itu dicontoh oleh para penerus kepemimpinan beliau yakni Khulafah Rasyidin, Bani Umayyah hingga Daulah Utsmani. Pengaturan Islam terkait pemimpin ini kemudian dianalogikan seperi seorang penggembala yang akan diminta pertanggungjawaban atas yang gembalaannya, yakni rakyat. Oleh karena itu, pemimpin wajib menggembala, mengurusi, melindungi, dan mengayomi semua rakyat tanpa terkecuali.
Kepemimpiman Islam di masa lalu telah membuktikan bahwa para sahabat dan penguasa di masa itu tidak berhasrat menduduki kursi kepemimpinan. Mereka tahu persis betapa beratnya konsekuensi yang akan mereka terima. Seperti Umar bin Khaththab ra. sepeninggal Abu Bakar ra. berkata, “Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul.”
Sehingga ketika mereka terpilih menjadi pemimpin, mereka akan sangat berhati-hati dan menjalankan amanahnya. Bahkan, mereka meminta rakyat agar tidak sungkan untuk meluruskannya seperti pesan Umar ra “Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf nahi mungkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-Saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara sekalian.”
Ini membuktikan bahwa Islam tidak akan membiarkan kepentingan pribadi menjadi tujuan pemerintahan dan kekuasaan bahkan Islam juga tidak akan mengizinkan orang yang serakah atau tidak taat syariat menjadi seorang pemimpin. Islam sangat ketat secara regulasi dalam menentukan kriteria seorang pemimpin.
Dengan demikian bicara pemimpin dan kepemimpinan tidak akan kita jumpai seseorang yang akan menyepelekan amanahnya dan meninggalkan jabatannya hanya karena ingin mendapat keuntungan sesaat seperti saat ini. Penjagaan seperti ini hanya bisa terlaksana apabila ada di bawah sistem pemerintahan Islam yang agung, bukan sebagaimana ada dalam demokrasi kini. (*)