Oleh: Nimbrot Lasa, SH
Ketua DPD GMNI Maluku Utara
TELAH tumbuh subur politisasi SARA (Suku, Agama, Ras dan antar golongan) dan politik uang setelah reformasi 1998, momentum dimana kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Alhasil sampai hari ini semua golongan bisa secara partisipatif bisa berkolaborasi untuk mengusulkan hak-hak politik maupun mendelegasikan keterwakilan sebagi aktor di panggung politik.
Harapan terbesar adalah dengan adanya ruang bagi semua golongan, tentunya butuh suatu peraturan yang mengatur pola perpolitikan dalam setiap kali ajang konstentan pemilu bisa memberi makna bahwa demokrasi masih saja subur.
Kembali ke gelanggang politik nasional hingga daerah pada setiap kali pesta demokrasi atau pemilihan umum yakni Pilpres,Pilkada dan juga Pileg yang digadang-gadang bisa membawa siklus demokrasi pada aktifitas pemilihan tersebut, tetapi belumlah maksimal. Beberapa kali dalam pemilihan umum seringkali saja terjadi yang namanya politik uang dan juga politisasi SARA.
Tentunya hal ini tidak diberikan tanggung jawab penuh pada Bawaslu melalui PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) semata, melainkan semua komponen harus terlibat dalam menyukseskan pemilihan umum ini. Dengan rasa tanggung jawab menjalankan amanah demokrasi, dan itu datang dari tokoh agama, tokoh adat maupun partai politik, agar terus ikut mengevaluasi tindakan-tindakan yang menjurus ke hal yang menjadi kerusakan nilai demokrasi.
Dalam aspek regulasi yang telah menjadi panutan dalam prosedur penyelenggara pun dinilai belum komperehensif, sebagaimana yang diatur dalam pasal 280 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang hanya memuat tentang kampanye yang dilarang menghina, menghasut, mengadu domba, dan menggunakan kekerasan. Dalam mekanisme kampanye, secara mendasar dari makna pasal tidak memuat kongklusi yang menyasar tepat pada politik uang maupun politisasi SARA, alhasil UU ini masih belum menjadi rujukan secara penuh, sebab sifatnya tidak kondisional.
Untuk di Maluku Utara sendiri, sudah tentu ada elemen yang menjadi garda depan dalam mendukung kinerja KPU dan Bawaslu, terutama tokoh adat dan tokoh agama, agar menuju pemilu 2024 nanti tidak menjermuskan masyarakat pada konflik horizontal. Hal ini juga sangat membahayakan. Sementara dilihat dari index kerawanan pemilu, Maluku Utara salah satunya dari 15 provinsi di Indonesia, (Antaranews.com). Namun dalam periode kali ini, perlu ditinjau kembali UU Pemilu yang bisa memberi supermasi hukum yang benar beriringan dengan situasi yang ada di lapangan.
Kalau dilihat kesinambungan antara regulasi misalkan, UU Pemilu dan UU Pilkada No 10 Tahun 2016 sangat tidak resonansif atau senyawa, alhasil implikasinya masih saja terjadi yaitu politik uang maupun politisasi SARA. UU Pemilu No 7 Tahun 2017 terlalu lemah dalam hal ketentuan pasal yang menekan pada aspek kecurangan pemilu, sementara UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jelas-jelas memberi sinyal bagi siapa saja yang melakukan proses transaksi uang untuk kepentingan politik akan dihukum.
Dinamika seperti ini seharusnya menjadi catatan yang harus bisa diselesaikan lewat UU Pemilu. Jika tidak, UU No 7 Tahun 2017 ini hanya sekadar jadi bayangan semata, bukan wujud dari sistem proteksionisme demokrasi. Terutama di Maluku Utara yang masih rawan dengan konflik akibat pemilu. Sejauh ini belum bisa ditolelir secara normatif yang mengacu pada PKPU terkait upaya-upaya politik uang dan politisasi SARA. Jikalau benar-benar upaya pengendalian itu ada, dan adanya kekuatan hukum yang bergerak sesuai fakta lapangan, seharusnya kelemahan pasal dalam UU No 7 Tahun 2017 ini di dorong ke Mahkama Agung, apa pun konsekuensinya.
Sebab dengan adanya indikator wilayah yang rentan dengan kecurangan seperti terjadi sebelumnya, misalkan di Maluku Utara, sudah harus masuk pada pertimbangan umum, dengan tujuan jangan sampai hal ini menjadi suatu kebudayaan tersembunyi yang kerap kali dilakukan. Faktor utama yang mendorong untuk disiplin dalam proses pemilihan umum adalah menjaga integritas bangsa dan demokrasi warga negara serta keutuhan integritas penyelenggara pemilu maupun badan pengawasan pemilu.
Dengan demikian, masyarakat juga diharapkan mampu menilai dan memahami betul dengan mekanisme kampanye seperti itu akan merugikan serta lebih mudah terjadinya konflik antar golongan dls. Harapan terbesar adalah masyarakat sudah mampu melawan jika terjadi hal-hal demikian dan itu sifatnya menghasut atau menawarkan uang untuk mendulang suara, sebab dari sinilah masyarakat sudah menyuburkan ruang demokrasi.
Di sisi lain, UU Pemilu maupun Pilkada tetap ditinjau terus agar masalah yang terjadi d ilapangan serentak dapat diatasi, dan itu perlu panutan regulasi yang kuat, tidak boleh lemah, sebab sangat berbahaya sampai berujung pada konflik maupun sengketa politik yang tidak berkesudahan. Pada akhirnya menciptakan kehamronisan, kekeluargaan dan kerukunan warga masyarakat menjadi tidak baik. (*)