Opini  

Kurangnya Pemahaman Mengenai Mental Health

Rizkika Mukam.

Oleh: Rizkika Mukam

Mahasiswi Prodi KPI IAIN Ternate

DI era modern ini, sering sekali terjadinya gangguan mental pada remaja. Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health, survey tahun 2022 sekitar 15,5 juta (34,9%) remaja Indonesia mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5%) remaja mengalami gangguan mental. Dan dari jumlah itu baru 2,6% yang mengakses layanan konseling.

Kesehatan mental itu sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup seseorang, dan orang pertama yang paling berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang anak adalah keluarganya. Banyak  sekali orang tua yang menganggap remeh terhadap kesehatan mental anak, bahkan di antara mereka ada yang menjadi faktor utama terjadinya kerusakan mental terhadap anak mereka. Karena apa yang mereka lakukan adalah hanya sekadar menilai, bukan mamahami apa yang terjadi pada anak mereka.

Bahkan yang mereka lihat adalah dari fisik anak mereka, selama fisik anak baik-baik saja dan tidak terluka, maka mereka menganggap bahwa anak mereka baik-baik saja, padahal anak mereka terluka secara mental. Masalah mental yang disebabkan oleh keluarga bisa jadi karena kaluarga yang broken home. Keluarga yang rusak karena keegoisan orang tua, maka anak yang akan menanggung dampak dari keegoisan itu.

Anak-anak yang punya keluarga rusak biasanya akan menyalahkan kehadiran mereka di dunia ini, mereka akan menyalahkan diri dan akan bertanya. Kenapa mereka lahir? Mereka adalah beban, mereka adalah penyebab kehancuran keluarga mereka sendiri. Orang tua yang harusnya menjadi support system anak malah menjadi penghancur mental yang sangat kuat buat anak mereka.

Maka sebagai orang tua, cobalah untuk memahami anak kalian, jangan biarkan anak merasa sendiri ketika dia menghadapi masalah-masalah yang ada. Selain itu juga gangguan mental bisa terjadi dari lingkungan, kejadian traumatis, fisik, teman, dll.

Saat ini banyak sekali terjadi kasus bullying di lingkungan masyarakat maupun di sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari Januari hingga April 2023, terdapat 58 anak yang menjadi korban kekerasan. Selain itu, Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan dan Anak) mencatat ada 1.665 kasus kekerasan fisik /psikis anak di 2022, bentuk kekerasan terhadap anak dilaporkan juga sangat beragam. Salah satunya yakni bullying atau perudungan yang merupakan kekerasan verbal.

Bahkan anak-anak SD pun sudah menjadi pelaku bullying. Hal ini patut dipertanyakan peran orang tua di rumah dan guru yang ada di sekolah, bagaimana cara mendidik anak-anak mereka untuk menjadi anak-anak yang baik sehingga tidak menjadi pelaku bullying. Anak-anak pelaku bullying ini harus diajarkan cara menghargai orang lain, dan perlu diedukasikan tentang kesehatan mental sejak dini baik di sekolah maupun di rumah.

Karena para pelaku bullying merasa apa yang mereka lakukan terhadap orang lain itu bukan masalah besar dan mereka lakukan tanpa memikirkan dampak apa yang akan terjadi kepada korban. Korban bullying akan selalu mengingat kenangan buruk hingga mereka besar. Hal itu mengganggu ke psikologi mereka, mereka akan berpikir mereka adalah orang-orang yang tidak pantas untuk hidup di dunia ini.

Yang awalnya korban pembulliyan mencoba untuk berdamai dengan keadaan atau mencoba untuk mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepadanya, tapi karena lingkungan yang tidak mendukung dan sering membuli anak tersebut, maka dia merasa insecure dengan kondisi fisik yang dia punya saat ini. Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kepercayaan diri, sehingga terjadinya overthinking berlebihan  dan menyebabkan masalah mental yang terjadi pada diri anak tersebut.

Hal ini menjadi masalah yang cukup serius, karena ini menyangkut  masalah mental dan nyawa seseorang. Luka fisik mungkin ada obatnya, sedangkan luka batin sangat susah dicari obatnya. Luka secara mental sangat berpengaruh terhadap masa depan anak.  Sekarang ini banyak sekali anak muda yang melakukan tindakan bunuh diri. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar di banding data resmi. Ada banyak faktor pemicu, di antaranya karena masalah keluarga, beban pendidikan, hingga bullying di lingkungan mereka.

Orang-orang yang melakukan bullying terhadap orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji, karena ini adalah menyangkut hal kemanusiaan. Harusnya kita sebagai  manusia mempunyai adab sehingga mampu memperlakukan orang dengan secara manusiawi. Mulai dari sekarang didiklah anak-anak kalian sebaik mungkin, perhatikan pergaulan anak  agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang salah, karena lingkungan pergaulan itu sangat berpengaruh terhadap pola pikir anak. (*)