Oleh: Basri Amin
Parner di Voice of HaleHepu
KITA makin menyaksikan bahwa demokrasi terasa lebih hidup dan dinamis di rumah-rumah kopi. Kenapa? Di sana ada dialog dan pertukaran rasa yang tak pernah habis. Bahasa “Warung Kopi” (BWK) mewakili dunia sehari-hari yang bersentuhan langsung dengan kesan-kesan pembebasan, dalam arti siapa saja bisa menggunakan pola-pola (tindak) bahasanya.
Kehadiran jenis bahasa WK tidak disertai dengan hadirnya “kuasa” tertentu yang berperan sebagai rujukan wajib bagi semua pihak. Anda bisa membangun “kepentingan” dan “kelompok” sendiri yang konstan di posisi (meja) warung kopi yang Anda sukai dan di waktu yang Anda sepakati atau gemari. Lokasi WK-nya pun bisa Anda atur atau pilih sendiri, di sudut-sudut kota, di pinggiran pasar, di kompleks pertokoan, di coffee house atau di cafe (ternama!). Terserah!
Di WK, siapa saja bisa menjadi ‘pemegang kuasa’ dalam memandu percakapan tanpa harus menunggu pembenaran dan permintaan dari pihak lain. Anda bahkan bisa menyela berulang atau memberikan ulasan-tandingan untuk satu topik yang kebetulan berpindah-pindah dari satu meja ke meja yang lain. Atau, untuk satu topik yang sedang viral, dst. Kendati gejala ini tidak berlaku sepanjang waktu dan di setiap ruang, serta dilakukan semua anggota “Masyarakat Warung Kopi” (MWK), tetapi ia adalah kaidah bersama yang diakui keberlakuannya. Di balik itu semua, terkesan bahwa “kebebasan berbicara” sebagai prinsip dasar ke-publik-an dikerjakan terbuka dan ber-dialektika (Lippmann, 1999).
Di sini, keterjangkauan fisik atau suara dan keterkaitan “perhatian isu” yang menarik orang per orang menjadi faktor penentu. Dalam hal ini, aktualitas tema/isu berperan sebagai pemicu “tindak bahasa” yang berlaku di masyarakat WK. Di luar itu, sebagaimana berlaku di setiap bentuk pergaulan antar manusia, rasa kewajaran, kenyamanan antar pribadi dan kecukupan ruang serta praduga-praduga kompromi tetaplah secara naluriah menjadi pertimbangan komunikasi.
Bagaimanapun, masyarakat warung kopi adalah perkembangan lanjutan dari bentuk-bentuk pergaulan yang terwadahi oleh ruang bersama yang melebari variannya di luar wilayah privat bernama rumah atau ruang kerja bernama kantor, pasar, sport, dst. Peran WK justru mengisi ‘ruang bebas’ yang melampaui norma tunggal yang umumnya berlaku di ruang-ruang privat, asosiasi-profesi, dan kerja-organisasi. Kehadirannya cenderung disederhanakan sebagai pembentuk “waktu luang”, hal mana sesungguhnya tengah diwadahi oleh sejumlah ruang perjumpaan dengan fungsi yang berbeda-beda.
Tak heran kalau kehadiran cafe dan hasrat sekelompok orang membentuk kelas-sosial dan citra-diri antara lain terpantul sebagiannya melalui gaya hidup di tempat-tempat makan-minum, lokasi santai (nongkrong), dst. Untuk tema seperti ini, pemikir sosial Amerika-berdarah Jerman seperti Jürgen Habermas membahasnya sejak akhir 1980an dengan menggunakan data sejarah Eropa jauh ke belakang di abad ke-18, ketika pembentukan “bangsawan kota” membesar dan meluas, di mana posisi “ruang keluarga” mulai menggelisahkan banyak orang dan membentuk/menyesuaikan ruang-ruang baru (di dalam dan di sekitar rumahnya), semata-mata agar merasakan kebutuhan baru bernama: “keterbukaan pergaulan, kebutuhan bahasa yang berbagi cerita…dan kekerabatan baru…” di luar keluarga utama.
Sejak awal 2000-an di banyak kota kecil dan menengah di negeri ini, telah tumbuh “permintaan” khsusus untuk ruang-ruang (waktu luang!) yang berkarakter seperti yang dialami Eropa di abad ke-18 itu, kendati dengan kesenjangan wawasan yang jauh berbeda karena kota-kota kita tidak mengalami masa-masa “ledakan bacaan”, klub-klub diskusi dan debat, dan komunitas ‘surat-surat…’. Bangsa kita loncat ke dunia hiburan, penonton, dan oralitas.
Satu di antaranya yang terbesar memediasi hasrat seperti itu adalah “dunia wisata, perjalanan, atau hiburan”. Tak heran kalau tarikan bisnis di sektor tersebut telah membentuk pergumulan ekonomi baru yang jejaring kerja dan dampaknya sangat luas dan kait-mengait dewasa ini. Di sini, sektor “sumberdaya alam” dan “aset budaya” begitu terdepan digerus otonominya atas nama (pembangunan) ekonomi wisata dan penghiburan.
Gejala serupa, dengan tarikan yang setara dengan “ekonomi waktu luang” di tempat-tempat lain di sektor wisata dan hiburan, ternyata beroleh pemaknaan yang khas di warung-warung kopi. Skalanya tentu beda dan tipologi pasarnya cenderung sangat lokal, tetapi satu hal yang paradoks adalah karena terdapat banyak fakta bagaimana warung-warung kopi tertentu yang cenderung (rentan) sekarat level pertumbuhannya karena tidak didukung oleh tata kelola dan kepesertaan yang sehat (banyak orang berutang, pembebanan tambahan kepada pemilik –listrik, ruang, dst–). Juga, sebagiannya terkesan ‘gagal membentuk’ karakter fungsi ruang publiknya.
Karakter Warung Kopi sangat tipikal: pasarnya lokal, bahkan terkadang sangat personal. Dampak positifnya adalah ikatan (partisipasi) ekonomi yang relatif lebih menentu sehingga akumulasi pertumbuhan harian lebih mudah terkontrol, antara lain karena “loyalitas” pelanggan yang terlanjur beroleh kedekatan khusus di setiap warung kopi di suatu kawasan atau site tertentu.
Warga warung kopi sudah terbiasa membangun rotasi waktu dan ritme kehadiran yang lebih terpola, demikian juga dengan perannya dalam membangun citra dan dalam memacu penambahan pelanggan baru –baik yang temporer maupun yang potensial menjadi loyalis W.K–. Soal loyalitas tentu saja relatif karena setiap orang berhak berpindah-pindah dan mencoba-coba tempat-tempat baru dengan alasan yang rasional (lokasi, fasilitas, harga, suasana, rasa, dst).
Masyarakat Warung Kopi (MWK, Raharjo, 1997: 87-93) membenarkan hukum bersama dan dalil kesetaraan –-termasuk dalam urusan distorsi informasi dan perkara mobilisasi propaganda—di ruang-ruang publik. Gerak dan ekspresi (di Warung Kopi) sudah tahu sama tahu. Di dalamnya tidak mensyaratkan “aturan baku” tertentu, termasuk soal-soal ketatnya hal-hal “yang baik dan yang benar” dalam mengungkapkan sesuatu. Apakah MWK akan menentukan karakter (baru) bagi demokrasi kita di Pemilu 2024? Kita serahkan kepada mereka dan kepada publik, agar demokrasi tidak menjadi pesta basa-basi. (*)
Penulis adalah Parner di Voice of HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com