Oleh: Rifan Basahona
Ketua Umum KAMMI Komisariat IAIN Ternate
APA yang terjadi di realitas saat ini, itulah yang menggambarkan watak dan keadaan manusia hari ini, karena pada hakekatnya segala bentuk antagonisme yang terjadi di kolong langit ini peranannya adalah manusia. Sehingga secara lahiriah manusia telah diberikan segala bentuk potensi yang membawanya berada di atas satu tingkat dari makhluk yang lain dan juga menjadikan ia sebagai khalifah atau pemimpin.
Dengan demikian, kewenangan itu membawanya untuk membuat rekayasa yang kemudian menggambarkan keadaannya sendiri.
Sehingga pada posisi ini manusia harus menyadari bahwa otoritas yang diberikan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya, ia juga harus menyadari bahwa untuk melanjutkan kehidupnya tidak bisa dikerahkan secara individualistik, akan tetapi ia membutuhkan setiap komponen yang ada disekitarnya untuk menjadi perekatnya, baik itu sesama manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam itu sendiri, dan hal itu telah menjadi fakta yang seharusnya dan tidak bisa dipertimbangkan.
Karenanya sejak awal manusia itu berasal dari satu kemudian berkembang secara biologis menjadi dua, tiga, bahkan lebih, sehingga terbentuklah suatu kelompok (suku), kemudian suku itu bertemu menjadilah satu bangsa/negara, kemudian negara itu bertemu menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai peradaban dunia, mungkin singkatnya demikian reinkarnasi dari perjalanan umat manusia.
Dalam perjalanan itu ada satu variabel yang menghendaki perpaduan tersebut, dalam teori sosiologi menjelaskan bahwa rantai yang menghendaki pertemuan itu adalah keinginan untuk mencapai satu tujuan yakni memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara materiil maupun immateril.
Kehendak untuk mencapai satu tujuan itu yang kemudian menjadi rantai pengikat untuk bersatu.
Hal ini bisa kita saksikan dalam bangsa kita sendiri. Secara historis Indonesia sebelum menjadi satu bangsa, terdiri dari beragam perbedaan baik secara geografis, etnis, agama maupun yang lain. Secara geografis, bangsa Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 yang di atasnya dihuni sekitar 300 etnis dan 6 Agama. Keanekaragaman suku bangsa Indonesia inilah yang semenjak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang majemuk sehingga para founding father dalam merumuskan bangsa ini mengambil semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetap satu untuk menjadi kekuatan dalam menjalankan bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka.
Bangsa Indonesia sendiri dikenal di mata dunia sebagai satu bangsa yang unik, karena walaupun hadir dengan beragam corak namun kita bisa saling merangkul bersatu dalam kekuatan politik ekonomi untuk mengusir kolonialisme yang menjajah dengan beratus tahun lamanya. Mungkin kita hendak membuka kembali lembaran kelam sejarah sekitar beberapa tahun yang lalu di kala bangsa-bangsa Eropa telah kekurangan rezekinya, sehingga kemudian dengan spirit kolonialismenya menyebar ke bangsa-bangsa yang bertumpuk rezekinya, salah satuanya di Asia dan dijadikan sebagai lumbung pemuasan rezekinya.
Semenjak bertahun-tahun, orang-orang Eropa menjajah negeri Asia, berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke saku negeri Eropa, terutama Eropa Barat yang makin hari makin kaya dengan harta serakahnya membuat mereka semakin yakin bahwa dengan ini mereka akan semakin menjadi negara super power dunia, dan tidak memikirkan sebaliknya bahwa dengan keserakahan mereka itu akan menimbulkan satu akumulasi kekuatan besar yang akan merombak keserakahan itu dan mereka juga tidak sadar bahwa keserakahan mereka itu akan menimbulkan keinsyafan yang menyadarkan rakyat-rakyat yang mereka jajah. Sebab orang tak gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.
Mereka juga tidak sadar bahwa walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, tapi spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih terus bergelora dan tidak pernah surut. Keinsyafan atas keserakahan itu juga yang menjadi roh pergerakan rakyat Indonesia. Dalam pandangan Bung Karno yang menjadi ruh dari gerakan kemerdekaan Indonesia itu juga berbeda-beda yakni di antaranya ada yang mempunya tiga sifat: Nasionalisme, Islamisme dan Marxsisme. Soekarna, (2018. 11). Namun mereka telah meyakini bahwa comon enemy mereka satu yaitu kolonialisme.
Bung Karno mengatakan bahwa mencari keterkaitan ketiga sifat itu mungkin agak berbeda dalam pandangan teoritisnya, namun sama-sama memiliki tujuan dan semangat yang sama, yakni sama-sama ingin menumbangkan keserakahan kolonialisme. Sehingga tiga pandangan ini dalam satu negara jajahan tak guna berseteruan antara satu dengan lainya. Seharusnya tiga pandangan ini menjadi satu untuk melahirkan satu kekuatan besar dalam menumbangkan kolonialisme dan kapitalisme yang ada, itulah yang seharusnya menjadi diskursus kita saat ini, karena kita sama-sama punya satu semangat yakni membebaskan manusia dari setiap kesewenangan maupun penindasan yang ada.
Sedari dulu kita telah meyakini secara bersama bahwa yang menjadi musuh sebenarnya adalah kolonialisme yang sekarang berubah menjadi kapitalisme. Jadi antara Islamisme, Nasionalisme, Marxsisme punya spirit dan tujuan yang sama bahwa segala bentuk tindakan manusia yang mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif merupakan satu bentuk perbuatan yang melenceng daripada hakikat manusia untuk hidup bersama, dan pada klimaksnya akan membentuk kesenjangan dalam setiap kelas sosial yang ada dalam masyarakat.
Paham seperti ini yang sering digenjot oleh kapitalisme ini. Kapitalisme? Yah, inilah musuh kita yang sebenarnya yang ingin penulis katakan dalam tulisan ini. mereka hadir dengan paham yang menghendaki kepentingan individu daripada kepentingan kolektif masyarakat, paham yang berbasis akumulasi modal sebanyak-banyaknya dengan mempekerja orang lain dan hasilnya untuk kepentingan individu atau kelopok tertentu. Cukup adakan alat kerja yang canggih kemudian berikan kepada orang lain untuk bekerja dalam hal ini kaum buruh dan kaum tani, sehingga mereka tinggal duduk santai dan menerima hasilnya dan hasil itu harus lebih daripada orang yang mereka pekerjakan.
Tindakan represif, intimidasi, kriminalisasi masih kita saksikan di mana-mana dan hal ini banyak terjadi pada masyarakat yang sering memperjuangkan hak mereka untuk menjaga daripada kedaulatan sumberdaya yang dirampas oleh para kapitalisme dan investor asing, dan anehnya negara tidak pernah berpihak kepada mereka, selalu saja negara menghadirkan alat-alatnya untuk menjadi tameng pelindung daripada korporasi dan kapitalisme tersebut.
Saat ini kita bisa katakan Indonesia telah merdeka, namun secara faktual praktek lama kolonialisme itu masih tumbuh subur di negeri ini dengan nama yang baru yakni kapitalisme, sejauh mata memandang terlihat seluruh kekayaan alam yang dimiliki dikuasai oleh para oligarki dan para investor asing dan sebagai pribumi kita hanya memiliki namanya. Kita punya parlemen seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun semua itu berada di bawah kuasa kapitalisme sehingga tidak salah dalam setiap perumusan regulasi sangat sedikit yang berpihak kepada rakyat.
Walaupun secara jelas dalam konstitusi kita mengatakan bahwa Indonesia menganut negara demokrasi, namun terlihat bahwa setiap kebijakan negara hari ini masih berpihak pada kapitalisme dan pasar bebas. Mungkin sedikit meminjam argumentasi dari Noreena Herzt, bahwa hegemoni kapitalisme global telah merampas independensi dari suatu negara secara politik dan ekonomi. Sehingga walaupun negara sering mengkampanyekan soal demokrasi, namun pada akhirnya setiap agenda-agenda negara masih terikat dari permainan kapitalisme, terutama dalam proses pemilihan umum, berapa banyak anggaran yang dikucurkan para kapitalisme untuk pelaksanaannya dan masih banyak agenda-agenda negara yang lain yang sering dikucurkan dana oleh para kapitalisme, sehingga semua kehendak daripada kapitalisme harus dituruti oleh negara.
Keprihatinan inilah yang seharusny menjadi musuh bersama kita, sudah cukup kita berseteruan antara kebenaran suatu cara pandang yang pada akhirnya kita saling bertengkar antara satu dengan lainnya yang tidak pernah mendapat jalan temunya karena memang pada dasarnya berangkat dari epistemologi yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya kita semua telah menghendaki bahwa musuh sama dan hanya satu. Mungkin gambaran singkat tentang sejara perjalanan kita di atas bisa menjadi ibrah bahwa untuk mencapai suatu tujuan kita mesti bersatu. Dan hari ini telah kita bersepakat bahwa bangsa ini harus merdeka yang sebenar-benarnya secara lahir maupun batin. Maka dari itu, segala bentuk perbuatan yang tidak menghendaki keniscayaan itu maka ialah yang harus menjadi musuh kita secara bersama.
Kalau para pendiri bangsa ini bisa bersatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda, kenapa hari ini kita tidak bisa mewariskan akan hal itu. Kita bisa saksikan juga betapa kelapangan hati mereka ketika merumuskan pancasila sebagai dasar negara yang pada saat itu ada yang berpandangan agamais, nasionalis, sosialis komunis, namun mereka bisa bersatu. Hal inilah yang seharusnya dicontohkan oleh kita sebagai orang-orang yang mengaku sebagai generasi penerus bangsa hari ini. (*)