Oleh: Basri Amin
JIKA Anda menemukan seseorang atau sekelompok orang yang terbiasa mencari dan membahas “kehidupan dan perangai” orang lain, dan/atau kehidupan dia sendiri, keduanya bisa dikatakan sebagai gejala gosip. Tak heran kalau banyak persahabatan yang terbentuk dan terus bertahan justru dimulai dari kesenangan (bersama) ber-gosip tentang hal-hal yang mencocokan satu-sama lain.
Dalam gosip, objek dan tema adalah keniscayaan. Dalam prosesnya, istilah “rahasia” tak begitu berlaku. Motif bisa beda-beda! Tapi semuanya harus dibagi bersama dan setiap orang selalu berusaha “mengumpul materi gosip” untuk dibagi satu-sama lain. Satu-sama lain saling menunggu dan menyirami bumbu –-kadang-kadang dikobarkan dengan spekulasi, sirkulasi, dan simulasi narasi.
Dengan begitu, kita bisa membayangkan betapa banyak dan panjangnya “cerita” yang setiap saat-siap dibagi dan dinikmati bersama oleh civitas gosip itu. Dalam prosesnya, klarifikasi etis dan verifikasi logis sama sekali bukan kebutuhan.
Ketidakpahaman tentang pengertian dan alasan-alasan yang dimiliki setiap orang dalam mengerjakan sesuatu, atau dalam keterlibatannya dalam sebuah jejaring pekerjaan dan kepentingan, membuat kita membicarakannya tanpa reservasi nalar dan respek. Padahal, meskipun semua orang dan semua hal yang terjadi di sekitar kita bisa kita percakapkan dengan bebas serinci-rincinya, kita tak boleh lupa tentang pertumbuhan (diri) kita sendiri, agar selalu respek dan merangkai basis etika yang mencerahkan.
Bukankah setiap orang mempunyai “belang” dan rahasia (cacat) hidup?.
Banyak pertemanan yang dibangun di atas kebiasaan bersama untuk bergosip dan memelihara kesenangan membagi apatisme dan sinisme. Pertemanan seperti ini dipelihara melalui kebiasaan menemukan kasus, tema, dan objek-objek yang dijadikan sasaran sepihak. Membagi rahasia pun akhirnya menjadi ‘penentu’ persahabatan. Jika Anda menerima seseorang sebagai teman, itu artinya Anda pun haruslah bersedia membagi “rahasia” Anda dan/atau membagi dan melacak rahasia orang lain secara bersama.
Di sinilah gosip berpotensi destruktif. Meskipun gosip adalah “kegiatan membicarakan tentang kehidupan” dalam skala terbatas, tapi pembicaraan itu sendiri lebih banyak pada “apa yang terjadi” berdasarkan kesaksian masing-masing orang. Celakanya, kebanyakan orang lebih asyik dengan “rumor” daripada ber-gosip. Apa yang disenangi adalah percakapan-percakapan sinis dan upaya memutar kabar-kabar yang akurasinya lemah, bahkan (sengaja) dibuat sedemikian rupa untuk tujuan yang buruk: merendahkan, menjatuhkan atau menyakiti.
Kita ditakdirkan menjadi makhluk yang banyak berkata-kata. Di media sosial, sirkus berkata-kata itu menikmati panggung besarnya. Di sisi lain, gejala keseringan meng-update pikiran dan perasaan, pembahasan yang serba melebar di media sosial –disadari atau tidak— berpotensi mempertebal “kedangkalan” etika dan logika.
Hari-hari ini, media sosial adalah perkara penting. Tapi, itu hanya teralami dan berfungsi kalau Anda bijak dan paham memahami apa itu “media” dan apa itu “sosial”. Dengan begitu, Anda akan tahu mana yang ‘sosial’ dan mana yang ‘sok’ sosial dan yang menyesatkan. Kita jadi tahu mana yang asli dan mana yang dasar komunikasinya adalah manipulasi, sindikasi, dan sinisme.
Gejela komunikasi kita dewasa ini memasuki masa yang super interaktif. Jari-jari, mata, dan telinga kita tak lagi mampu mengimbangi luasnya semesta (teknologi) komunikasi dan infomasi yang ada: smartphone!. Terlalu banyak informasi dan terlalu luas jaringan komunikasi yang bisa kita bangun, termasuk ruang-ruang (kekacauan) komunikasi yang rutin kita masuki.
Bisa dikatakan hampir semua informasi yang kita punyai saat ini bisa terbagi habis dalam hitungan detik, meskipun bisa jadi proses pengumpulan infomasi yang kita punyai itu –-secara individual– telah berlangsung lama.
Jika sekian lama kita mengenal istilah gosip –-mengesankan tindakan bercerita tentang kondisi atau kehidupan orang lain, sendiri-sendiri atau bersama-sama–, maka di masa kini gosip seperti itu tidak lagi bersifat terbatas, tapi menjadi lebih terbuka mediumnya dan berlangsung lebih intens dan enteng.
Gosip adalah ruang percakapan yang saling memicu-saling memberi informasi, kesan-kesan, tafsiran dan impresi, yang meskipun kelihatan banyak “isi”nya, tapi sesungguhnya mengandung ketidakpastian tentang akurasinya. Uniknya, ketika terbiasa bergosif atau di-gosipkan, ketidakpastian itu semakin melebar dan di saat yang sama pelan-pelan akan menebalkan perangai komunikasi yang tidak simetris tapi ternikmati satu-sama lain. Gosip membentuk perkumpulan dan jejaringnya sendiri.
Setiap orang, secara naluriah, sangat senang dengan “gosip”. Prof. Deborah Tannen dari Georgetown University yang menulis buku “You Just Don’t Understand” (1991) menyatakan bahwa gosip adalah “tentang menceritakan kehidupan secara detail”. Gosip meskipun sering merusak, tapi tidak selamanya demikian.
Dalam hal ini, cerita desas-desus tidaklah otomatis masuk kategori gosip. Juga berbeda dengan kedengkian, narasi trauma dan dendam yang ditampilkan dalam komunikasi. Menurut Tannen, “…ketika orang bicara banyak tentang kehidupan sehari-hari, itu adalah gosip; tapi kalau Anda menuliskannya dengan baik, maka ia akan menjadi literatur”.
Filosof Jerman, Theodor Adorno (1903-1969), melalui bukunya Minima Moralia (1951), menegaskan pandangannya bahwa “manusia yang baik dan penuh kejujuran tidak lagi hadir”. Ini semua mengindikasikan tentang terkikisnya kemanusiaan kita yang luhur di abad industrial, termasuk ketidakaslian kita menjalani hidup karena semua serba terpaut dengan “taktik” dan hilangnya pola-pola percakapan otentik.
Itulah sebabnya manusia harus merebut kembali esensi Cinta dalam hidupnya. Professor Adorno, pemikir asal Frankfurt ini berkata: “Cinta adalah kekuatan untuk melihat persamaan di antara perbedaan kita”.
Perangai menafsir, bercanda, saling “meraba” isi pikiran, reaksi-reaksi spontan dan pemetaan persepsi, bahkan profil kepribadian seseorang, bisa terbaca luas dalam jejaring (media) sosial. Meskipun keluasan ini bisa digunakan untuk sirkulasi hal-hal idealis, kreatif, dan etis, tapi ini semua tetaplah rentan “menghilang” dalam gulungan-gulungan informasi yang berubah cepat dan rutin.
Di masa kini, semua hal baik, termasuk tentang kecerdasan, integritas, pertemanan, komitmen, dst berpotensi hanya mencapai tingkat “sekadar singgah” dalam status posting-an dan percakapan jangka pendek kita. Dalam hitungan sekejap, hari, minggu, dan bulan, percakapan dan cita-cita baik begitu mudah menguap tanpa jejak berarti. Tak jarang, sebuah “bentukan citra” dihapus sengaja atau diam-diam dihilangkan. “Kacang lupa kulitnya!” (*)
Penulis adalah Parner di Voice-of-Halehepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
Pos-el: basriamin@gmail.com