Opini  

Teknokapitalisme Global, Upaya Kolonialisasi Berbasis Digital

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Aktivis Dakwah dan Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM

DUNIA hari ini tengah menghadapi situasi yang cukup sibuk dan pelik di segala dimensi. Panggung peradaban telah berpacu melintasi  peristiwa dan dinamika manusia dan segala derivatnya. Sejak meletusnya Revolusi Industri pada abad 18, berbagai temuan dan inovasi dikembangkan begitu cepat, berlalu dan bergulir hingga kini tengah berada di puncak kemewahan teknologi, informasi dan komunikasi (baca: Revolusi Digital). Dalam buku The Digital Economy pada tahun 1994, Don Tapscott telah memprediksi sisi gelap yang mungkin dihasilkan dari revolusi digital dan terbukti hari ini terjadi, lebih dari 20 tahun kemudian. Beberapa hal yang di-highlight oleh Tapscott di antaranya seperti pergeseran pasar tenaga kerja, hilangnya privasi, kesenjangan ekonomi yang parah, menurunnya kualitas hidup, dan beberapa catatan lainnya.

Sejarah mencatat, dunia kini telah menghadapi problem rumit dan kompleks dimana pertumbuhan ekonomi tidak lagi berimpact pada penciptaan lapangan pekerjaan baru dalam jumlah yang signifikan. Disebutkan oleh Eric Schmidt, selaku executive chairman Google bahwa kelangkaan lapangan pekerjaan akan menjadi isu kebijakan publik utama dalam dua atau tiga dekade ke depan. Saat ini tingkat pengangguran di kalangan anak muda di dunia Barat mencapai 15-60%. Kondisi ini tentu saja akan menciptakan instabilitas dan kegoncangan sosial.

Akibat dari percaturan revolusi bertahap inilah menciptakan suatu kondisi dimana manusia hidup berdampingan bahkan berada dalam alam teknologi digital. Tanpa kita sadari, seiring dengan berkembang dan bertambahnya jenis komunikasi via digital mulai dari transaksi bisnis, pekerjaan, belajar, hingga bermain, telah menjadi input data yang terdigitalisasi dan saling terhubung dalam jumlah yang begitu besar yang dapat dimanfaatkan dan diperoleh keuntungan para kapitalis. Kita menolak lupa dengan skandal kebocoran data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica yang dimanfaatkan untuk memenangkan Trump dalam pemilu Amerika beberapa tahun yang lalu.

Dengan kata lain, kehidupan manusia kini semacam terpolarisasi menuju pada era kekayaan tak terhingga yang mengarah pada kepemilikan tunggal oleh para pemangku kebijakan melalui apa yang disebut-sebut sebagai era Revolusi Industri 4.0. Topik ini selalu hangat dibicarakan dan terus diangkat di forum-forum ekonomi internasional. Tak salah bila statement Thomas Piketty dalam bukunya Capital in 21st Century yaitu dimana kesenjangan ekonomi merupakan endemik bagi kapitalisme. Di sinilah letaknya privatisasi data dan informasi digital atau yang disebut Teknokpitalisme. Teknokapitalisme sebagaimana era kapitalisme sebelumnya, kelahirannya tidaklah lepas dari konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Frasa teknokapitalisme sendiri dilandaskan pada ekspansi kekuatan korporasi dan kekuatan dominasinya di bidang sains dan teknologi.

Dahulu, bangsa Eropa di bawah bendera kolonialisme telah merampas kekayaan negeri yang mereka jajah, menempati wilayah mereka, merampok kekayaan alamnya menjadikan penduduknya sebagai budak dan pelayan, melakukan penganiayaan, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Saat itu korporasi memainkan peran penting melalui pengejaran keuntungan dan kekuasaan yang tidak sehat. Kita mungkin masih ingat nama korporasi yang dulu menjajah Indonesia seperti EIC East India Company, VOC Vereenigde Oostindische Compagnie.

Saat ini, dunia telah memasuki babak penjajahan dengan gaya dan bentuk yang baru dan faktnya penjajahan korporasi pun sangat eksis dan berlangsung. Alih-alih penaklukan tanah, perusahaan-perusahaan Big Tech sedang menjajah melalui teknologi digital. Fungsi-fungsi berikut semuanya didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional asal AS: mesin pencari (Google); browser web (Google Chrome); smartphone dan sistem operasi tablet (Google Android, Apple iOS); sistem operasi desktop dan laptop (Microsoft Windows); perangkat lunak perkantoran (Microsoft Office, Google Documents); infrastruktur cloud dan layanan (Amazon, Microsoft, Google, IBM); platform jejaring sosial (Facebook, Twitter); streaming video (Google YouTube, Netflix); dan iklan online (Google, Facebook). Integrasi produk Big Tech dalam masyarakat secara otomatis menempatkan Amerika Serikat untuk (Paranitha Ayu:2019)

Kolonialisasi biasanya dilakukan dengan merebut dan mengeksploitasi sumber daya berharga dari penduduk asli dan kepemilikan serta kontrol infrastruktur ada di bawah kekuatan kolonial. Kita pun belajar dari sejarah kita, infrastruktur kritis seperti kereta api dirancang oleh kekuatan kolonial bukan untuk memberi manfaat kepada penduduk asli, tetapi untuk kepentingan dagang mereka. Penjajah mengekstraksi bahan baku yang ada di negeri jajahan dengan mengeksploitasi tenaga kerja lokal lalu hasilnya dikirim kembali ke negeri asal penjajah. Dalam beberapa kasus, kolonialis akan mengimpor produk industri murah untuk menghancurkan kapasitas pengrajin lokal untuk membangun industri pesaing. (Ayu Paranitha : 2019)

Berikut gambaran betapa mengerikannya teknokapitalisme mengendalikan dunia dan seluruh potensinya dalam tulisan seorang pakar digital Ayu Paranitha yang berjudul “Teknokapitalisme: Neokolonialisme Digital” bahwa saat ini kolonialisme digital yang dipimpin oleh Amerika Serikat, menanam infrastruktur yang direkayasa untuk kebutuhannya sendiri, memungkinkan dominasi ekonomi dan budaya sambil menekan supaya pemerintah terus melakukan privatisasi di berbagai bidang. Untuk mewujudkan misi mereka, perusahaan besar mendesain teknologi digital untuk memastikan dominasi mereka sendiri atas fungsi krusial dalam ekosistem teknologi. Ini memungkinkan mereka mengumpulkan keuntungan dari pendapatan yang diperoleh dari “sewa” (dalam bentuk kekayaan intelektual atau akses kepada infrastruktur) dan pengawasan (dalam bentuk Big Data). Ini juga membuat mereka dominan dalam mengontrol arus informasi (seperti distribusi berita dan layanan streaming), aktivitas sosial (seperti jejaring sosial dan pertukaran budaya), hingga sejumlah besar fungsi politik, sosial, ekonomi, dan militer yang dimediasi oleh teknologi mereka.

Kontrol atas kode (coding) adalah fondasi dominasi digital. Kode komputer akan membentuk aturan, norma, dan pengalaman yang dimediasi komputer dengan cara yang mirip dengan arsitektur di ruang fisik (seperti jalur kereta api imperial yang dirancang untuk tujuan kolonisasi). Akibatnya, “kode adalah hukum” dalam arti bahwa ia memiliki kekuatan untuk merebut norma hukum, kelembagaan, dan sosial yang berdampak pada domain politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Hal kritis ini telah diterapkan di bidang-bidang seperti hak cipta, regulasi kebebasan berbicara, tata kelola Internet, blockchain, privasi, dan bahkan gugatan. Kekuatan Amerika Serikat atas kode dan infrastruktur digital lainnya merupakan bentuk baru imperialisme. Bentuk kekuasaan digital dihubungkan melalui tiga pilar utama ekosistem digital: perangkat lunak, perangkat keras, dan konektivitas jaringan. Dominasi atas ketiga elemen ini menjadi sumber kekuatan yang besar untuk mengontrol suatu bangsa.

Secara kinerjanya, perangkat lunak adalah logika kode yang membatasi dan memungkinkan user experience. Sebagai contoh, perangkat lunak menentukan aturan dan kebijakan seperti: apakah pengguna dapat memposting secara anonim atau tidak dalam situs web, atau apakah pengguna dapat membuat salinan file yang dibatasi hak cipta seperti e-book. Aturan-aturan yang diprogram seorang programmer ke dalam perangkat lunak sangat menentukan kebebasan teknologi dan bentuk pengalaman pengguna menggunakan perangkat mereka. Dengan demikian, perangkat lunak memberikan pengaruh yang kuat tentang perilaku, kebijakan, dan kebebasan orang yang menggunakan teknologi digital.

Kontrol atas perangkat lunak merupakan sumber dominasi digital yang terutama dilakukan melalui lisensi perangkat lunak dan kepemilikan perangkat keras. Lisensi perangkat lunak gratis atau open source memungkinkan seseorang untuk menggunakan, mempelajari, memodifikasi, dan berbagi perangkat lunak yang mereka inginkan. Sebaliknya, lisensi perangkat lunak berbayar memberikan kontrol perancang perangkat lunak lebih dari pengguna dengan menghalangi kemampuan pengguna untuk melakukan modifikasi. Dengan perangkat lunak berlisensi, kode sumber perangkat ditutup untuk umum, dan pemilik kode biasanya membatasi kemampuan untuk menggunakan perangkat lunak tanpa membayar. Dalam kasus Microsoft Windows, misalnya, publik harus membayar program untuk menggunakannya, mereka tidak dapat membaca kode sumber untuk memahami cara kerjanya, mereka tidak bisa mengubah perilakunya dengan mengubah kode, dan mereka tidak dapat membagikan salinan kepada orang lain. Dengan lisensi kepemilikan, Microsoft mempertahankan kontrol mutlak atas cara kerja perangkat lunak. berlaku pula untuk aplikasi berlisensi lainnya, seperti Google Play atau Adobe Photoshop. Non free software telah dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pemilik software memiliki kontrol atas pengguna.

Kontrol atas perangkat keras adalah sumber kedua dominasi digital. Dominasi ini bisa terwujud dalam setidaknya tiga bentuk: (1) perangkat lunak yang dijalankan pada server pihak ketiga, (2) kepemilikan perangkat keras yang terpusat, atau (3) perangkat keras yang dirancang untuk mencegah pengguna mengubah perangkat lunak.

Dalam contoh pertama, perangkat lunak dijalankan pada komputer pihak ketiga. Akibatnya, pengguna kehilangan kemampuan mereka untuk mengendalikannya. Ini biasanya dicapai melalui Software as a Service (SaaS) di cloud. Misalnya, ketika kita mengunjungi situs web Facebook, antarmuka yang kita lihat dieksekusi pada perangkat keras pihak ketiga (mis. di server cloud Facebook). Oleh karenanya, pengguna tidak dapat mengubah kode yang berjalan di server Facebook, kita tidak dapat menghilangkan tombol “like” atau mengubah pengalaman berselancar di Facebook. Perusahaan dan pihak ketiga lainnya merancang layanan cloud untuk kendali jarak jauh atas pengalaman pengguna. Ini memberi mereka kekuatan luar biasa atas individu, kelompok, dan masyarakat.

Dalam contoh kedua, seseorang tidak bisa memiliki perangkat keras itu sendiri. Dengan lahirnya “komputasi awan”, ada kemungkinan bahwa produsen perangkat keras akan hanya menawarkan perangkat memori rendah, bertenaga rendah kemudian pemrosesan komputer serta penyimpanan data utama akan dilakukan di awan terpusat. Dengan pengguna yang tidak memiliki kendali atas pemrosesan dan penyimpanan, perangkat lunak dan data akan berada di bawah kendali mutlak pemilik dan operator dari awan.

Dalam contoh ketiga, perangkat keras dibuat dengan kunci yang mencegah pengguna mengubah perangkat lunak pada perangkat. Dengan mengunci perangkat ke serangkaian pilihan perangkat lunak yang telah ditentukan sebelumnya, produsen perangkat keras menentukan perangkat lunak mana yang diizinkan untuk dijalankan ketika kita menghidupkan perangkat. Dengan demikian, pembatasan perangkat keras dapat mencegah publik mengontrol perangkat mereka, memberikan produsen kendali atas pengguna.

Kontrol atas konektivitas jaringan adalah sumber ketiga dominasi digital. Peraturan netralitas internet mengusulkan bahwa lalu lintas Internet harus “netral” sehingga Penyedia Layanan Internet (ISP) memperlakukan konten yang mengalir melalui kabel, menara seluler, dan satelitnya secara merata. Menurut teori ini, mereka yang memiliki “pipa” adalah “pembawa bersama” dan seharusnya hampir tidak pernah diizinkan memanipulasi data yang mengalir melaluinya. Ini membatasi kemampuan penyedia media yang lebih kaya untuk membayar kecepatan pengiriman konten yang lebih cepat daripada penyedia yang kurang kaya (seperti organisasi non profit, usaha kecil, dan orang awam). Lebih penting lagi, dengan memperlakukan lalu lintas secara merata, netralitas internet mencegah diskriminasi jaringan terhadap berbagai bentuk lalu lintas yang penting untuk hak-hak sipil. Sebagai contoh, browser Tor memfasilitasi komunikasi Internet anonim, tetapi penggunaan Tor jaringannya dapat dideteksi oleh Penyedia Layanan Internet dan dibatasi (mis. diperlambat hingga crawling). Netralitas internet mencegah bentuk diskriminasi ini dan melindungi kebebasan pengguna akhir untuk memanfaatkan Internet sesuai keinginan, tanpa keberpihakan pihak ketiga. Akan tetapi, skenario yang mungkin terjadi, dengan kontrol terhadap jaringan, berbagi konten secara anonim tidak dapat dilakukan karena berbagai aktivitas dalam jaringan dapat dimata-matai melalui ISP.

Perusahaan multinasional AS berhasil membawa kita kembali pada kolonialisme dengan merancang arsitektur digital yang memungkinkan mereka untuk mengumpulkan kekayaan besar berdasarkan sewa atau ekstraksi data. Dalam kasus hak cipta, kontrol atas perangkat lunak, perangkat keras, atau Internet digunakan untuk melindungi monopoli hak cipta atas nama hak kekayaan intelektual.

Upaya kolonialisasi lainnya adalah pengawasan global melalui penguasaan Big Data. Perusahaan dan negara dapat mengumpulkan, menyimpan, dan memproses basis data yang terpusat dalam jumlah yang besar tentang informasi mengenai netizen dunia. Ini memungkinkan mereka untuk menyimpulkan ciri-ciri orang (seperti seksualitas, agama, afiliasi politik, dan kecenderungan perilaku) yang tidak diungkapkan oleh orang itu sendiri. Data tersebut kemudian digunakan untuk memanipulasi individu, kelompok, dan organisasi untuk kepentingan keuntungan perusahaan dan kekuasaan negara.

Masyarakat Big Data adalah proyek untuk pengawasan total spesies manusia. Perusahaan dan pemerintah mencari cara untuk mengambil peran layaknya “Tuhan” yang maha tahu dengan memanfaatkan statistik canggih, kecerdasan buatan, dan pembelajaran mesin untuk memahami banyak data dengan tujuan mengendalikan populasi. Pengumpulan data ini dimungkinkan dengan adanya sentralisasi di cloud.

Untuk memahami set data raksasa yang telah dikumpulkan, para penambang data banyak menggunakan kecerdasan buatan atau AI artificial intelligence. AI biasanya “belajar” dengan menganalisis kumpulan data yang sangat besar untuk tujuan memprediksi hasil. Ketika diterapkan pada manusia, itu dilakukan dengan mengumpulkan data pribadi dan informasi historis untuk memprediksi masa depan. Karena mesin tidak “berpikir”, Big Data harus mendapatkan akurasi prediktifnya dari kekayaan data yang dapat dikumpulkan tentang individu dan kelompok.

Seperti jalur kereta api yang dirancang penjajah, para kapitalis mengekstraksi data netizen di seluruh dunia, memprosesnya di ibukota penjajah, dan memuntahkan kembali layanan informasi ke wilayah jajahan, yang tidak memiliki kemampuan bersaing. Dominasi AS terhadap ekosistem digital di tingkat infrastruktur menempatkannya untuk mempertahankan kepemilikan dan kontrol data masyarakat dan membangun ketergantungan negeri-negeri jajahannya sambil meningkatkan kekuatan perusahaan multinasional Big Tech miliknya.

Tidak ada negara dalam sejarah yang kaya dengan menjadikan perusahaan asing memiliki dan mengendalikan infrastruktur dan industri kritis mereka. AS sendiri menunjukkan taringnya ketika mereka merasa terancam dengan kedatangan teknologi dari Timur yang digawangi oleh Huawei. Aspek yang juga belum digali dalam tulisan ini, yaitu dominasi perusahaan teknologi Timur yang mendominasi negeri ini (mis. Tencent, Alibaba). Asimilasi ke dalam imperium teknologi AS merupakan bentuk baru dari kolonialisasi. Amerika memposisikan diri untuk menjalankan bentuk-bentuk baru dominasi melintasi batas-batas negara mengingat jangkauan luas teknologi ke dalam pikiran, emosi, perilaku, ekonomi, pendidikan, budaya, dan politik kita. Setelah teknologi ini menjadi sangat mengakar, upaya untuk menggantinya akan sangat mahal. Jika situasi ini tidak berubah dengan cepat, kita akan semakin tenggelam dalam kekuasaan Kafir Penjajah. Sehingga dari gambaran tulisan Ayu Paranitha yang penulis kemas di atas, menjadi jelas oleh kita bahwasannya solusi baik jangka panjang atau pendek saat ini adalah berupaya membangun kesadaran politik dan menumbuhkan aktivisme Islam untuk memuluhkan keadaan dan melerai permasalahan. (*)