Oleh: Samsir Munir
Mahasiswa Prodi Pertambangan dan
Pengurus BEM Fatek UMMU
PENDIDIKAN merupakan proses memanusiakan manusia yang manusiawi secara utuh ke arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Pendidikan harus bersentuhan langsung dengan upaya-upaya konkret berupa pengajaran. Sebagaimana pendapat yang diutarakan Ki Hadjar Dewantara, bahwa yang dimaksud dengan pengajaran adalah upaya memerdekakan aspek badaniah manusia. Sebagai bangsa melalui generasi penerus perlu mewarisi dan merefleksikan kembali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa secara menyeluruh tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan sejati. Konsep yang brilian ini tentu sealur dengan cita-cita besar negara di sektor pendidikan sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat, dalam hal ini tujuan pencerdasan adalah memastikan sebagai bangsa Indonesia harus memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan berkualitas dan layak.
KH Ahmad Dahlan menegaskan itu dengan adagium: hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Itu artinya orang harus punya etos kehidupan di Muhammadiyah sehingga dia tidak menjadi tangan di bawah, tapi harus tangan di atas. Di sini yang dilarang oleh KH Ahmad Dahlan adalah orang yang memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan dirinya, kemudian Muhammadiyah bahkan hanya menjadi kuda tunggang, maka ketika memanfaatkannya salah, Muhammadiyah juga ikut kena masalah. Terkait itu, dalam perguruan tinggi, tridarma sebagai kiblat pengajaran dalam mengelola pendidikan sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 20 ayat dua yang mewajibkan perguruan tinggi untuk melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Amanah Undang-Undang ini berlaku bukan hanya pada mahasiswa, melainkan juga bagi dosen dan seluruh Civitas Academika, demikian pula dipertegas kewajiban dosen dalam pasal 51 Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate sebagai salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan kategori terbaik di lingkup provinsi wilayah Maluku Utara. Berbagai dampak positif yang mendorong kampus ini unggul, sederet dampak negatifnya pun turut mengikuti. Deretan kebijakan yang kian menyimpang di UMMU bukan hal yang lagi baru terjadi. Dalam konteks ini, menyangkut program Kuliah Kerja Sosial dan Dakwah (KKSD) yang sudah menjadi program wajib Civitas Academika (mahasiswa maupun dosen) yang notabenenya pengabdian kepada masyarakat mengandung kontroversi dari tahun ke tahun. Problem yang banyak menuai pertentangan ini disebabkan karena kebijakan asal-asalan yang dibuat untuk menetralisir pembagian kategori KKSD antara kelas reguler dan kelas pegawai, bahkan pembuat kebijakan sendiri pun tidak konsisten terhadap itu.
Bagaimana tidak, implementasi KKS bagi mahasiswa reguler yang harus sepenuhnya dialamatkan kepada masyarakat sebagai upaya untuk mencerdaskan dan memperkuat daya saing bangsa justru kuotanya dikurangi oleh birokrat kampus lewat kebijakan. Pemberlakuan kebijakan ini dihidupkan dengan cara memberikan dua pilihan pada mahasiswa (reguler khususnya) untuk mengambil program KKSD di internal kampus atau eksternal kampus. Sehingga dari keterbukaan pilihan inilah bagi mahasiswa yang merasa layak secara status ekonomi dan tidak mau ambil pusing untuk KKSD kategori eksternal, mereka dapat berpaling dengan cara alih pilihan “lebih enak KKSD di kampus”. Juga yang lebih memprihatinkan, mahasiswa kelas reguler pun dengan senang rasa memanfaatkan kesempatan itu tanpa menyadari dan mengabaikan esensi dari orientasi KKSD yang sesungguhnya yaitu mengabdi untuk masyarakat. Padahal persis kita tahu KKSD internal kampus ini hanya diperuntukan bagi mahasiswa kelas pekerja atau kelas pegawai.
Lebih menyayangkan lagi, pelaksanaan KKSD internal kampus ini, sering saya singkat K3D (Kuliah Kerja Kampus dan Dakwah) ini justru lebih terarah pada rehabilitasi dan membangun baru infrastruktur kampus. Belum lagi biaya KKSD yang melambung drastis melalui surat edaran yang dikeluarkan oleh Lembaga Riset, Pengabdian, Publikasi dan HAKI (HRP2H) UMMU No 159/A/LP3M/I/2023. Dari nominal sebelumnya internal kampus Rp3.750.000 naik menjadi Rp5.000.000. Tidak hanya itu, nominal biaya yang tak kalah subur lainnya, seperti yang diketahui Fakultas Teknik misalnya, untuk ujian Kerja Praktek (KP) sebesar Rp750.000, seminar proposal Rp750.000, ujian skripsi Rp1.000.000, dan ditambah lagi ujian tutup Rp1.500.000. Belum lagi registrasi wisuda sebesar Rp3.750.000. Bahkan kenaikan biaya akademik lewat kebijakan ini terjadi tumpang tindih karena terindikasi dibijaki secara sepihak tanpa sepengetahuan petinggi kampus yang lain.
Masih lagi, deretan prestasi UMMU yang baru, penetapan biaya Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dan Dana Pengembangan Pendidikan (DPP) tahun akademik 2023/2024 melambung drastis menerbangi nominal sebelumnya ke angka Rp9.400.000 hingga Rp10.600.000. Kejahatan ini sebagai angin badai yang akan menyeret kita dan generasi penerus pada kecemasan dan kecelakaan pendidikan, dimana kampus mengajarkan kita untuk berpikir layaknya kalkulator: menjumlahkan, mengkalikan agar hasilnya sama, kalaupun bisa lebih. Sementara jika dipotret dari aspek ekonomi, hal yang jelas-jelas tidak bisa disangkal mayoritas mahasiswa di UMMU berlatarbelakang petani dengan pendapatan yang tidak merata. Ketergantungan orang tua kita terhadap harga pasaran komoditas lokal yang akhir-akhir ini melemah mejadi pemicu, yang itu berdampak signifikan terhadap kemelaratan sosial secara status ekonomi. Tentu ini menjadi beban tambahan mereka dalam membiayai kebutuhan akademik anaknya di kampus. Lebih-lebih kampus yang menghidupkan aturan sembari mengorbankan mahasiswanya sendiri. Sudah banyak mahasiswa yang jadi korban putus kuliah di tengah perjalanan. Walau beberapa di karenakan nilai yang buruk, lalu mengambil keputusan untuk keluar, tapi tidak sedikit dilema yang dikandung dalam diri mahasiswa terpaksa berhenti karena pendapatan orang tua dan keluarga yang tak berjalan normal.
Hal ini secara terang-terangan bukan sekadar menjahati mahasiswa semata dalam menanggung beban akademik dari segi biaya, namun juga mencuat dinding penghalang regenerasi dan dapat menggelapkan mimpi mereka perihal masa depannya. Lebih-lebih dewasa ini kian menguat, hari demi hari UMMU marak dijadikan ajang perputaran bisnis dan ladang akumulasi modal. Penindasan di dunia pendidikan memang sulit berakhir, sebagaimana terlihat dengan munculnya berbagai problem pendidikan yang tak kunjung diselesaikan. Paulo Freire menyebut itu, bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diibaratkan seperti bank. Dalam sistem ini, anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berada dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Freire percaya bahwa tugas utama sistem pendidikan itu adalah reproduksi ideologi kelas dominan sebagai alat mempertahankan kekuasaan mereka. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan.
Tingginya biaya akademik di atas, bukan tidak mungkin mobilitas kelas sosial dengan status ekonomi yang lemah, mengakses pendidikan formal akan semakin jauh dari impian. Dengan begitu, mimpi yang tinggi pun akan jatuh dan menepi pada keputusasaan bahwa yang pantas mengecap pendidikan formal di kampus hanyalah mereka yang leluasa secara finansial. Meski begitu, apapun yang terjadi kita harus punya harapan. “Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya” (Paulo Freire). Deretan keterpurukan ini jangan dianggap biasa, harapan kita sebagai mahasiswa satu-satunya adalah tidak berharap pada siapapun. Dalam sistem ini, keadilan tak bisa ditunda, menyelamatkan regenerasi adalah kewajiban sesama. Organisasi intra kampus harus diperankan untuk mengatakan dan menyatakan sesuatu, baik yang sudah terlihat maupun yang akan diperlihatkan nanti di tahun-tahun akan datang. Selamat datang di UMMU calon korban baru, selamat mengasah kemampuan untuk menjadi buruh. (*)