Opini  

Menelisik Arah Toleransi dalam Heterogenitas Sosial

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Aktivis Dakwah dan Mahasiswi Pascasarjana MMPT UGM

BAHASAN toleransi saat ini menjadi satu topik yang hangat untuk diperbincangkan dan dicermati relevansinya dalam dinamika kehidupan masyarakat yang majemuk. Terlepas dari narasi toleran-intoleran yang batasannya sangat relatif dan sarat dengan subjektifitas, konsep toleransi ini menjadi hal yang penting untuk disorot dan didudukkan kembali. Berikut salah satu review jurnal dituliskan oleh Muhammad Nur Prabowo Setyabudi dalam jurnal filsafat Indonesia (2020) yang sedikit banyaknya akan memberikan gambaran awal kepada kita tentang diskursus konsep toleransi, sekaligus memantik kita untuk membaca arah gagasan konsep toleransi ke depannya.

Menyoal konsepsi toleransi 

Berbicara mengenai konsep toleransi sebagai konsep moral dalam sistem demokrasi, terdapat ragam konsepsi tentangnya dan elusif. Konsepsi atau interpretasi yang beragam mempengaruhi penerapan toleransi dalam komunitas. Diskursus tentang toleransi senantiasa terjadi hingga hari ini dan masih menjadi topik penting dalam menemukan bentuk terbaiknya dalam menyikapi kompleksitas identitas masyarakat dan permasalahannya. Disinyalir, hadirnya multikulturalisme merupakan salah satu kritik terhadap praktik tradisional dalam negara demokrasi. Sebagai sebuah konsep, toleransi hadir dalam lingkup yang ekstensif (bersifat menjangkau luas) seperti teori politik liberal terkait kekuasaan, hak dan kebebasan politik; bentuk kebajikan moral dan politik, juga mewarnai wacana kritis dan diskursus kebudayaan bahkan menjadi isu penting dalam post-sekularisme dan kritik atas sekularisme liberal tentang hubungan dialogis agama dan politik (Setyabudi, 2020). Bahkan, di tengah perdebatannya tentang konsepsi toleransi, muncul sebuah kegelisahan, apakah toleransi benar-benar mampu menjadi instrumen dalam perjuangan politik bagi emansipasi dan keadilan.

Forst dalam bukunya Toleration in Conflict: Past and Present (2013) menyatakan: Sebagai sebuah konsep tentang sikap moral, toleransi tidak otonom, melainkan bergantung/bersandar pada nilai atau prinsip-prinsip normatif lain. Dalam konteks sistem demokrasi, prinsip-prinsip normatif toleransi tersebut adalah kesetaraan dan kebebasan.
Konsekuensi dari toleransi sebagai tindakan moral instrumental yang terbuka dan tidak independen, toleransi tidak pernah menawarkan nilai substantif tentang apa yang harus ditolelir atau diterima, apa yang harus ditolak, dan sejauh mana batas-batas tindakan harus ditolelir dan tidak ditolelir? Artinya, toleransi sangat tergantung pada konstruksi normatif agensi moralnya, siapa yang melakukan dan bagaimana mengkespresikannya. Semua hal tersebut tak lepas dari justifikasi dan rasionalitas yang menentukan keabsahan toleransi sendiri. Sejarah telah menunjukkan keragaman justifikasi bagi toleransi. Tindakan toleransi selalu bergantung pada norma yang mengatur mengapa, bagaimana dan sejauh mana orang harus toleran. Seseorang atau komunitas bisa menawarkan konsepsi yang berbeda pandangan mengenai apa yang secara normatif harus ditolelir dan yang tidak sesuai kebutuhan, dan dalam posisi tersebutlah konsep toleransi menjadi objek “conflict’ itu sendiri.

Problem minoritas dalam konsepsi toleransi

Secara historis, toleransi telah menjadi bagian inheren dari tradisi demokrasi liberal. Lebih dari 300 tahun sejak ide-ide toleransi digaungkan oleh pemikir liberal seperti John Locke, Peirre Bayle, Voltaire dan lain-lain, kini muncul kecenderungan di kalangan filsuf moral dan politik untuk mempertanyakan kembali bangunan konseptual dan batas-batas toleransi. Problem-problem politik yang muncul dalam budaya kontemporer telah mengguncang kemapanan doktrin liberalisme klasik dan menyangsikan doktrin tradisional tentang toleransi. Dalam perkembangannya, toleransi konvensional dirasa tidak cukup untuk merespons tantangan yang kian kompleks. Lanskap sosial dan kebudayaan semakin mengalami perubahan oleh kenyataan tak terelakkan menyangkut toleransi dan keanekaragaman, seperti tantangan meningkatnya kelompok-kelompok migran di berbagai negara, fundamentalisme agama dan intoleransi, terorisme dan diskriminasi. Pluralitas yang tak terelakkan berimbas pada kritik terhadap bangunan toleransi dalam demokrasi yang selama ini masih mengacu pada paradigma moral yang cenderung monistik, menekankan pada universalisme moral dan prinsip persamaan. Selanjutnya, muncul beberapa arus pemikiran heterodoks yang tidak puas dengan perkembangan pemikiran toleransi. Pemikir pluralisme dan multikulturalisme mengkritik kegagalan toleransi liberal dalam konteks perlindungan minoritas dan menggugat sisi hak dan kebebasan bagi minoritas. Dalam perkembangannya, konsep toleransi sebagai pilar demokrasi disangsikan (khususnya) untuk menyelesaikan persoalan kesetaraan dan hak-hak minoritas. Menurut mereka, dalam kebijakan politiknya, demokrasi hari ini masih didominasi oleh bias mayoritarianisme yang diklaim gagal membangun toleransi yang adil dan membangun perlindungan terutama bagi kelompok-kelompok minoritas.
Konsepsi tradisional toleransi dalam sistem demokrasi mengabaikan kesadaran tentang nasib kelompok-kelompok minoritas yang secara langsung maupun tidak langsung, bahkan melanggengkan hegemoni mayoritarianisme. Toleransi dan prinsip-prinsip netralitasnya dianggap gagal mewujudkan kesetaraan dan keadilan, bahkan untuk sekadar menjaga dari konflik sosial ia seringkali tidak mampu. Kecurigaan inilah yang memunculkan gugatan terhadap ortodoksi toleransi dan pencarian alternatif pemikiran bagi krisis kepercayaan terhadap toleransi.

Menurut Fernandes, ada beberapa sebab-sebab spesifik kiranya mengapa ortodoksi toleransi menjadi problematis untuk konteks sekarang. Beberapa pergeseran paradigmatik terjadi dalam situasi kebudayaan masyarakat kontemporer yang menuntut pergeseran cara pandang terhadap toleransi. Pertama, pergeseran orientasi toleransi dari persoalan hak-hak individual seperti keyakinan keagamaan seperti yang dijumpai dalam pemikiran klasik John Locke kepada perlindungan hak-hak dan identitas komunal. Pada konteks pertama, toleransi lebih dipandang sebagai cara untuk melindungi privasi individual. Namun, penekanan terhadap otonomi dan identitas individual telah menyingkirkan pertimbangan tentang pentingnya ikatan solidaritas sosial, kemasyarakatan, dan komunitas. Oleh karena itu, toleransi perlu diarahkan kepada bentuk pluralisme kultural untuk melindungi beragam identitas sosial dan budaya yang mempengaruhi konstruksi sosial.

Kedua, pergeseran modus toleransi politik dari netralitas negara kepada pengakuan. Prinsip netralitas negara tidak relevan lagi. Toleransi politik tidak cukup lagi dilakukan dengan menjaga ruang privat dan kebebasan individual, tapi dengan aktif mempromosikan perlindungan bagi kelompok sosial yang masih mengalami penderitaan dan tidak turut menuai hasil toleransi karena diskriminasi berbasis warna kulit, identitas agama, orientasi seksual dan lain sebagainnya. Pergeseran ini menuntut negara beranjak dari prinsip netralitas pasif kepada rekognisi aktif dalam mendukung peran dan melindungi minoritas.

Ketiga, pergeseran dari wawasan universalisme kepada partikularisme, dari asumsi persamaan kebutuhan manusia kepada sensitivitas menghargai perbedaan dan identitas partikultural. Dalam perspektif ortodoks, ruang publik dianggap sebagai ruang bersama dimana semua orang diasumsikan menghargai prinsip-pinsip universal yang mengikat bersama karena setiap manusia memiliki ukuran moral dan kebutuhan dasar serta hak yang sama. Pergeseran baru wawasan multikultural menuntut agar tidak memandang warganegara sebagai entitas homogen dan seragam, sehingga perlu perlindungan bagi setiap komunitas yang berbeda kebutuhannya, dan menghargai prinsip diferensiasi atau perbedaan, serta menuntut negara agar lebih aktif melindungi kelompok-kelompok minoritas dan tidak cukup hanya menyerahkan nasibnya pada organisasi dan masyarakat sipil.
Akhirnya, kompleksitas dalam demokrasi multikultural menuntut gagasan yang melampaui makna minimalis toleransi sekadar non-interference, karena mudah terjatuh dalam represi atau indiferensi (sikap masa bodoh), baik oleh negara maupun warganya, untuk beralih pada konsepsi yang lebih aktif, egaliter, dan respektif bahkan rekognitif. Lebih dari itu, kepribadian atau karakter toleran menemukan acuan sandaran normatif yang kuat dalam wawasan pluralisme dan multikulturalisme.

Mendudukkan konsepsi toleransi dan membaca arahnya

Berpijak pada yang telah diulas di atas, terbaca bahwa isu toleransi berporos kepermasalahan bagaimana mendudukkan kemajemukan/pluralitas, dan dikaitkan juga dengan isu minoritas dan hegemoni mayoritas di dalam masyarakat. Ada beberapa poin yang dapat dikritisi:

Dengan cakupan batasan definisi toleransi yang sangat elutif, normatively dependent concept, dan transformatif tersebut, maka akan menjadi sebuah keniscayaan narasi toleran-intoleran (labelling dan stigma) akan terus mengemuka, tergantung pisau interpretasi yang digunakan oleh pihak yang melemparkan dan menggoreng narasi tersebut.

Sebagaimana tabiatnya sebagai sebuah pemikiran, dalam sistem kapitalisme, pergeseran paradigma toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Pergeseran paradigmatik tentang konsep toleransi yang dikemukakan oleh Fernedez di atas, setidaknya membuka wacana berpikir kita tentang fakta terjadinya pergeseran orientasi toleransi dan sekaligus  membuat kita mampu memprediksi arah narasi/wacana toleransi ke depannya. Berdasarkan pembacaan dikursus tentang toleransi kekinian, dapat disimpulkan bahwa arah narasi toleransi ke depannya akan kental dengan pemikiran atau wawasan pluralisme dan multikulturalisme. Di mana konsep tersebut harus mampu mengakomodir berbagai atribut-atribut kemajemukan yang ada termasuk di dalamnya atribut identitas kelompok sosial yang sejauh ini diklaim sebagai kelompok minoritas yang termarjinalkan. Hal ini juga berkelindang dengan prinsip-prinsip demokrasi yang senantiasa digaungkan yakni kebebasan, perhatian utama pada individu, dan keselarasan.

Sistem kapitalisme yang direpersentasikan oleh peradaban Barat hari ini telah gagal dalam mengelola kemajemukan yang ada. Hal ini disebabkan berbagai macam kemajemukan yang ada dan sifatnya alami tersebut dipandang sebagai beban sosial, bukan modal sosial untuk membangun masyarakat yang integral dan memiliki solidaritas yang kuat. Bahkan Barat gagal mengindetifikasi atribut-atribut kemajemukan yang perlu diakomodir dan dikelola, yang mana yang harus dihilangkan dan tidak diberikan ruang dalam masyarakat.

Di aspek lain, sudah tak terbantahkan lagi, bagaimana hipokritnya Barat dalam interaksinya dengan negara-negara lain dalam kehidupan percaturan internasional, khususnya terhadap negeri-negeri muslim. Narasi toleransi dan wacana hak asasi manusianya yang selama ini digembor-gemborkan hanyalah isapan jempol semata, berpihak sesuai dengan arus kepentingan yang dimilikinya.

Tentu kita pun perlu berpikir sejenak, mengapa stempel intoleran dewasa ini nyaris selalu dialamatkan ke Islam dan umat Islam? Hal ini kembali kepada potensi yang dimiliki oleh Islam dan umat Islam, dalam hal kekuatan ideologinya dan potensi kebangkitannya yang akan menggeser dominasi sistem kapitalisme hari ini yang menghegemoni tapi rusak dan merusak.

Isu relasi minoritas-mayoritas yang mendominasi isu toleransi dan disinyalir menyebabkan terjadinya relasi kuasa, tidak menemukan tempatnya. Baik ditinjau dari sisi asal kemunculan konsep minoritas itu sendiri, definisi maupun secara faktual/implementasinya.

Secara asal mula kemunculannya, konsep minoritas ini dalam konsep politik dan undang-undang Barat merupakan produk dan hasil dari perkembangan intelektual dan politik serta perubahan yang terjadi di Barat. Konsep minoritas ini  hadir untuk memecahkan krisis yang melanda pemikiran politik Barat ketika mereka ingin menerapkan pemikiran-pemikirannya dalam konteks kenegaraan setelah digesernya konsep hak ketuhanan (di bidang politik dan pemerintahan). Namun, pada saat yang sama mereka menemukan banyak masalah dalam menentukan definisi bangsa atau umat. Akhirnya lahirlah gagasan nasionalisme dalam tataran politik, yang dengannya rakyat atau umat didefinisikan dan menuntut adanya konsep kesatuan etnis, bahasa dan sejarah dalam kemasan kesatuan politik. Adanya kesatuan politik ini yang harus dijaga kesatuannya dalam bingkai nasionalisme dan sekaligus menjadi alat identifikasi kewarganegaraan. Gagasan tersebut bertentangan dengan kenyataan bahwa di setiap kesatuan politik terdapat beragam etnis, bahasa yang berbeda-beda dan sejarah yang berbeda-beda. Mereka pun berusaha untuk menggabungkan kumpulan-kumpulan tersebut dalam entitas kolektif dalam bingkai nasionalisme sebagaimana yang mereka gagas dan asumsikan. Ketika Barat mengalami kesulitan dalam menggabungkan kumpulan-kumpulan tersebut, maka kumpulan-kumpulan yang tidak bisa disatukan tersebut dikenal sebagai konsep minoritas (Ali, 2015).

Secara batasan definisi pun bersifat umum, kurang tepat dan bersifat imajiner serta mengalami transformatif pada akhirnya membuka ruang interpretasi yang beragam dan ekspansi konsep minoritas yang lebih besar. Sehingga, mencakup sejumlah kelompok lain di dalam masyarakat yang menganggap dirinya sendiri adalah minoritas, untuk kemudian menuntut lebih banyak haknya, sesuai dengan konsep minoritas.

Dan yang menarik adalah perubahan orientasi isu toleransi ini pun pada akhirnya akan relevan dengan pola/mekanisme pemilihan penguasa dalam sistem demokrasi, dimana mereka akan ‘memanfaatkan’isu-isu yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat sebagai ajang untuk mengeruk dukungan politik. Akan tampil di publik sosok-sosok pemimpin yang mengakumodasi berbagai macam atribut diversity sebagai bagian dari implementasi toleransi yang harus diwujudkan dalam masyarakat.

Jebakan inklusi sosial

Definisi masyarakat inklusif ini nyatanya tidak hanya untuk mengakomodasi kaum difabel saja karena secara istilah iklusif sosial mengharuskan penerimaan terhadap seluruh kelompok rentan akibat adanya perbedaan, baik perbedaan fisik, keyakinan, aliran politik, suku, ras, orientas seksual dan lain-lain. Meskipun hari ini secara kebijakan tampaknya baru memfokuskan pada kaum difabel, tapi patut diwaspadai masuknya kelompok rentan lainnya seperti LGBTQ, aliran sesat dan yang lainnya. Tentu saja, paradigma inklusi sosial ini ‘memaksa’ kaum muslimin untuk moderat, mau berdampingan damai dengan kelompok-kelompok apapun termasuk yang beraliran sesat dan para pelaku maksiat. Dan dampak jangka panjangnya, dapat membuat seorang Muslim merasa tidak  penting lagi menjaga identitas keislamannya.

Islam, toleransi dan peleburan kemajemukan 

Sejak masa Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas dan “toleransi”.  Islam mengatur keragaman dan perbedaan secara sempurna. Islam menjelaskan hukum dan etika untuk memecahkan persoalan-persoalan yang lahir. Di dalam lintasan sejarahnya yang panjang, kaum Muslim telah membuktikan keunggulan syariah Islam dalam menyelesaikan problem keragaman dan perbedaan serta problem ikutannya. Dalam praktiknya, kaum Muslim tidak memaksa orang kafir masuk Islam terdapat dalam (QS 2: 256).  Orang kafir dibiarkan menjalankan peribadahan sesuai agama dan keyakinan mereka.  Kaum Muslim juga dilarang mencela sesembahan agama lain tanpa dasar ilmu (QS 6: 108). Islam memerintahkan kaum Muslim berdiskusi dengan orang-orang kafir dengan cara yang makruf (QS 29: 46).  Kaum Muslim juga diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang telah ditetapkan Islam.  Di dalam kitab-kitab fikih dijelaskan kedudukan, hak-hak dan perlakuan terhadap orang-orang kafir yang hidup di dalam Negara Khilafah. Oleh karena itu, dalam praktiknya, kaum Muslim tidak pernah memiliki “problem toleransi”. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Mereka memiliki tradisi toleransi yang tinggi. Mereka biasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun, adil dan manusiawi. Islam juga menjelaskan hukum dan norma yang mengatur perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim. Mana yang bisa ditoleransir dan mana yang tidak. Pun demikian dalam menyikapi saudara Muslim lain yang berbeda pandangan dan pendapat dengan dirinya. Adapun “ide toleransi” yang dijajakan Barat ke negeri-negeri kaum Muslim sesungguhnya tidak berhubungan sama sekali dengan sikap “toleran dan santun” yang sudah mendarah daging dan dipraktikkan kaum Muslim sejak awal Islam.

Lantas, bagaimana Islam menempatkan toleransi? Dalam batas-batas apa seorang Muslim harus toleran? Kapan mereka tidak boleh toleran dengan perbedaan? Jawabannya sebagai berikut:
Pertama, seorang Muslim wajib menyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sedangkan di luar Islam salah (kufur).  Tidak ada toleransi, kompromi dan pengakuan atas klaim kebenaran agama selain Islam. Allah SWT berfirman:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (QS Ali Imran [3]: 85).

Walaupun agama lain sesat dan kufur,  seorang Muslim dilarang memaksa orang kafir masuk agama Islam. Pasalnya, kebenaran Islam begitu jelas hingga tidak dibutuhkan paksaan.
Kedua, seorang Muslim wajib menyakini syariah Islam sebagai hukum terbaik. Hukum syariah tidak pernah berubah dengan berubahnya zaman. Perzinaan, homoseksual, ber-tahkîm dengan hukum buatan manusia, memilih pemimpin kafir dan membakar bendera tauhid merupakan perbuatan haram. Statusnya tidak pernah berubah. Menerapkan syariah Islam secara kâffah, menegakkan Khilafah dan berjihad melawan orang-orang kafir berhukum wajib. Tidak pernah berubah selama-lamanya. Tidak ada tasâmuh (toleransi) dalam masalah seperti ini.

Seorang Muslim wajib menerapkan syariah Islam, baik orang kafir setuju atau tidak. Allah SWT berfirman:
فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨ وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩
“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan Allah, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”. (QS al-Maidah [5]: 48-49).

Menghalangi dakwah menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menjaga toleransi antarumat beragama dan menghormati kesepakatan nenek moyang dulu, jelas-jelas haram.  Sebab, tidak ada toleransi dan kompromi dengan orang kafir dalam hal penegakkan syariah dan Khilafah.  Kewajiban ini harus tetap dilaksanakan, baik orang kafir setuju maupun tidak.  Begitu pula semua syarat dan kesepakatan yang mencegah upaya penerapan syariah dan Khilafah wajib ditolak dan absah dilanggar.

Ketiga, dalam urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman, dan pakaian, orang kafir dibiarkan melakukan semua itu sesuai agama mereka. Mereka tidak dipaksa meninggalkan peribadahan, tata cara pernikahan dan urusan-urusan privat mereka. Saat menaklukkan Mesir, para Sahabat menyaksikan dan membiarkan kaum kafir minum khamr dan beribadah menurut agama mereka.

Hanya saja, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir, termasuk di antaranya menjaga tempat peribadahan orang kafir saat peribadahan atau perayaan hari besar mereka dengan alasan toleransi.  Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka”. (HR Ahmad).

Dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra. pernah berkata, “Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sungguh murka Allah SWT turun kepada mereka pada hari itu.” (HR al-Baihaqi).

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kaum Muslim haram merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslim juga haram memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka.”

Adapun dalam muamalah, seorang Muslim boleh bermuamalah dengan orang kafir, asalkan sejalan dengan syariah Islam. Seorang Muslim juga tidak dilarang menjalin hubungan baik, bertetangga, atau melakukan interaksi-interaksi sosial positif dengan orang kafir. Dalam naungan Islam, seluruh kelompok masyarakat melebur dalam tungku Islam dan diintegrasikan ke dalam masyarakat Islam tanpa diskriminasi. Hal ini didasarkan pada bebarapa hal:

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan ikatan aqidah Islam dan menjadikan ikatan yang mengikat anggota masyarakatnya dengan keimanan kepada Islam, bukan pada atribut kemajemukan yang sunatullah.

Islam memandang manusia tidak didasarkan pada ‘bentukan ciptaanNya’ seperti atribut etnis, warna kulit ataupun bahasa. Islam memandang manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia.

Islam tidak mengenal negara Islam yang didasarkan pada Etnis ataupun bahasa, juga tidak mengenal perbatasan secara geo-politik yang bersifat fixed.

Meskipun konsep (mengenai) umat Islam itu memegang peranan penting di dalam Islam, akan tetapi hal tersebut tidak dijadikan atribut dasar kewarganegaraan di dalam negara Islam. Islam hanya mensyaratkan atribut keloyalan kepada negara dan sistem  hukum Islam bagi orang yang memegang kewargenegaraan Negara Islam.

Berdasarkan keempat perkara di atas, maka konsep minoritas tertolak dan tidak mempunyai ruang dalam Islam. Adanya keberagaman dan perbedaan yang ada di antara manusia hanyalah menujukkan adanya fakta pluralitas.

Konsep minoritas yang berasal dari Barat dan telah tersebarluaskan ke dunia tidak memberikan solusi atas apa yang mereka namakan dengan isu minoritas. Justru isu minoritas telah membawa krisis dan membuatnya lebih rumit. Wajar saja, karena isu minoritas bekerja dengan mewujudkan tiik-titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan seperti itulah yang terjadi dalam masyakat Barat dengan sistem kapitalismenya.

Lagi-lagi, secara praktis, kapitalisme telah mengalami kegagalan total dalam meleburkan berbagai suku dan Bangsa dalam tataran intektual, begitu pula perlakuan terhadap kaum minoritas dalam berbagai bentuknya (ex; sentimen rasial di semua level masyarakat, diskriminasi dalam urusan agama, islamophobia).

Persoalan minoritas tidak akan pernah bisa diselesaikan, kecuali ada di bawah naungan institusi Islam. Karena negara khilafah sajalah yang memiliki kemampuan untuk melebur masyarakat di dalam sebuah tungku Islam. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut. Negara khilafah jugalah yang telah terbukti mampu mengurus ahlul dzimmah dengan cara menjamin mereka untuk mendapatkan kehidupan bahagia, stabil dan aman. Wallahualambishawab. (*)