Opini  

Visi Sula Bahagia tak Sesuai Ekspektasi

Fardi Upara.

Oleh: Fardi Upara

Sekjen KAMMI Daerah Kepulauan Sula

DETAK jantung berdebar membuat yang berjuang merasa diasingkan, Kalam dan Tabula rasa menjadi saksi memperpanjang naluri dan menghadirkan bukti bahwa mereka harus diberi sanksi. Yang beretika dan bijaksana mempetimbang rasa dan bertanya, sungguh anehnya bahtera ini yang penumpangnya migrasi ke bahtera lain. Perputaran ekonomi atas perpanjangan kapitalisasi membuat yang proletar semakin terasingi.

Rayuan maut yang dijadikan ajang pamer-pameran untuk mempermainkan opini, agar yang tak berdosa terbelenggu dan mengedepankan emosional menerima boomerang yang dikenal dengan DOB (daerah otonomi baru).

Asyiknya nakhoda keempat ini hadir dengan narasi yang menjadi perbincangan hangat di media cetak maupun media massa, yang hanya berkonsep tanpa implementasi. Para anjing-anjing pelacak tuan berdasi terbelenggu oleh finansial karena atas dalil untuk memuaskan nafsu birahi.

Meja bundar yang seharusnya diperbincangkan masalah kemaslahatan umat, namun berbalik arah malah menjadi ajang diskusi dan saling menuding bahwa aku yang pantas dimiliki. Masa Khalifah hanya dijadikan perantara untuk memenuhi kantong-kantong tuan dan puan berdasi dan merampok yang bukan miliknya tanpa diadili.

Hukum Indonesia hanya jadi ketukan sah di atas meja pengadilan, selepasnya hanya jadi wallpaper yang dipajang dan dirapikan tanpa ada implementasi. Serangkai kata yang mempunyai makna, namun itu hanya jadi diksi visi dan misi tanpa implementasi.

Jika hari kemarin, hari ini dan hari esok masih sama, maka jangan pernah teriak bahagia. Dan jika perputaran ekonomi dan sumber daya manusia masih seperti judul lagu Dian Piesesha “Aku Masih Seperti yang Dulu”,  maka hanya ada satu kata, lawan.

Tiupan angin membuat gerisih dan gemetar tubuhku, malu menalu disanjung oleh puan yang bersemedi saat mengungkapkan hiasan bibir yang tak kunjung realisasi di beberapa dekade yang lalu. Detak jantung memikat mengenang logika alamiah puan saat merangkai kata untuk menggetarkan hati yang masih labil, polos dan tak berdosa di kala itu.

Kian waktu telah berlalu, tuan dibelenggu atas kehendak puan yang menghilangkan rasa kemanusian dan lebih mengedepankan sikap seorang hakim di pengadilan yang dibujuk rayuan setan dengan imbalan “ini untukmu”.

Gerimis melanda menghadirkan ruang-ruang pilu membuat resah, gelisah, dan sedih seperti lingkaran yang tiada ujungnya. Asyiknya puan menonton film dengan mata terlanjang yang seharusnya puan mengambil tindakan, bukan malah diabaikan.

Anehnya, puan yang menakhodai bahtera ini, seperti lirik lagu “sungguh aneh tapi nyata”. Ufuk barat, ufuk timur, ufuk selatan, dan ufuk utara yang menjadi sentral perhubungan puan mencapai tujuan. Namun, tangisan dan kemelaratan disebabkan bencana alam yang melanda, tapi dijadikan ajang pamer-pameran di media, bukan memberikan solusi dan sumbangsi malah dihiraukan.

Inikah yang disebut BAHAGIA? Jika cinta sudah menjelma dan membabi buta atas pemberi harapan tanpa realisasi, ada baiknya ungkapkan atau ocehan anak-anak lebih berarti, sebab mereka tak pernah membohongi.

Jik kemelaran dan tangisan kami yang tak berdosa diabaikan, dan kebahagiaan hanya buat mereka yang salah ditokohkan, maka jangan pernah teriak kata BAHAGIA. (*)