Opini  

Menanggapi Penistaan Terhadap Nabi Adam dan Siti Hawa

Raihun Anhar.

Oleh: Raihun Anhar, S.Pd

Pemerhati Umat

CAMAT Mandioli Selatan, Halmahera Selatan, Ridwan Kamarullah dalam status Facebooknya menuliskan: “Nabi Adam dan Hawa itu pernah telanjang kasana kamari tapi tarada masalah, ini ngana deng baju kong masalah p banyak…Haiwan ee..”. Ia juga melengkapi kalimat tersebut dengan emoji tertawa. Sungguh bukan contoh pemimpin yang baik. Majelis Ulama Indonesian (MUI) Halmahera Selatan telah memanggilnya untuk tabayyun/klarifikasi. Namun, ia tidak memenuhi panggilan tersebut. Jaretnews.com (10/7).

Pemkab Halsel sebelumnya telah meminta klarifikasi dari Ridwan. Kemudian ia mengatakan bahwa kalimat Nabi Adam dan Hawa pernah telanjang adalah fakta. Ia menuliskan status tersebut bertujuan untuk menegur anaknya yang sering pulang pagi. Dilansir dari Tribunternate.com (6/7).

Jika bermaksud menegur anak janganlah di posting di medsos. Tegurlah anakmu saat ia ada rumah. Jika ia tidak mendengarkanmu jangan juga diluapkan di medsos mengingat anda adalah pemimpin yang memiliki pengaruh pada masyarakat. Pernyataan tersebut juga memiliki pengaruh buruk seperti: orang akan merasa lebih baik jika tidak berpakaian dibanding berpakaian. Dengan demikian akan menambah kerusakan dalam kehidupan manusia.

Mendudukkan Makna dari Pernyataan Penistaan Agama

“Nabi Adam dan Hawa pernah telanjang”. Kalimat Nabi Adam dan Hawa pernah telanjang ke sana kemari tidak ada masalah. Semua manusia terlahir memang dalam keadaan telanjang, tidak ada manusia yang lahir ujuk-ujuk udah berpakaian. Tetapi tidak telanjang selama hidupnya. Apabila telanjang selama hidup akan menjadi masalah.

Oleh karena itu, kalimat tersebut adalah salah. Mengapa? Karena tidak berpakaian adalah masalah. Jika telanjang tidak masalah untuk apa diciptakan pakaian. Mengapa juga Allah perintahkan kita menutup aurat?. Bukankah sesuatu yang tidak masalah harusnya dibiarkan?. Lalu mengapa Allah berikan pakaian dan meminta menutup aurat bukan membiarkan?. Pikirlah dulu sebelum menuliskan sesuatu.

Kemudian lanjut pada penyataan berikut “ini ngana deng baju kong masalah p banyak”. Namanya hidup tentu ada masalah, bahkan setiap hari manusia menghadapinya. Tidak makan dan minum masalah, biaya hidup mahal masalah, pulang pagi masalah, anak keluyuran malam juga masalah untuk kedua orang tuanya.

Maka dari itu pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai penistaan terhadap Nabi Adam dan Siti Hawa. Menista Nabi berarti juga menista agama. Tidak pantas seorang muslim mengatakan kalimat tersebut untuk menasihati. Ada banyak pilihan perumpaan yang bisa dipakai tanpa harus menista Nabi.

Selain menista Nabi, pernyataan tersebut juga mengandung penghinaan terhadap manusia. Hal itu dapat dilihat melalui caption terakhirnya yang menggunakan kata “haiwan” yang berarti hewan. Sudah begitu ditambah emoji ketawa yang bisa berakibat pada terlukanya hati anaknya, sudah ditegur di depan banyak orang (medsos), lalu tegurannya tidak Ahsan/baik pula.

Negara Menyikapi Penistaan Agama

Akan dibahas perbedaan antara negara kapitalisme demokrasi dan khilafah dalam menyikapi penistaan agama. Dimulai dari negara kapitalisme demokrasi yang hari ini kita hidup di dalamnya. Beginilah kiranya kapitalisme menyelesaikan penistaan.

Penistaan agama sudah sering terjadi di negeri ini. Masih ingat kasusnya Ahok yang menista ayat Qur’an surah Al Maidah ayat 51? Pada kasus ini kita akan lihat bagaimana negara demokrasi menyelesaikannya. Pada saat pernyataan Ahok viral di medsos, pemerintah tidak langsung bertindak. Rakyat tidak tahan, terjadilah aksi 212 untuk membela Alquran. Dari peristiwa besar inilah akhirnya membuat rezim ambil tindakan dengan memasukkan penjara Ahok. Namun mengejutkan sekali takala ia keluar ia malah diangkat menjadi Menteri Perdagangan. Bisa-bisanya narapidana penista agama jadi pejabat. Begitulah gambaran demokrasi dalam menyikapi penistaan agama. Pelakunya masih diberi kedudukan yang istimewa walau sudah menista agama mayoritas di Indonesia.

Kasus kedua yaitu kasus Holywings yang menggratiskan miras untuk yang bernama Muhammad dan Maria. Negara pun tidak cepat dalam mengambil keputusan. Tetapi negara mengambil keputusan tatkala banyak rakyat yang protes. Hukuman mereka pun sama dengan Ahok yaitu masuk penjara.

Dari kedua kasus di atas menunjukkan bahwa dalam demokrasi pelaku penistaan agama tidak dianggap buruk sekali sehingga hanya diberikan hukuman penjara. Hukuman penjara bagi mereka yang mampu bisa dibeli. Mereka bisa hidup enak di sana tanpa dihukum apapun. Bahkan ada narapidana bebas melanglang buana ke luar negeri.

Lalu bagaimana khilafah menyelesaikan penistaan agama. Dalam khilafah, penistaan agama adalah tindakan kriminal. Sehingga pelakunya akan diberikan hukuman yang membuat ia jera seumur hidup dan menjadi pelajaran untuk yang lain. Hal itu dilakukan karena hukum Islam memiliki dua fungsi yakni sebagai jawabir (penembus) dan jawazir (pencegahan).

Dalam pelaksanaannya telah tergambar dalam sejarah peradaban Islam yang dimulai sejak hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah. Pernah dikisahkan dua orang yang bertanya permasalahan mereka pada Nabi Saw, akan tetapi mereka belum puas. Kemudian mereka memutuskan untuk bertanya kepada Umar bin Khattab, saat ia (Umar) mengetahui bahwa mereka telah bertanya pada Nabi Saw. Tanpa pikir panjang segera diambil pedang dan ditebas leher orang yang bertanya karena menganggap hal itu sebagai penistaan terhadap Rasulullah Saw.

Kemudian pernah terjadi penistaan Nabi di masa khilafah Utsmani. Dimana Prancis hendak mengadakan teater karikatur Nabi Muhammad Saw. Sesegera mungkin Khalifah atau Sultan Abdul Hamid II mengentikannya. Ia mengancam akan memerangi Prancis apabila mereka melaksanakan teater itu. Prancis ketakutan dan segera menghentikan pertujukan tersebut.

Itulah kedua kisah yang bisa menjadi contoh bagaimana khilafah menyelesaikan masalah tersebut. Dari kedua negara ini, tentu yang terbaik adalah khilafah karena ia menjaga agama dengan baik. Tidak akan dibiarkan Islam dinista dengan lisan atau apapun itu. Sesegera mungkin negara menghukum pelakunya dan memberikan pelajar bagi yang lain agar jangan melakukannya.

Oleh sebab itu, kita butuh negara yang demikian agar kehidupan menjadi teratur. Kita tidak akan mendapatkan pemimpin yang buruk akhlaknya, para generasinya juga terjaga dari berbagai kerusakan, dan tentu agama akan dijaga dengan baik agar tidak ada lagi penistaan agama. Wallahualam bishawab. (*)