TALIABU, NUANSA – Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) Bawaslu Maluku Utara, Alfian M Ali, menilai Adidas La Tea masih layak untuk diakomodir sebagai calon anggota Bawaslu Kabupaten Pulau Taliabu.
Ini terkait dengan sorotan terhadap putusan DKPP tahun 2020 terhadap Adidas La Tea yang saat ini kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota Bawaslu Taliabu.
Dalam putusan tersebut, majelis DKPP berkesimpulan bahwa Adidas La Tea selaku Ketua Bawaslu dianggap mempunyai tanggung jawab moral dan hukum melakukan tugas sesuai pengetahuan dan keahlian untuk menegakkan pelanggaran administrasi pemilihan.
Namun, Adidas La Tea dan para teradu lainnya beralasan penanganan pelanggaran administrasi mensyaratkan penanganan pelanggaran pidana harus terpenuhi lebih dahulu. Kesimpulan tersebut pada pokoknya tidak lepas dari tugas dan tanggung jawab dalam penanganan pelanggaran pemilihan.
Menurut Alfian, pada prinsipnya penanganan pelanggaran sejatinya sudah dilakukan pada waktu itu, hanya saja pada aspek administrasi terdapat kekeliruan dalam pemahaman penanganan, tentu hal itu bukan kesengajaan. Atas kekeliruan tersebut, Adidas diturunkan dari jabatan ketua menjadi anggota Bawaslu Taliabu oleh DKPP.
“Pergantian ketua atau rolling divisi itu merupakan bagian dari evaluasi untuk meningkatkan kualitas kinerja kelembagaan, dan ini telah dijalankan dengan baik sampai sekarang,” ujar Alfian, Jumat (21/7).
Alfian bilang, Adidas tidak dapat diakomodir kembali apabila mendapatkan putusan pemberhentian tetap atau dipecat oleh DKPP. Sebagaimana diketahui, sifat dari sanksi etika itu bersifat membina atau mendidik, mulai dari bentuk sanksi yang paling ringan, yaitu teguran lisan sampai ke tingkat yang paling berat, yaitu peringatan keras secara tertulis.
Sedangkan, sanksi yang bersifat berat bertujuan untuk menyelamatkan citra, kehormatan, dan kepercayaan publik terhadap institusi dan jabatan yang dipegang oleh pelanggar kode etik, yaitu dalam bentuk pemberhentian yang bersangkutan dari jabatan yang dapat bersifat sementara atau bersifat tetap.
Sanksi pemberhentian sementara dimaksudkan, kata dia, untuk memulihkan keadaan, yaitu sampai dicapainya kondisi yang bersifat memulihkan keadaan korban atau sampai kepada keadaan pelanggar dengan sifat pelanggaran atau kesalahan yang terjadi telah terpulihkan.
Sedangkan pemberhentian tetap dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas dengan maksud untuk menyelamatkan institusi jabatan dari perilaku yang tidak layak dari pemegangnya.
Hal lain di luar dari sanksi etika, misalnya sanksi pidana. Apabila seorang narapidana sudah dinyatakan bebas dari vonis, maka yang bersangkutan patut diterima dan diperlakukan sama seperti warga masyarakat pada umumnya.
Sebab, dia berhak untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
“Oleh karena itu, putusan kode etik dari DKPP terhadap Adidas La Tea juga tidak bisa dipandang sebagai alasan untuk tidak diloloskan pada tahapan selanjutnya dalam seleksi Bawaslu Pulau Taliabu 2023. Sebab yang bersangkutan sejak adanya putusan tersebut dibacakan hingga pada hari ini telah dijalaninya dengan baik dan pada dugaan pelanggaran kode etik, yang bersangkutan tidak mengulangi kembali tindakannya dan telah bekerja secara profesional dan berintegritas sebagai penyelenggara pemilu,” tandasnya. (tan)