Oleh: Naufandi Hadyan Saleh
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ternate
SECARA sederhana bahasa merupakan kumpulan bunyi yang disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Selain itu bahasa juga acap kali sering dipandang sebagai sarana yang digunakan untuk menyampaikan sebuah maksud tertentu. Aristoteles dalam Sumarsono (2004:58) menyatakan bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia. Sebagai makhluk sosial (homo socius) posisi bahasa dalam keseharian manusia sangatlah penting. Bahasa dapat menunjang aktifitas manusia seperti berkomunikasi dan beribadah. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 31 dijelaskan ketika Allah menciptakan Nabi Adam selaku manusia pertama yang hadir di muka bumi, maka terlebih dahulu Dia mengajarinya nama-nama (bahasa). Hal ini mengindikasikan kalau bahasa merupakan salah satu kebutuhan manusia yang digunakan untuk menjalani kehidupannya.
Pepatah mengatakan bahasa menunjukkan bangsa. Sebagai bangsa yang besar dengan keberagaman sosial dan budaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menyimpan kekayaan keberagaman. Satu dari banyaknya keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia adalah mempunyai bahasa daerah yang sangat banyak (indigenous languages). Menurut Ethnologue, Indonesia memiliki 715 bahasa daerah dan merupakan negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini dengan 840 bahasa daerah.
Saat ini di tengah-tengah arus globalisasi di mana iptek begitu berkembang pesat ditambah pergeseran budaya serta gaya hidup. Manusia yang hidup di era ini dituntut untuk menghadapi tantangan mempertahankan kebudayaan leluhurnya. Sebetulnya kehadiran teknologi tidak selalu membawa dampak positif bagi masyarakat, sebaliknya ia juga mampu menghadirkan dampak negatif.
Secara faktual misalnya, saat ini dapat kita saksikan dengan kehadiran media sosial masyarakat cenderung lebih menyukai hal-hal yang bersifat komoderenan dan kebarat-baratan (westerniasasi). Hal ini bukan tanpa alasan, ambil contoh kita mungkin sering mendengarkan istilah-istilah tentang bahasa Jaksel (Jakarta Selatan) yang merupakan campuran dari bahasa Indonesia dan Inggris. Penggunaan bahasa ini sering kali dianggap sebagai role model anak muda zaman sekarang. Kata healing (liburan), for your information-fyi (sekadar informasi untukmu), let’s say (katakanlah), overthinking (banyak pikiran) dan masih banyak lagi begitu sering kita jumpai di platform media sosial anak muda Indonesia. Kebanyakan anak muda kini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia–Inggris dalam obrolan sehari-hari mereka maupun saat hendak meng-upload status-status di media sosialnya.
Barangkali ini disebabkan oleh stigma yang terbangun di kalangan anak muda yang menganggap bahwa budaya barat selalu diidentikkan dengan modern. Sementara budaya timur selalu diidentikkan dengan tradisional. Dengan demikian mereka cenderung lebih menyukai kebudayaan asing yang dianggap mereka lebih menarik dan gaul dibandingkan kebudayaannya sendiri. Tentu pernyataan ini tidaklah dapat dibenarkan. Penulis cenderung lebih setuju dengan pendapat Nurcholish Madjid yang mengemukakan pandangannya tentang westernisasi. Menurutnya, westernisasi itu bukanlah modernisasi melainkan rasionalisasi.
Seharusnya penggunaan bahasa daerah harus dan senantiasa lebih diutamakan dibandingkan penggunaan bahasa asing. Sebab, bahasa daerah mencerminkan identitas dan mempunyai filosofi yang mendalam. Sayangnya penggunaan bahasa daerah sangatlah pasif bagi kalangan anak muda. Ini menjadi tugas penting bagi kita semua khususnya anak muda agar bisa dan selalu menggunakan bahasa daerah di dalam aktivitas kesehariannya. Misalnya, pada daerah Maluku Utara tepatnya di Kota Ternate, dari data yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Bahasa Maluku Utara, Dr. Arie Andrasyah, S.S., M.hum yang mengatakan Bahasa Ternate merupakan bahasa daerah yang penggunaannya pasif di kalangan remaja, dan aktif digunakan oleh mereka yang berusia 30 tahun ke atas. Jika hal ini tidak dapat diubah, maka bukan hal yang mustahil di beberapa tahun ke depan bahasa Ternate akan mengalami kepunahan.
Senada dengan itu, menurut Malinowski (2005) budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya. Pergesaran budaya dan gaya hidup inilah yang menjadi tantangan kita bersama selaku kaum muda untuk menggelorakan bahasa daerah sebagai upaya menjaga dan melestarikannya. Untuk itu, penulis ingin menghadirkan beberapa pandangan sebagai anak muda dalam ikhtiar merawat bahasa daerah:
- Anak muda pelopor kebudayaan
Anak muda sebagai pelopor kebudayaan adalah satu langkah taktis menanggulangi pasifnya penggunaan bahasa daerah. Salah satu faktor dari pasifnya penggunaan bahasa daerah adalah tidak adanya pembiasaan bahasa daerah dalam keseharian. Anak muda harus terbiasa dengan bahasa daerahnya dan anak muda harus hidup dengan identitas bahasa daerahnya. Untuk itu, sebagai kelompok yang memegang arah dan masa depan bangsa harusnya menjadi pelopor kebudayaan atau yang kita kenal dengan culture experience atau pengalaman budaya. Dengan melihat kenyataan bahwa penggunaan bahasa Jaksel yang begitu sering ditemui di media sosialnya anak muda, maka sudah seharusnya kebiasaan itu diganti dengan penggunaan bahasa daerah.
Dibutuhkan sosok konten kreator dari kalangan anak muda yang hadir dengan konten-konten kebahasa-daerahan. Hal ini dianggap penting, sebab saat ini pasar dari anak muda untuk mendapatkan informasi dan hiburan adalah media sosial. Dengan demikian, media sosial dianggap penting sebagai ajang promosi dan pembiasaan bahasa daerah.
Jauh sebelum harumnya media sosial sebagai ruang informasi dan hiburan, telah hadir lebih dulu acara TV Si Bolang yang selalu setia menemani akhir pekan anak muda Indonesia. Acara yang tayang di Trans7 ini benar-benar mendapatkan tempat di hati berbagai kalangan dan usia. Mengusung tema petualang yang diselipkan dengan komunikasi menggunakan bahasa daerah menjadikan acara ini sebagai salah satu acara dengan rating tertinggi untuk program TV anak-anak. Belajar dari Si Bolang dapat kita petik pelajaran bahwa bahasa daerah masih tetap digemari jika mampu diramu dengan konten-konten menarik.
- Inovasi digital berbahasa daerah
Sebagai kelompok yang memiliki usia rata-rata produktif menjadikan anak muda sekarang dituntut untuk bisa berinovasi di dalam dunia digital. Kenapa inovasi digital dinilai penting? Karena penggunaan teknologi di era ini sangatlah tinggi. Misalnya penggunaan aplikasi kamus berbahasa daerah. Secara umum kita mungkin sering sekali menemukan aplikasi kamus berbahasa Indonesia–Inggris atau pun Indonesia-Arab dalam handphone atau komputer kita. Namun, jarang sekali kita temukan aplikasi kamus berbahasa daerah. Kamus berbahasa daerah kebanyakan hanya bisa ditemukan dalam bentuk buku, itu pun sedikit dan tak banyak yang bisa mendapatinya.
Dengan hadirnya inovasi digital dalam bentuk aplikasi kamus berbahasa daerah dinilai sangatlah membantu anak muda untuk lebih mengenal dan terbiasa dengan bahasa daerahnya. Disamping itu aplikasi kamus berbahasa daerah juga dapat membantu anak muda yang rutin bergerak di bidang penelitian budaya.
Selain aplikasi kamus berbahasa daerah, inovasi digital yang bisa dihasilkan oleh anak muda adalah aplikasi game berbahasa daerah, dan aplikasi marketplace berbahasa daerah. Nantinya penggunaan aplikasi berbahasa daerah ini akan didesain dengan fitur-fitur pendukung yang mencerminkan identitas kedaerahan. Jika segala bentuk inovasi digital berbahasa daerah berjalan dengan baik, tentunya anak muda akan semakin peka dan tertarik untuk mengenal dan turut bangga dengan bahasa daerahnya.
- Lingkungan berbahasa daerah
Sebetulnya tidak ada cara yang lebih efektif untuk diaplikasikan selain memulai berbahasa daerah dari lingkungan terkecil yang ada di rumah. Sebab pada dasarnya yang dibutuhkan dari seseorang hingga ia bisa menjadi penutur sebuah bahasa adalah pembiasaan. Seseorang yang setiap hari telinganya terbiasa mendengarkan sebuah bahasa, maka secara tidak langsung lisannya akan ikut dan terbiasa dalam menuturkan.
Pada pembiasaan ini penulis menilai dibutuhkan sinergitas antara penutur bahasa daerah yang usianya di atas 30 tahun khususnya para orang tua kita untuk bisa melatih setiap anak agar mau berbahasa daerah di dalam rumah maupun sekitar lingkungannya. Ini dinilai efektif, sebab salah satu faktor yang paling bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah lingkungannya. Maka penting untuk anak muda beserta seluruh elemen masyarakat agar bahu membahu bekerja sama mendesain lingkungan berbahasa daerah.
Akhirnya penulis berkeyakinan, jika semua ikhtiar dapat diimplementasikan dengan baik dan maksimal kiranya masa depan Indonesia akan identitas kebahasa-daerahan masih tetap terjaga dengan baik, sekaligus dapat meningkatkan kepekaan anak muda dalam bertutur menggunakan bahasa daerah. (*)