Oleh: Muhajir Rasid
Aktivis HMI Cabang Ternate
SEBUAH aforisme dalam kamus kesejarahan, mengawali tulisan ini. Sebab demikian arloji memerlukan paralelisme, antara episode ke episode dalam hidup saling berkesinambungan.
Sejarah itu tak berulang, akan tetapi ia bersajak. Barangkali ini aforisme yang fenomenal, kamus sejarah ini yang dimaksud dan termasuk dalam studi “Imagination of Historical“, menjadi hukum dan filosofis peristiwa masa lampau.
Muhammad I’nam Esha pernah memformulasi buku berjudul Percikan Filsafat dan Sejarah Peradaban Islam. Dalam penjelasannya amat terasa menarik. Bagaimana tidak, secara teoritis I’nam Esha sebutkan bahwa sejarah butuh dialogis.
Berangkat dari “sejarah itu bersajak”, disertai dialogisnya sejarah, sangat perlu menelaah grand peristiwa. Yang sasaran waktu pada peristiwa yang akan diulas ini, terbagi kepada tiga dimensi sekaligus. Di sini layak, Imajinasi Sejarah melontar.
Grand Peristiwa dimaksud, ialah Perang Karbala. Masih ingatkah peribahasa bernuansa ideologis ala kaum Syi’ah Iran?. “Setiap hari adalah Asyura setiap tempat adalah Karbala”. Meski berabad-abad lamanya, kata-kata itu berselancar di kepala, benak kaum Syi’ah serasa sesak terisi peristiwa agung penuh hikmah ini.
10 Muharram cukup sakral, Tahun 689 Masehi itu dibenak semua penggiat sejarah Islam ialah peristiwa Karbala. Di mana, peristiwa itu menjadi catatan atas wafatnya cucu Nabi Muhammad Saw. Bernama Husein Bin Ali Bin Abi Thalib yang dibunuh secara tragis.
Dalam notes sejarah penegasan Islam sebagai agama hak lagi sempurna benar-benar dijalankan Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Rasulullah Saw. Ini, dengan penuh altruisme dilandasi heroisme mengorbankan dirinya demi tegaknya ajaran Islam.
Hal tersebut tergambar saat perlawanan atas penguasa yang dapat disebut zalim, yakni Yazid bin Muawiyah, perlawanan terhadap takhta maupun jabatan yang salah dipergunakan, perlawanan atas sifat keangkuhan, perlawanan atas sifat kedengkian.
Dalam buku Ali Syar’iati, Agama versus Agama dijelaskan dua berhala, di antaranya berhala sosial dan berhala psikologi. Untuk tujuan menelaah sifat kedua tokoh dalam peristiwa tersebut, penulis meminjam berhala psikologi. Karena memiliki paralelisme, atau bersajak dengan ketika melihat peristiwa itu yang tetap berkesinambungan. Di mana seorang pimpinan yang tidak dilandasi oleh sifat siddiq, fatanah, tablik dan amanah.
Di sisi lain, terdapat juga sebuah teori gerak sejarah yang dicetuskan oleh Ibnu Khaldun, seorang cendikia berkebangsaan Tunisia. Dia menyebutnya teori linear. Linieritas peristiwa tersebut terletak pada sifat sejarah antara pemilik hak dan perompak bathil. Yaitu antara Al-Husein telah menjadi pribadi yang baik, dalam melawan dinding-dinding kejahilian, yang sengaja dipraktekkan anak Muawiyah. Patut menjadi teladan dalam berkehidupan kini bagi seluruh generasi muda Islam.
Atas peristiwa dan sifat yang terungkap, timbul pertanyaan apakah fenomena pemimpin bangsa di era globalisasi ini memprihatinkan?. Tentu, karena tidak semua pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan, karena jiwa kepemimpinan hanya bisa digapai dengan cara.
Sementara pemimpin bervisi yang mampu menjalankan sifat kepemimpinan layaknya Al-Husein itu harus dipersiapkan, dididik dan dibentuk melalui proses yang matang. Istilahnya pemimpin yang visioner lahir karena diproyeksi, bukan metodologi suksesi.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan, sementara ia tidak dilahirkan dari proses dunia intelektual yakni dipersiapkan, dididik dan dibentuk, yang nantinya mereka bakal menjadi pemimpin-pemimpin pada segala sektor.
Maka kita dapat menangkap spirit atas peristiwa Karbala, yang hak patut diperjuangkan dan yang batil mestinya dicegah. Apakah kita akan menjadi Yazid Bin Muawiyah ataukah Husein, pada wilayah pikiran?.
Dustur Al-Qur’an, termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 42. Berbunyi “(Walatalbisul Haqqa Bil Batil, Wataqtumul hak, Waantum ta’lamun)”. Artinya “Janganlah mencampur adukkan kebenaran dan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikannya, sedangkan kamu mengetahuinya,”. (*)