Oleh: Zahra Riyanti
Aktivis Muslimah & Mahasiswi Pascasarjana MMPT UGM
DI tengah situasi sulit saat ini, masyarakat berlomba mencari sumber pendapatan hidup untuk mememenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Tak terkecuali para Ojek Online (Ojol) juga yang tengah berjuang banting tulang untuk mengais pundi-pundi rupiah demi menafkahi anak, istri dan keluarga. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan informasi yang beredar mengenai pendapatan OJOL saat ini yang jauh dari kata cukup, tak sedikit pelaku OJOL yang dijumpai itu melemparkan keluhan dan kegalauan hati kala bicara soal income. Selain itu Banyak asumsi yang berkembang terkait eksistensi aplikasi OJOL yang menjadi mitra keduanya yakni pihak aplikasi ojek online maupun para driver (pengemudi), seperti ungkapan pernyataan ahli hukum perburuan UGM bahwa hubungan ‘kemitraan’ antara pengemudi ojek daring dengan perusahaan aplikasi sudah waktunya ditertibkan oleh pemerintah, karena tenaga mereka dieksploitasi, sedangkan penghasilan mereka semakin mengenaskan.
Lewat pemberitaan yang ada disinyalir pendapatan Ojol perhari sekitar Rp10 ribu sampai Rp100 ribu bahkan kadang adakala nol rupiah. Inilah sebabnya, dari Rp1.000 pengendara ojol dan kurir yang diteliti oleh mahasiswa doktoral London School of Economic (LSE), Muhammad Yorga Permana, sebanyak 66% menyatakan ingin berhenti dan jika ada kesempatan lain ingin beralih jadi pekerja kantoran. Permasalahan ini akibat terdapat potongan komisi yang begitu besar dari pihak aplikator kepada driver ojol. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati bahwa potongan komisi yang diterapkan aplikator terhadap para pengemudi (driver) ojek online (ojol) saat ini tidak kunjung membaik lantaran regulasi batas maksimal biaya komisi tersebut kembali menjadi 20%. Walaupun sebelumnya sudah ditetapkan maksimal 20%, tetap saja aplikator melanggar ketentuan dengan melakukan potongan lebih dari 20%. Potongan inilah yang memberatkan pengemudi ojol tersebut di kisaran 22—40% dalam setiap ordernya.
Seperti yang termuat dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) No. 667/2022 dimana telah menurunkan potongan komisi atau biaya sewa penggunaan aplikasi menjadi 15% dari sebelumnya 20%. Namun, aturan tersebut diubah kembali melalui Keputusan Menhub No. 1001/2022 hanya dalam waktu dua bulan kemudian. Regulasi tersebut memberi dampak luar biasa terhadap kesejahteraan pengemudi ojol yang semakin bertambah pelik. Adapun perubahan aturan itu lebih mengikuti kemauan aplikator ketimbang menyejahterakan pengemudi ojol. Praktik yang merugikan ini terjadi hanya karena status mitra yang melekat pada pengemudi ojol, sedangkan aplikator terus berusaha memburu profit sebesar-besarnya dengan tidak mempekerjakan pengemudi ojol sebagai status pekerja.
Kondisi ini mengakibatkan pengemudi ojol mengalami ketidakpastian income. Pasalnya, mereka tidak memiliki jaminan pendapatan bulanan seperti upah minimum yang layak. Sehingga mereka “dipaksa” untuk bekerja lebih dari delapan jam kerja, bahkan hingga 17 jam tanpa kenal lelah. Terlebih lagi bagi pengemudi ojol perempuan, kondisi eksploitatif ini makin buruk karena tidak adanya cuti haid, melahirkan, ataupun menyusui. Artinya, pengemudi ojol perempuan kehilangan pendapatan karena dihitung tidak bekerja atau off bid. Dengan demikian, aplikator tidak memenuhi hak-hak pengemudi ojol sebagai pekerja sebagaimana tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu seperti yang kita ketahui bahwa Pengemudi ojol Gojek, Grab, dan sebagainya telah menjadi tren sejak 2010 hingga 2016 sampai dipuji-puji oleh pemerintah karena kontribusinya begitu besar dalam menyerap tenaga kerja di sektor riil. Bahkan, salah satu pemiliknya dijadikan sebagai orang penting di pemerintahan. Namun saat ini, nasibnya berbeda. Banyak pengemudi yang akhirnya meninggalkan aplikasi ini karena dianggap melakukan praktik bisnis yang tidak adil dan zalim.
Terlebih lagi pihak aplikatornya lebih fokus pada eksistensi bisnisnya daripada membantu jutaan nasib pengemudi di luaran sana. Bahkan sejak awal berdiri, aplikator cenderung tidak serius dalam mengembangkan SDM para pengemudinya. Adanya bom pengemudi baru yang cukup besar yang hanya dianggap sekadar turn over driver, ‘No problem’ banyak yang keluar masuk asal penting bisnis tetap berjalan. Akhirnya bisnis aplikasi ini pun akhirnya tetap bisa berjalan efisien dan menghasilkan keuntungan besar.
Dari fakta ini benar-benar tampak watak kapitalistiknya yakni prinsip meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya semurah-murahnya yang dipraktikkan di depan mata kita. Walhasil, pengemudi ojol yang merasa terzalimi, kecewa, akhirnya meninggalkan aplikasi itu dan lebih memilih pekerjaan lainnya meskipun dengan berat hati.
Selain itu juga pekerjaan ini sangat amat rentan terkena PHK sebab perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kerja mereka ini berbasis teknologi, seperti startup. Sebelumnya, PHK marak sekali di beberapa bisnis yang sudah mendunia, seperti Google dan Facebook. Untuk perusahaan lokal, ada RuangGuru. Bahkan, banyak aplikasi akhirnya membubarkan diri karena sangat rentan dengan ekonomi atau resesi dunia yang terus menghantam berbagai sektor termasuk di bidang IT sehingga jelas berdampak terhadap bisnis mereka yang padat modal dan sering melakukan praktik “bakar uang”.
Perlu dipahami bahwa bisnis berbasis IT memang sangat rentan terhadap krisis dan gejolak ekonomi. Buktinya, banyak yang bubar. Bahkan, marketplace yang tadinya memberikan fasilitas lengkap ke para pekerjanya, sekarang sudah mulai melakukan rasionalisasi dan pengurangan karyawan. Inilah nasib bisnis yang dibangun tanpa dasar yang kuat dan hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa memperhatikan nasib mitra atau pekerjanya. Mirisnya lagi penguasa di negeri yang menganut sistem demokrasi ini terlihat sangat jompo dalam meregulasi bisnis-bisnis ini. Demokrasi lambat laun tidak mampu memberikan solusi apa pun, bahkan tidak peduli akan kesejahteraan masyarakat, termasuk para pengemudi ojol tersebut.
Oleh karena itu, terkait nasib para pengemudi ojol, kita harus melihat akar permasalahannya yang kembalikan pada perspektif Islam karena hanya Islam yang mampu mengurai masalah tersebut dengan solusi tuntas. Dalam Islam kebijakan akan hajat hidup orang banyak berarti korelasinya dengan sistem Ekonomi, adapun Ekonomi dibagi menjadi dua yakni aspek makro dan mikro. Dalam kebijakan makro, negara akan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui kebijakan politik ekonominya dengan seluruh atribut yang dimiliki negara yang keuntungannya didistribusikan untuk semata-mata kesejahtaraan rakyat. Berikut secara mikro yakni hubungan pengusaha dan karyawan/mitra harus clear terlebih dahulu. Dalam artian, harus sesuai hukum syarak terkait akad-akad yang dibangun antara pengusaha dan karyawannya.
Dalam sistem Islam, regulasi itu dibuat untuk memberi kejelasan akan sistem kontrak kerja yang harus jelas, baik jumlah, waktu, maupun gajinya. Karena harus jelas sejak awal. Seorang karyawan digaji karena telah memberikan manfaat dari jasa yang telah ia berikan. Apabila manfaat itu sudah ditunaikan, maka pengusaha wajib menggaji dan tidak boleh terjadi gharar (ketidakkejelasan) antar akad kerja yang mengikat mereka. Misalnya ada potongan-potongan yang tidak jelas, apalagi sampai lebih dari 40% yang mengakibatkan rendanya pendapatan para pekerja. Akad yang jelas inilah yang kemudian membuat bisnis menjadi berkah memberi untung yang setara.
Selain itu, negara berkewajiban melakukan asistensi pengawasan secara berkala dan memenuhi kebutuhan hajat hingga per individu masyarakat secara keseluruhan. Mereka tidak mengandalkan gaji untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka karena income hanya fokus untuk urusan makan minum dan berpakaian saja. Sehingga dua poin permasalahan inilah yang harus diselesaikan terlebih dulu. Pertama, mengenai kejelasan akad kerja. Kedua, tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Semuanya sudah diatur secara sempurna dalam sistem Islam. Sehingga demikian, tidak akan ada pihak yang dirugikan dan dizalimi. Rakyat juga tidak akan mengandalkan bekerja sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Ini karena negara sudah menanggung kebutuhan kolektif utamanya seperti kesehatan, pendidikan, pendidikan, transportasi dan lainnya. (*)