Daerah  

DPRD Halmahera Barat Soroti Denda Keterlambatan Proyek Jalan Goin-Kedi

Rapat dengar pendapat Komisi III DPRD bersama Dinas PUPR Halbar. (Haryadi/NMG)

JAILOLO, NUANSA – Komisi III DPRD Kabupaten Halmahera Barat menyoroti denda keterlambatan pembangunan ruas jalan Goin-Kedi. Pasalnya, proyek yang bersumber dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 yang dikerjakan sejak 2022 hingga saat ini belum rampung.

Anggota Komisi III DPRD Halbar, Asdian Taluke, mengatakan data yang disodorkan ke DPRD dengan anggaran PEN senilai Rp208.500.000.000, dengan 12 item yang melekat di Dinas PUPR Halbar termasuk ruas jalan Goin-Kedi belum selesai.

“Apakah keterlambatan ini kena adendum lagi atau tidak, karena yang pertama sesuai dengan Perpres itu perpanjangan waktu pekerjaan 50 hari sesuai kontrak,” ujarnya saat menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinas PUPR Halbar, Rabu (2/8).

Menurutnya, kontrak pekerjaan itu pun belum pernah dikantongi Komisi III. Karena itu, ia mempertanyakan denda keterlambatan tersebut dibayar atau tidak. Sebab dalam addendum, jika hendak perpanjangan apapun sesuai dengan Perpres wajib hukumnya untuk dibayar.

“Sebelumnya kami juga sudah melakukan RDP dengan mantan Kadis PUPR Abubakar A Radjak dengan alasan keterlambatan proyek Goin-Kedi karena cuaca, dan saya bilang jangan berdalih tentang cuaca, ketika diberikan kontrak itu apapun yang terjadi harus tanggung jawab, karena dalam kontrak itu 240 hari kerja selesai itu di perpanjang adendum bahkan sudah berulang-ulang,” katanya

“Saya berharap agar jangan seperti pembangunan dari anggaran Rp159 miliar pinjaman pemerintahan sebelumnya. Belum sampai dua tahun sudah hancur. Padahal ini tanggung jawab, karena perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersepakat yang mengikat itu adalah Undang-undang. Sasadu dan FTJ juga masih kurang progres pembangunannya,” sambungnya.

Kemudian, ditambahkan Asdian, untuk DAK juga tidak dikasih data kontrak, sehingga pihaknya pun mempertanyakan papan proyek.

“Bagaimana kita mau mengawasi kalau tidak ada kontrak, makanya ujung-ujungnya diam karena tidak ada data yang valid. DAK ini 2023, di data kontrak 2022 ini dicampuradukkan, apakah ini dimasukkan kontrak PEN atau DAK karena bulan Maret itu PEN juga, berarti ini dimasukkan ke PEN tapi di sini DAK, makanya saya ngotot 2022 yang tertulis di salinan ini yang harus clear, jangan kita di DPRD kena tipu terus,” kesal politikus Gerindra itu.

Sementara itu, Plt Kadis PUPR Faris Abdulbar mengaku karena dirinya baru menjabat, sehingga terkait adendum pihaknya belum pelajari dokumen kontrak yang dipakai dan dilaksanakan di ikatan PEN ini. Ada dua jenis adendum yaitu perpanjangan waktu dan pemberian kesempatan.

“Sebelumnya saya mengira pekerjaan ini Multiyears, ternyata Singelyears. Kegiatan yang kontraknya hanya satu tahun di tahun 2022, karena kontraknya setahun dia tidak bisa melewati tahun anggaran, kalau saya yang terlibat saat itu seharusnya kontrak kita tutup dulu bukan berarti pemutusan kontrak, tetapi hitung apa yang sudah dikerjakan baru kita lelang hitung anggaran dengan catatan kita masukkan kembali anggarannya ke DPA,” tuturnya.

“Tapi ini kan sudah terjadi, sehingga kita tidak mungkin kembali. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana melanjutkan itu, sehingga saat masuk saya koordinasi dengan Inspektorat, karena PPK-nya kadis PU sebelumnya, sehingga alangkah baiknya dikoordinasikan dengan bidang-bidang yang berkompeten di situ,” tambahnya.

Faris mengaku, dirinya belum tahu adendumnya sudah berapa kali dilakukan untuk proyek PEN.

“Pak dewan sampaikan tiga kali, saya belum bisa jawab itu adendum seperti apa, kalau pemberian kesempatan dimungkinkan dua kali, pertama 50 hari tentu dengan denda dengan total atau sisa pekerjaan sesuai kontrak, yang kedua batas waktunya dimungkinkan tidak ditentukan sesuai dengan yang kita butuhkan untuk selesaikan, tetapi dengan konsekuensi,” kata dia.

Ia khawatir, dendanya total pekerjaan, sehingga ia berharap hanya terdapat sisa pekerjaan supaya tidak memberatkan jika terhadap total pekerjaan. Jangan sampai nilai dendanya lebih besar dari kontrak, tentunya itu berkonsekuensi hukum.

“Terkait dengan ini kami akan pelajari, sehingga dipertemuan berikut dengan bapak/ibu dewan di Komisi lll, kami bisa menyampaikan lebih detail dan kongkrit yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut,” tutupnya. (adi/tan)