Oleh: Zahra Riyanti
Aktivis Muslimah dan Mahasiswi Pascasarjana MMPT UGM
‘Ibarat ayam mati dilumbung padi’, begitulah pepatah lama yang barangkali bisa menggambarkan situasi masyarakat papua saat ini. Seperti beberapa waktu lalu pemberitaan nasional telah menguak kasus meninggalnya 6 orang akibat bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Ini bukanlah kali pertama yang dihadapi masyarakat Papua, hampir sepanjang tahun kesulitan ekonomi dan wabah kelaparan selalu terjadi, ditambah lagi saat ini mereka tengah mengadapi masa gagal panen hebat akibat hantaman El-Nino sejak awal Juni lalu. Berdasarkan data Kementerian Sosial, sekitar 7.500 jiwa saat ini tengah terdampak situasi sulit itu.
Menurut pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Puncak Darwin Tobing menjelaskan, dari laporan yang diterima enam orang yang meninggal masing-masing itu diakibatkan karena kelelahan akibat harus berjalan selama dua hari untuk mendapatkan makanan dan minuman serta mengalami buang air yang disertai darah. Bahkan, ada seorang ibu terpaksa melahirkan bayinya secara prematur karena kelelahan saat mencari makan yang menyebabkan bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Selain itu Pemda Puncak pun melaporkan bahwa mereka telah berupaya mengirimkan bantuan, namun tidak ada perusahaan penerbangan manapun yang mau menerbangkan pesawatnya ke Agandugum.
Kembali lagi terkait cuaca ekstrem yang dihadapi Papua kini sebetulnya Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengklaim sejak Maret 2023 lalu telah mengingatkan Pemda setempat di daerah yang saat ini terdampak. Dengan tujuan agar Pemda bisa mengantisipasi dampak terjadinya kekeringan hingga ke muara masalah selanjutnya, namun apalah daya nasi sudah jadi bubur.
Selain itu fakta yang jauh lebih menyedihkan lagi adalah bencana kelaparan Papua ini terjadi di atas tanah yang super kaya SDA. Walaupun perubahan cuaca dan musim boleh disebut sebagai katalisator terjadinya kelaparan, tetapi krisis yang menimpa Papua sejatinya sudah sejak lama terjadi. Akhirnya kita bertanya-tanya apa dan bagaimanakah upaya pemerintah daerah maupun pusat dalam pengentasan kasus yang terus berulang ini. Belum lagi terkait penangkapan Lukas Enembe atas dugaan kasus korupsi, misalnya, hanyalah satu dari sekian contoh fenomena gunung es dari adanya krisis tersebut. Ini masih belum pejabat yang lain. Sehingga, upaya penyejahteraan pemerintah pusat terhadap Papua, nyatanya memang belum tuntas sama sekali.
Demikian pula eksistensi Freeport sebagai perusahaan tambang emas yang sudah hampir setengah abad menghuni Papua, ternyata tidak memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua seluruhnya. Freeport bahkan terlihat berkepentingan memelihara konflik sosial Papua agar tetap leluasa mengeruk SDA di sana tanpa ada perlawanan dari warga setempat. Belum lagi ancaman KKB pada warga walaupun mereka sama-sama dari etnis Papua. Juga persoalan lainnya seperti krisis pendidikan, krisis sanitasi, kemiskinan luar biasa, keamanan, kesehatan, hingga hancurnya generasi akibat narkoba, minuman keras, juga liberalisasi seksual, dan tingginya angka HIV/AIDS di sana.
Lebih dari pada itu kekayaan SDA Papua tak bisa kita nafikan bahwa hampir seisi tanahnya terdapat deposit emas, minyak, gas bumi, tembaga, serta perak yang berlimpah. Berdasarkan data, Kementerian ESDM pada 2020 lalu mencatat, Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha atau senilai 52% dari total cadangan bijih emas Indonesia. Papua juga diketahui kaya akan tembaga. Berdasarkan data Freeport (2021), Tambang Grasberg memproduksi 1,34 miliar ton tembaga. Selanjutnya perak, berdasarkan data Kementerian ESDM (2020), Papua memiliki 1.76 juta ton biji perak dan 1.875 juta ton biji untuk cadangan perak.
Selain itu sumber daya minyak dan gas bumi (migas) di area Warim, Papua. Menurut data Kementerian ESDM, area tersebut menyimpan potensi minyak sebesar 25,968 miliar barel dengan nilai US$ 2,06 triliun atau Rp 30.646 triliun (mengacu harga minyak mentah Indonesia per April 2023). Area ini juga menyimpan potensi gas berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan Blok Masela (yang besarnya hanya 10,73 TCf), yakni sebesar 47,37 triliun kaki kubik (TCf).
Namun sayang seribu sayang keberlimpahan SDA Papua ternyata tidak dinikmati hasilnya sedikit pun oleh warganya. Pasalnya sudah dibidik asing sejak lama dari era Soekarno kemudian era Suharto yang akhirnya terteken perjanjian konsesi tambang hingga awet sampai hari ini, bahkan disinyalir bakal ada penambahan masa konsesinya selama beberapa puluh tahun ke depan. Andaikata negara benar-benar peduli akan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh warga Papua, tentu negara akan menempuh segala cara termasuk mengusir dan membekukan operasi tambang apapun yang berasal dari luar sehingga negara bisa kelola secara mandiri dan berdikari. Tidak pelak, warga pun lagi-lagi hanya bisa gigit jari, bahkan harus laksana ayam yang mati di lumbung padi.
Oleh karena itu, terlalu konyol jika cuaca atau El-Nino dijadikan kambing hitam terjadinya kelaparan di Papua. Sebetulnya ada banyak faktor yang mampu membuat Papua bisa lepas dari krisis ini karena semua permasalahan itu bersumber dari keserakahan kaum kapitalis di pulau kaya SDA itu.
Seperti firman Allah Taala, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Sistem kapitalisme sering kali menjadikan faktor kelangkaan barang dan jasa (scarcity) sebagai dalih saat terjadi krisis kesejahteraan atau kesenjangan ekonomi, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah problematiknya faktor distribusi ekonomi/kekayaan sehingga harta itu hanya tersirkulasi pada orang-orang kaya saja. Oleh karenanya, kelaparan di Papua jelas mengonfirmasi pada semua pihak bahwa kapitalisme sudah saatnya dibuang dan diganti dengan sistem yang lebih baik sekaligus sahih, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Mewabahnya kelaparan akut di tanah mewah SDA seperti Papua, jelas bukan sekadar soal perubahan cuaca, apalagi kendala akan sulitnya medan saat penyaluran bantuan. Melainkan justru karena faktor absennya penguasa selama ini dalam upaya serius mencukupi kebutuhan rakyatnya, termasuk sikap antisipatif dan sekumpulan solusi preventif dan kuratif juga gerakan mitigasi terhadap perubahan cuaca maupun potensi bencana alam lainnya. Terlebih problem Papua juga begitu kompleks sehingga tidak cukup dengan penanggulangan kelaparan dengan sekadar menyalurkan bantuan makanan.
Ini sungguh berbeda secara diametral dengan cara pandang Islam bahwa kelaparan adalah masalah fundamental atas hajat hidup orang banyak dan kematian jika lalai, dan menjadi alarm keras yang mestinya jangan sampai berdentang, apalagi ada korban jiwa. Munculnya gejala kelangkaan barang saja sudah membuat Islam mengoreksi total keberlangsungan distribusi ekonominya agar kelangkaan itu jangan sampai terjadi, alih-alih berlarut-larut sampai terjadi kelaparan.
Penguasa Islam wajib memonitor dan menjaga keberlangsungan dan stabilitas distribusi ekonomi serta menjamin agar semua individu rakyat bisa makan minum dengan porsi cukup tanpa ada ancaman kelaparan dan rasa takut menghadapi situasi terburuk sekalipun.
Demikianlah betapa Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna dalam memberikan pelayanan dan perlindungan ekstra dan maksimal pada setiap individu rakyat dalam pemenuhan segala kebutuhan termasuk dalam aspek pangan sehingga problem kelaparan nyaris minim terjadi semasa peradaban dulu. Sehingga lantas apakah kita masih berharap pada kapitalisme sebagai sistem yang mengatur segala dimensi kehidupan kita termasuk soal kesejahteraan hidup yang padahal disisinya terpampang nyata adanya gurita kekuasaan oligarki yang tak memihak pada rakyat? (*)