Opini  

Demokrasi dan Politik Identitas: Tantangan Menuju Tahun Politik

Nurcholish Rustam.

Oleh: Nurcholish Rustam

Ketua Dewan Eksekutif Wilayah Rampai Nusantara Malut

MOMENTUM demokrasi Indonesia berupa Pemilihan Umum yakni Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, serta Gubernur dan Bupati/Walikota akan segera memasuki babak baru. Meskipun masih terhitung beberapa bulan lagi, akan tetapi kasak-kusuk sekilas munculnya bakal calon mulai tampak dihadapan publik. Baik memakai metodologi publikasi seperti spanduk/baliho/stiker, bahkan melalui media sosial. Semuanya itu merupakan tahapan awal untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Dari rentetan pergerakan para bakal calon seperti itu, masyarakat kembali diperhadapkan pada pilihan kontroversial, yang dimana hegemoni cara berpikir basis elektoral yang super pluralistik, sangat membuka peluang munculnya dinamika politik baru yang ekstra transaksional, bahkan ada yang lebih ektrem atau dalam tanda kutip “kasar” atas dasar identitas yang melekat padanya. Oleh filosof kenamaan Jeal Paul Sartre asal Prancis menyebut tidak saja membenarkan adanya “dirty hands” (tangan-tangan kotor) untuk mencapai tujuan politik, bahkan menganggap terkadang tindakan kekerasan dapat dianggap sebagai suatu kebaikan.

Merujuk pada setiap momentum politik lokal maupun nasional, tentunya selalu memunculkan fenomena perpolitikan baru yang sifatnya insidentil, akibat hilangnya nilai serta kaidah berdemokrasi yang sesungguhnya. Meskipun substansi demokrasi secara umum masih menjadi pijakan suatu momentum karena berbagai regulasi yang sifatnya mengikat. Akan tetapi demokrasi prosedural tetap saja berada diatas pusaran demokrasi pragmatisme akibat perilaku elite politik yang “haus” akan cara inkonstitusional dalam mengobak-abik kesucian panggung demokrasi prosedural dengan dasar “identitas”.

Kemunculan politik identitas mencerminkan belum tercapainya transformasi masyarakat menuju masyarakat yang demokratis. Demokrasi masih bersifat “eksklusif” dan “transaksional”, belum “transformasional”. Belum mengakarnya ideologi Partai Politik di masyarakat mengakibatkan masyarakat tidak memiliki preferensi pasti dalam memilih, sehingga  partai politik saat ini selain menggunakan  praktek money politics untuk mendulang suara, dan juga menggunakan populisme simbol identitas berbasis “agama” dan “non-agama” atau suku/ras. Praktek Politik Identitas secara negatif berpengaruh pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan cita-cita demokrasi. Dalam hal ini pemerintah bersama masyarakat perlu meningkatkan edukasi politik agar tercipta masyarakat yang rasional dan mampu berpartisipasi sesuai koridor demokrasi yang ada di Indonesia.

Dampak Politik Identitas dan Peran Partai Politik

Dalam pertarungan politik 2019 lalu, konfrontasi antar dua kekuatan ekstrem politik identitas (sentiment agama dan nasionalisme) itu seolah meniadakan ruang moderasi (wasathiyyah) atau ”jalan tengah” (middle way) yang mengedepankan rasionalitas dan kematangan berpikir. Keberpihakan terhadap salah satu pihak seolah wajib dan berdiri di tengah seolah kesalahan.

Alhasil, dinamika demokrasi tidak menyisakan ruang dialogis yang memadai. Sebaliknya, justru ketegangan, kebencian, dan sikap saling curiga kian menguat di tengah masyarakat. Realitas politik seperti itu merupakan peringatan keras bagi kian memudarnya fondasi persatuan dan kesatuan bangsa.

Penegakan hukum penting untuk mengatur lalu lintas kampanye politik yang anti-politik identitas. Kita mesti berkaca pada Pemilu Malaysia yang dinodai rasisme seperti yang dialami politikus Partai Aksi Demokrat, Sheikh Umar Ali, yang didukung kelompok etnis Tionghoa dalam memperebutkan kursi legislatif di Johor. Ia dicap antek China dan menggadaikan nilai keislaman.

Politik rasis ini pula yang membuat eks Perdana Menteri Muhattir Muhammad kalah dalam pemilu karena di masa kepemimpinannya, komunitas Tionghoa mengalami banyak diskriminasi. Model populisme kultural seperti ini juga berkecambah di Indonesia. Politik rasis terjadi di sana, antara lain, karena tidak adanya regulasi pemilu yang mengatur terkait penggunaan politik identitas sebagai senjata politik untuk mendiskriminasi lawan tanding politik. Sesungguhnya ini akan berdampak luas dan menjadi sejarah “hitam” bagi bangsa ini.

Sebagai negara demokrasi yang terpandang selama ini, mestinya bangsa ini perlu selangkah lebih maju dari negara lain untuk memitigasi diobralnya politik identitas oleh para politisi atau parpol. Kita butuh sikap konkret parpol menghadapi potensi politik identitas. Sebagai agen dan lokomotif demokrasi, ada partai tertentu yang kerap indiferen dan menjadi resipien keuntungan destruktif dari politik identitas karena bisa membonsai popularitas dan elektabilitas rival politik baik partai maupun kandidat lawan.

Parpol di Indonesia juga masih bergantung kepada ketokohan individu sebagai magnet elektoral. Ironisnya, ketokohan tersebut dibangun di atas jejaring kepemimpinan patronistik dan pragmatisme yang di antaranya menggunakan propaganda populisme tanpa etika dan moral untuk merawat elektoral politik partai maupun individu, bukan dirawat di atas narasi gagasan, etika, dan moralitas.

Tak heran, praktik politik identitas yang memiliki garis persinggungan dengan entitas parpol tak pernah diungkap dan diadili. Padahal, merosotnya kualitas demokrasi saat ini dipicu lemahnya fungsi edukasi parpol dalam menanamkan fatsun, spirit, dan tanggung jawab berpolitik.

Ini jelas paradoks dengan ontologi partai, yang mana istilah partai berasal dari bahasa latin, partire, yang berarti membagi (to divide) atau dalam bahasa Inggris, partaking (partisipasi). Artinya, partai secara fondasional ditopang fungsi normatifnya untuk membagi nilai-nilai kebaikan, kebaruan dalam pengelolaan kepentingan publik berbasis pada nilai-partisipasi, termasuk terbuka terhadap berbagai perbedaan (Pamungkas, 2011).

Tantangan Menuju Tahun Politik

Makna politik identitas selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk. Sebab, politik identitas dianggap sebagai teknik promosi politik yang mengedepankan identitas dibanding dengan gagasan. Bukan hanya tentang agama, politik identitas juga seringkali mengedepankan isu-isu sensitif seperti suku, ras, dan budaya. Dampak buruk dari politik identitas amatlah besar, kandidat yang bertarung di dalam pemilihan umum akan abai terhadap kualitas dan kebijakan yang mereka tawarkan apabila hanya berfokus mengusung politik identitas. Pun juga, dengan masifnya kampanye menggunakan politik identitas akan membatasi ruang lingkup diskusi kebijakan politik serta mendorong hadirnya tindakan diskriminatif.

Dengan demikian, tantangannya bukan hanya sekedar masalah toleransi atau intoleransi, tetapi bagaimana seorang pemimpin menanggapi tekanan-tekanan kampanye; selain itu juga unsur radikalisme, ujaran kebencian, dan mobilisasi massa ke jalan-jalan untuk memastikan hasil (pilkada).

Identitas dalam berpolitik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Partai Politik harus memiliki identitas agar dapat mewakili orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka. Sesungguhnya tantangan dalam menghadapi pemilu 2024 adalah bagaimana memperkuat demokrasi dengan tidak terlalu cuek dengan heterogenitas masyarakat. Dalam heterogenitas ini, saat berlangsungnya pemilu dan pesta demokrasi lainnya, menciptakan “jurang pemisah” antar masyarakat. Hal ini sangat berbahaya bila terjadi di Indonesia secara umum yang terdiri dari berbagai ras, agama, ras dan kepercayaan, dan Maluku Utara secara khusus. Selanjutnya menghadirkan politik gagasan yang berkualitas, dan mewujudkan demokrasi yang ideal.

Pemilihan Umum 2024 dan Pemilihan Kepala Daerah mendatang harus menjadi catatan kritis yang harus dipegang oleh semua kalangan. Tentunya masyarakat dihimbau agar realistis melihat siapa saja figur yang bisa konsisten menjalankan amanah masyarakat. Figur yang dimaksud adalah mampu mengimplementasikan program-program rill untuk kesejahteraan rakyat. Tak hanya itu, figur yang dimaksud adalah mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi serta melawan praktek-praktek yang sifatnya inkonstitusional oleh birokrasi, tanpa memandang siapa dan dari mana dia berasal.

Bukankah dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 sudah disebutkan; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa”.

Ayat tersebut jelas berpesan bahwa diciptakan-Nya keberagaman itu untuk saling mengenal, saling menolong, bukannya mencemooh perbedaan satu sama lain. Karena balik lagi, seluruh manusia itu sama. (*)