Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
DERAJAT peradaban manusia lebih banyak dirusak oleh manusia itu sendiri. Bagaimana di sekitar kita? Hari-hari ini, begitu banyak yang kita saksikan. Paradoks antara kata-kata indah dan perbuatan buruk, idealisme dan insiden-insiden kehidupan begitu banyak terjadi. Tragedi demi tragedi susul-menyusul dan menyesakkan tumpukan kabar-kabar keseharian kita.
Perbuatan-perbuatan kita adalah dasar faktual dari peradaban yang kita bangun. Peradaban bisa terbentuk di mana saja, tetapi selalu terdapat kesulitan yang berbeda dalam menjaga setiap peradaban pada lingkungan tertentu, demikian penegasan Fernandez-Armesto, dalam buku seminalnya, Civilization (2000).
Lebih lanjut Fernandez-Armesto berkata, “setiap peradaban menciptakan habitatnya sendiri.” Dari sini cukup terang bahwa peradaban mengandung makna inheren pada dirinya sebagai pencapaian kemanusiaan yang majemuk, tapi ia sekaligus tak bisa lepas dari environment yang melatari atau yang memicu perwujudannya.
Daya cipta manusia menjadi sentral di setiap pembentukan peradaban, termasuk ketika sebab-sebab tertentu –-bisa berupa pemikiran, idiologi atau tirani kekuasaan— hadir dan kemudian menghancurkannya.
Sudah sering kita mendengar jargon “mengawal peradaban”!. Sepintas, kita cukup tergoda dengan pengungkapan sugestif seperti itu. Masalahnya, apakah dengan mengucapkan hal begitu akan otomatis mengarahkan kita kepada list of actions dalam mengerjakan “pengawalan” itu?
Banyak pihak telah menyuguhkan banyak pandangan dan pilihan kasus guna membangun argumentasi tematik atau peran-peran ideal di banyak arena kehidupan. Setiap orang bahkan selalu berusaha menjadi figur sentral dalam menciptakan “…kesenangan kognitif” (Adonis, 2015).
Negeri ini masih butuh banyak dialog pemikiran guna membaca kenyataan (peradaban) kontemporer kita, bahkan untuk beberapa bagian di tingkat lokal dan global. Di permukaan, begitu banyak “pecahan” isu-isu peradaban yang bisa dicermati, kendati sebagian besar cenderung mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan tentang kesadaran sejarah (pemikiran) manusia dan ironi-ironi (perilaku) yang muncul dalam bentangan sejarah sosialnya. Tak peduli apakah itu terjadi di sebuah negara imperial bernama Perancis, Tiongkok, atau di sebuah region bernama Yogyakarta, Maluku, atau Gorontalo.
Kalangan elite, komunitas terdidik, dan kelas menengah-kreatif cenderung berposisi sebagai pekerja dan “pengawal” peradaban. Kerja-kerja mereka bisa jadi tampak sangat lokal, tetapi dengan begitu dimaksudkan agar terbentuk intensi yang lebih dalam dan partisipasi pemikiran yang lebih terpantau, baik oleh kalangan mereka sendiri maupun oleh mereka yang bersama-sama berperan sebagai pencerah publik.
Dalam konteks ini, keadaan sosial yang sangat lokal menjadi latar dan rujukan (stok) pengetahuan yang hendak direproduksi oleh seseorang (elite) atau sekelompok orang (organisasi), pada akhirnya akan “kembali” di tengah-tengah masyarakat itu sendiri, dengan lingkaran tafsiran, bahasa, pelembagaan, legitimasi dan implikasinya yang saling memberi pengaruh (Berger & Luckmann, 2012).
Keterbacaan sebuah pemikiran dan gerakan adalah tantangan tersendiri bagi setiap pekerja budaya, pekerja publik, dan pengawal peradaban. Teranglah bahwa dalam setiap pemikiran misalnya, di sana terdapat jejak-jejak kegelisahan dan keterpanggilan yang melilit sepanjang waktu. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang berhasil merespons keterpanggilan itu melalui dialog pemikiran dan perjumpaan misi hidup, sebagai bentuk tindakan nyata.
Dalam prosesnya, mereka –-para pekerja peradaban itu– bahkan harus rela berhadap-hadapan dengan pemikiran yang samar-samar identitasnya atau pun terhadap sebuah pemikiran yang keras anti dialog, atau yang dimanipulasi sedemikian rupa oleh polesan (gincu) kepalsuan. Begitulah yang terjadi dengan sebuah realitas yang kita ragukan substansi kandungannya.
Peradaban bukan hanya merujuk tentang periode dan pencapaian, karakter dan kontur sosial budaya. Ia adalah sebuah klaim dan konsep yang terus direproduksi. Itu sebabnya tercatat tumpukan kategori yang melingkupi setiap pemahaman dan praktik tentang peradaban. Pendekatan sejarah dan penelusuran geografis, termasuk pengelompokan bangsa-bangsa dan mobilitas mereka, dan terutama perangai mereka dalam bernalar dan mencipta, serta menghadapi perubahan (ways of thought) adalah struktur dasar bagaimana sebuah peradaban berdiri dan terpelihara.
Karya besar Fernand Braudel, A History of Civilization (1994) misalnya, sangat jelas memperlihatkan rekaman peradaban yang sifatnya geografis itu. Totalitasnya telah memberi makna tentang keragaman peradaban manusia dan bagaimana proses jatuh-bangun (peradaban) itu mengisi perjalanan sejarah bangsa-bangsa, sejak Islam, Eropa, Afrika, Amerika, Asia, dst. Hasil-hasilnya selalu bisa kita simak hari-hari ini di panggung perubahan dunia di abad ini.
Dipandang dari banyak sisi, percakapan tentang peradaban selalu patut disambut dengan antusiasme karena itu berarti ada sesuatu yang terjadi dengan daya cipta dan daya tahan manusia menghadapi perubahan. Kita butuh persilangan pemikiran guna menyikapi atau meneropong perubahan pada masyarakat kita beberapa tahun terakhir.
Bahwa intelektualitas publik dibutuhkan sebagai upaya “mengawal peradaban” hanya bisa terterima jikalau terdapat cukup alternatif jernih yang ditawarkan. Kritisisme yang dominan diwarnai sikap normatif hanya akan berhenti pada dirinya sendiri, karena agency manusia tidak tergerak mengerjakan pilihan tertentu.
Kini kita butuh sebuah kritisisme yang bertumpu pada alternatif, melalui jalan-jalan dialog dan keragaman yang merayakan partisipasi pemikiran dan konsistensi peran. Bukan sandiwara posisi dan kepura-puraan aspirasi. (*)
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@ung.ac.id