Dinas PPPA Maluku Utara Gencar Sosialisasi CERIA dan Reproduksi Remaja

Bupati Halut bersama Kepala Dinas PPPA Malut.

TOBELO, NUANSA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Maluku Utara gencar melakukan sosialisasi cegah perkawinan anak (CERIA) dan reproduksi remaja kepada siswa/siswi SMP dan SMA di Kabupaten Halmahera Utara.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Bupati Halmahera Utara, Frans Manery, bertempat di Meeting Room Marahai  Hotel Tobelo, Senin (7/8).

Dalam sambutannya, Frans menyampaikan untuk mencegah perkawinan anak, perlu adanya gerakan bersama. Hal ini kata dia, sesuai data BPS tahun 2021, Halut menduduki peringakat kedua yang angka perkawinan anaknya tertinggi di Provinsi Maluku Utara.

“Kami pemerintah daerah sangat berterima kasih kepada Pemprov Malut dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atas kepedulian dan perhatian kepada Kabupaten Halut dalam menurunkan angka perkawinan anak di daerah kami,” ucap Frans.

Ia menuturkan, pada kasus ini sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, akan tetapi hasilnya belum begitu signifikan.

“Kami selaku pemerintah daerah tidak dapat berjalan sendiri dalam menanggulangi masalah perkawinan anak. Karena itu, peran semua lapisan masyarakat juga perlu untuk menanggulanginya” tuturnya.

Sementara, Kepala Dinas PPPA Malut, Musrifah Alhadar, mengatakan tingginya angka perkawinan anak merupakan salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak.

Menurutnya, pernikahan di usia muda tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, tetapi  juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak.

“Pada level masyarakat, berbagai sebab pengajuan dispensasi kawin lantaran  faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, serta budaya patriarki. Belum lagi legitimasi atau pengaruh tafsir agama yang membolehkan perkawinan anak dengan melihat kondisi masyarakat,” kata dia.

Musrifah menerangkan, revisi UU perkawinan telah menghasilkan kemajuan pada batas usia perkawinan bagi perempuan, dari awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun faktanya, perubahan batas usia perkawinan belum mampu menekan angka perkawinan anak di Indonesia.

Dalam kurung dua tahun sejak UU Nomor 16 Tahun 2019 disahkan, pasangan usia anak memiliki risiko tinggi menghadapi berbagai permasalahan kesehatan, seperti risiko kematian ibu karena ketidaksiapan fungsi organ reproduksi, kematian bayi, kelahiran premature dan juga stunting.

Atas dasar ini,  tentunya akan berakibat pada terhambatnya upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi, stunting serta gizi buruk bagi balita.

“Apabila dipandang dari aspek kualitas sumber daya manusia, perkawinan anak telah memaksa anak menjadi putus sekolah, tidak memperoleh hak pendidikan yang layak dan akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi dan kesejahteraannya,” jelasnya.

Pemprov Malut, tambah Musrifah, memberikan kesempatan kepada DPPPA  untuk melakukan  terobosan terbaru dan inovatif membuat kebijakan program prioritas CERIA yang merupakan gerakan bersama dan ajakan bagi masyarakat (terutama anak) untuk tidak menikah  di usia dini.

Sosialisasi CERIA dan reproduksi remaja merupakan langkah awal yang diharapkan mengubah pandangan masyarakat mengenai perkawinan anak dan dapat bersinergi serta bekerja sama dengan berbagai pihak agar lebih terstruktur, holistik dan integratif melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah serta lembaga masyarakat lainnya.

Di sisi lain, menciptakan sistem perlindungan anak yang terpadu guna menghapuskan perkawinan anak, dibutuhkan adanya keterlibatan dari anak, remaja, dan kaum muda.

“Saya berharap, anak-anakku dapat memanfaatkan momen ini dengan baik, sharing dan berbagi informasi tentang dampak negatif perkawinan anak, sehingga diharapkan nantinya berdampak pada menurunnya angka perkawinan anak di Kabupaten Halmahera Utara,” harapnya. (ano/tan)