Oleh: Zahra Riyanti
Aktivis Muslimah & Mahasiswi pascasarjana MMPT UGM
BEBERAPA waktu lalu pihak Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian, menangguhkan impor sapi dari empat fasilitas peternakan di Australia, di mana dari hasil investigasi sapi-sapi tersebut terdeteksi secara klinis memiliki penyakit Lumpy Skin Diseases (LSD) atau yang dikenal penyakit kulit menggumpal. LSD atau Lumpy Skin Disease adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari keluarga Poxviridae. Penyakit ini ditandai dengan munculnya benjolan pada kulit sapi, terutama pada bagian leher, punggung, dan perut.
Apalagi LSD pada sapi saat ini menunjukkan tren peningkatan yang signifikan sehingga selain berdampak pada kesehatan, sapi-sapi yang lain juga memberi kerugian luar biasa terhadap peternak di Indonesia. Dimana sapi yang terpapar penyakit ini harga jualnya bisa merosot hingga 30%, ditambah bagian kulitnya yang tidak bisa dijual akibat LSD. Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro, mengatakan virus LSD tidak kalah merugikan dibanding Penyakit Mulut dan Kaki (PMK) yang sempat merebak di Indonesia tahun lalu. Dokter Hewan lulusan UGM tersebut menjelaskan, LSD masuk Indonesia sejak Februari 2022 dan telah menjadi virus endemi di Indonesia. Bila penyebaran PMK sangat cepat, virus LSD penyebarannya lebih lambat namun pasti.
Seperti yang diketahui bahwa penyebab harga daging sapi terus bergejolak tiap tahunnya dikarenakan oleh minus-nya pertumbuhan hidup sapi lokal dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi daging sapi secara nasional. Realitasnya, daging sapi sebagai protein hewani adalah komoditas pangan strategis yang permintaannya terus meningkat tiap tahunnya. Tak mengherankan jika meroketnya harga daging disebabkan oleh ketergantungan luar biasa terhadap impor sapi sebagai sumber utama supply daging segar.
Apalagi mengingat industri peternakan sapi di Indonesia yang belum settle, padahal permintaan terhadap sapi domestik sangat besar. Konsumsi daging serta susu sapi juga selalu merangkak naik setiap tahunnya. Sementara itu, kendala peternak sapi lokal muncul di seputar problem permodalan dan teknologi pendukung di sektor usaha peternakan. Sebagian besar pelaku usaha peternakan adalah peternak tradisional dengan jumlah kepemilikan sapi yang masih sangat sedikit. Ada hal yang mencengangkan lagi ternak sapi sering dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah lahan, tabungan untuk acara tertentu, dan bukan untuk pedaging sapi.
Selain itu, kebanyakan pemilik sapi/hewan ternak hanya mengembangkan ternak sapi seadanya saja dengan perawatan yang masih tradisional sehingga pertumbuhan sapi relatif lebih lambat. Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan hasil peternakan yang didapatkan tidak maksimal. Keuntungan yang dihasilkan pun tidak lebih.
Oleh karena itu, kebijakan menurunkan volume impor sapi adalah yang paling urgent saat ini kemudian membuat langkah pemulihan dan pengembangan dengan mendirikan industri peternakan yang lebih baik sehingga fokus produksi daging sapi dan peternakan sapi lebih independen dan menjanjikan, namun lagi dan lagi meski langkah itu diambil, kebijakan itu diambil negara tetap kalah oleh kepentingan oligarki yang kapitalistik.
Memang, pemerintah Indonesia waktu lalu memberi sikap dengan langsung melakukan koordinasi dengan Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DAFF) Australia untuk mengamati temuan LSD pada empat peternakan yang kini ditangguhkan itu. Namun kasus ini menjadi lebih miris lagi ketika kita tahu bahwa perihal LSD ini pemerintah tampak lamban dalam beraksi. Sejauh ini pemerintah sekadar mengefektivitasi vaksin yang menjadi solusi LSD, kenyataannya belum tampak pemerintah bergerak cepat dalam penanggulangannya. Vaksinasi massal dan masif bahkan belum terlaksana, meski memang sifat penyebaran LSD terbilang lambat tidak secepat penyakit lainnya seperti pada PMK. Apalagi fakta menunjukkan impor sapi hidup dari Australia tetap berjalan di 56 peternakan lain dari total 60 yang terdaftar.
Dengan demikian, permasalahan LSD tidak sekadar pemberian obat-obatan melalui vaksin dan lainnya, namun negara harus berkomitmen untuk menghentikan laju impor agar bukan sekadar terjadi sterilisasi penyakit sapi lokal yang bercampur dengam sapi impor saja, namun upaya menjawab sulitnya akses kebutuhan daging sapi segar oleh masyarakat luas.
Berkaca pada problem tahun lalu yakni merebaknya PMK, semestinya menjadi pelajaran berharga bagi negara ini agar meneguhkan kembali komitmennya dalam mengusung kebijakan pengelolaan peternakan sapi yang didasarkan pada problematik holistik yang selama ini melingkupi sektor peternakan nasional, juga seputar pemenuhan dan ketahanan pangan nasional. Jika problemnya mengenai sapi hidup (untuk pedaging maupun perah), peternakan sapi nasional jelas membutuhkan rekonstruksi total atas kebijakan yang ada. Solusinya tidak boleh ada ketergantungan secara berulang atau impor dalam pemenuhan kebutuhan mendasar, karena sejatinya itu adalah solusi yang sangat pragmatis. Kita hanya butuh solusi hakiki yang mampu mengeluarkan umat dari permasalahan yang kian tak ada jalan hari ini yakni dengan solusi Islam. Sebab Islam adalah ideologi yang sahih yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah yang mampu menghasilkan kebijakan politik sahih pengelolaan peternakan sapi.
Sebagaimana yang Rasulullah saw. Sabdakan, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Penguasa diberi tanggung jawab penuh oleh Allah untuk mengurus seluruh kebutuhan dan keperluan ummat dan siap melayani kapan dan dimana pun sehingga tak ada jalan lain dalam perbaikan kebijakan sektor pangan dan peternakan hari ini melainkan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. (*)