Oleh: Zahra Riyanti
Aktivis Muslimah & Mahasiswi Pascasarjana MMPT UGM
PRESIDEN Jokowi Dodo baru saja kembali dari lawatannya ke China pada beberapa waktu lalu, tentu tidak dengan tangan kosong. Perjumpaan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan di antaranya komitmen investasi yang didapatkan dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun (asumsi kurs Rp15.107 per US$). Investasi ini guna menjadi back up fund dalam persiapan pembangunan lahan strategis khusus pendidikan dan kesehatan di wilayah IKN Kalimantan Timur.
Terdapat sekitar 34.000 ha lahan aktif yang siap dimasuki oleh investor untuk pembanguna properti, kesehatan rumah sakit, untuk pendidikan seperti pendirian universitas dan infrastruktur lainnya. Presiden Jokowi juga sempat menyebutkan bahwa China merupakan mitra strategis Indonesia dalam perihal investasi pembangunan.
Mengenai hal tersebut peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan bahwa akan terdapat masalah serius akan investasi China di Indonesia dan patut menjadi perhatian. Karena dapat menjerumuskan Indonesia pada utang luar negeri yang makin membengkak, sehingga bisa jadi China menjadikannya sebagai perangkap utang dan berujung seperti apa yang telah terjadi di Srilangka dan Zimbabwe.
Tidak sampai di situ saja problemnya, investasi ini disinyalir juga membawa ketergantungan Indonesia dengan China yang makin hebat bahkan mengarah sampai pada isu hak asasi manusia (HAM) seperti eksistensi Indonesia yang nyaris tidak memiliki posisi apa-apa terhadap Laut China Selatan. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga, Indonesia hanya mampu memonitor kapal China yang masuk ke perairan Indonesia, tanpa sedikitpun ada sikap perlawanan.
Oleh karenannya, investasi asing harusnya tidak dipandang sebagai bentuk pemerataan pembangunan di Indonesia, pun dengan utang yang kian bertumpuk dan berlipat-lipat. Indonesia seharusnya juga tidak enjoy akan hal tersebut. Walaupun rasio utang terhadap PDB masih relatif rendah dari standar aman ketentuan, yakni sebesar 60%, namun Indonesia perlu mawas. Secara logic, adakah orang berutang hidupnya tenang? Apalagi jika yang berutang adalah negara dengan jumlah triliunan.
Berdasarkan catatan Surat Utang Negara (SUN) hingga Juni 2023, total utang RI tembus Rp7.805,19 triliun. Menurut perspektif kapitalisme, negara yang memiliki utang adalah hal wajar dan sah-sah saja. Pemerintah selalu menentang atas kritik utang Indonesia dengan alasan bahwa negara maju saja masih berutang, apalagi negara berkembang seperti Indonesia yang tentu lebih membutuhkan uluran tangan berupa modal dan investasi utang dalam pembangunan negara. Sehingga ini menjadi keresahan bersama semua pihak. Sebab alih-alih merdeka berlepas diri dari utang dan segala tekanannya, justru pemerintah sibuk membela diri, pemer dan tak ada kewaspadaan.
Menilik dari hal tersebut, ada beberapa poin yang membuat investasi China ini sangat krusial untuk Indonesia. Pertama, adanya kecanduan serta ketergantungan. Dimana pemerintah menganggap aman selama utang masih di bawah 60%. Akhirnya, Indonesia akan hobi berutang. Dengan alasan klasik yakni pembangunan dan infrastruktur, ketergantungan pemerintah terhadap investasi juga sepertinya akan terus berlanjut. Apalagi banyak megaproyek yang membutuhkan budget dari para investor, seperti IKN, proyek EBT, ekonomi hijau, dan sarana publik lainnya. Bahkan tak segan-segan, Presiden Jokowi belakangan aktif promosikan IKN kepada investor sampai rela menandatangani investasi semahal itu.
Kedua, kedudukan Indonesia dan kemandiriannya makin kendur. Akibat bergantung pada investasi dan utang, posisi Indonesia di mata Cina akan makin kerdil dan ompong, Pasalnya, Cina adalah negara keempat terbesar pemberi utang luar negeri (ULN), senilai US$20,42 miliar. Keputusan Indonesia untuk menjadikan China sebagai mitra strategis, tampak membuat Indonesia makin jadi penakut untuk speak up hal-hal yang berkenaan dengan kebijakan Cina. Contohnya, Indonesia lebih memilih posisi “aman” dengan tidak banyak berkomentar atas pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap muslim Uighur. Indonesia bungkam dan bersikap apatis.
Ketergantungan ekonomi Indonesia pada Cina akan membuat Indonesia tidak berdaya menghadapi segala dinamika percaturan politik China dalam segi apapun, misalnya masuknya kapal-kapal Cina yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Adakah tindakan tegas dan terstruktur yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia? Faktanya, nyali Indonesia kian menciut dan hanya bisa menonton berbagai kejahatan dan pelanggaran yang ada.
Selain itu juga posisi Indonesia makin melempem di hadapan Cina, nampak dari kebijakan yang inkonsisten terkait ekspor mineral yang dapat mengancam lingkungan. Begitu pula banjir TKA Cina di mana-mana yang tak mampu dihalau lantaran belenggu ikatan kerja sama Indonesia-Cina yang sedemikian erat. Bukti keberpihakan pemerintah kepada asing juga sangat kental dalam penerbitan UU yang dihasilkan, seperti UU Cipta Kerja.
Ketiga, sesungguhnya utang dan investasi adalah alat penjajahan untuk menjerat suatu negara. Risiko terbesar dari utang adalah ancaman gagal bayar karena pembayaran bunga utang yang tinggi. Ancaman ini akan makin memusingkan jika nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lemah. Apalagi Cina gemar melakukan devaluasi mata uang, tentu akan berpengaruh pada nilai kurs rupiah.
Sisi negatif investasi asing lainya juga makin mengerikan, seperti negara kehilangan kontrol atas industri karena diambil alih investor, pasar domestik akan didominasi perusaahan swasta baik asing, aseng maupun investor dalam negeri yang berpotensi mematikan pasar lokal seperti UMKM, rentan terhadap krisis ekonomi global, penjajahan SDA, serta ketimpangan sosial dan ekonomi. Juga banyak terjadi konflik, dalam hal tambang, dan lingkungan antara perusahaan asing dengan masyarakat lantaran berebut lahan. Inilah di antara poin krusial dari bentuk imperialisme via utang dan investasi asing. Imperialisme makin kuat seiring penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang melegalkan liberalisasi di segala bidang.
Oleh karena itu, Islam telah lama mempersembahkan syariatnya sebagai satu-satunya aturan yang mampu menghempaskan segala bentuk-bentuk ketergantungan atas nama pembangunan untuk memajukan negara, Islam dengan institusi politiknya tidak akan bergantung pada investasi dan utang. Dalam pandangan Islam, utang luar negeri adalah alat penjajahan asing untuk menjerat negeri-negeri Islam agar mudah dikuasai dan dijarah kekayaannya.
Di dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan wajib terikat dengan hukum Islam. Dengan demikian, siapa saja yang ingin terlibat dalam investasi wajib memahami syariatnya secara benar. Dengan begitu, ia bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam. Dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal haruslah diperoleh secara halal, baik milik pribadi ataupun dari sumber lain. Perihal ivestasi dalam sektor pertanian, perindustrian, hingga perdagangan juga harus sesuai standar Islam. Dalam aspek industri, misalnya, beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual beli, perdagangan internasional, dan istishna. Beberapa model transaksi, seperti riba, judi, pematokan harga, penipuan, dan penimbunan, haram diterapkan dalam kegiatan investasi. Begitu pula model kerja sama yang mengadopsi kapitalisme, seperti saham, asuransi dan koperasi yang penuh praktik ribawi dan pasar yang tidak nyata.
Selaim itu, perbedaan paling mencolok antara investasi dalam Islam versus kapitalisme adalah batasan kepemilikan. Dalam ekonomi kapitalisme, mereka hanya mengenal kebebasan kepemilikan (Freedom of ownership). Dengan prinsip ini, siapa pun yang berduit memiliki hak dan kendali atas apa pun yang bisa diperjualbelikan. Tidak terkecuali aset-aset yang menjadi milik publik, seperti barang tambang, sungai, laut, bandara, pelabuhan, tol, jalan raya, dan lainnya. Sementara itu, dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu individu, umum, dan negara.
Dalam aspek kepemilikan umum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada siapun baik individu atau swasta. Satu-satunya pihak yang berhak mengelola harta milik umum adalah negara itu sendiri. Hasil pengelolaannya pun wajib didistribusikan kepada rakyat karena pemilik kekayaan milik umum sejatinya adalah milik rakyat.
Dalam aspek pembangunan dan infrastruktur, sistem Islam memiliki sumber pendapatan yang besar tanpa harus berutang sana sini. Sumber pendapatan tersebut berupa pos-pos pemasukan yang dikelolah oleh lembaga baitulmal, seperti fai, kharaj, jizyah, ganimah, usyur, pengelolaan SDA, dan harta milik negara. Pengelolaan SDA dengan cara Islam akan menjadikan negara memiliki sumber pemasukan yang besar, termasuk Indonesia dengan kekayaan SDA-nya. Sehingga hanya dengan sistem Islam, Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa menjadi negara yang makmur, berdikari dan sejahtera. (*)