Opini  

Muslim India Dalam Turbulensi Islamophobia di Negeri Anak Benua

Zahra Riyanti.

Oleh: Zahra Riyanti

Aktivis Muslimah & Mahasiswi Pascasarjana MMPT UGM

KONDISI India makin mengerikan setelah tewasnya 5 orang muslim akibat bentrokan sengit yang terjadi antar umat Hindu dan Muslim. Aksi kekerasan pecah ketika sebuah prosesi keagamaan Hindu melewati wilayah pemukiman Nuh yang mayoritasnya umat Islam, sekitar 50 kilometer dari New Delhi. Dimana tujuan dari prosesi tersebut ialah berpindah dari satu kuil ke kuil lainnya, tetapi bentrokan terjadi antara dua kelompok dalam perjalanan ritual tersebut sehingga mengakibatkan lima orang tewas. Pada Senin malam, kekerasan telah meluas hingga ke daerah tetangga, Gurugram. Di sana, sebuah masjid dibakar, bahkan sampai menewaskan wakil imam masjid itu dan melukai satu orang lainnya.

Aksi kekerasan terhadap umat Islam ini bukanlah hal baru. Umat muslim di India tengah menghadapi Islamofobia luar biasa di sepanjang hari hari mereka. Mereka mendapati penganiayaan fisik, serangan mental, hingga berbagai seruan yang menggemakan pemusnahan etnis mereka. Sejumlah alat-alat berat seperti Buldoser dan lainnya diturunkan untuk meruntuhkan rumah-rumah di lingkungan mayoritas muslim dengan alasan yang tidak jelas, sedangkan pejabat lokal terang-terangan membual tentang pembongkaran tersebut. Masih segar ingatan kita di mana tahun lalu pemerintah Negara Bagian Karnataka yang dikelola Partai Bharatiya Janata (BJP) melarang siswi muslimah memakai hijab di sekolah-sekolah, serta menuduh siswi muslimah tersebut sedang menyembunyikan kepentingan politik. Nyatanya, Islamofobia seolah ternormalisasi di India. Para kritikus pun seringkali menghubungkan sentimen anti-Islam dengan pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi.

Seiring waktu berjalan, Islamofobia makin tumbuh subur di India dengan makin menguatnya supremasi Hindu atau Hindutva Hindutva sendiri adalah aliran nasionalisme Hindu yang mendorong misi memperkokoh India sebagai tanah Hindu abadi. Faksi Hindutva sendiri memang sudah sejak lama menderita Islamofobia hingga hari ini. Flashback pada tahun 1992, sejumlah gerombolan Hindutva mendobrak dan menghancurkan sebuah masjid yang didirikan pada abad ke-16, Masjid Babri. Mereka meyakini masjid itu dibangun di tanah sebuah kuil yang menandai tempat kelahiran Dewa Rama, meski minim bukti sejarah akan hal tersebut. Akibatnya tindakan tersebut menyulut api kebencian dan kerusuhan nasional hingga menewaskan ribuan warga muslim. Sebaliknya momen aneksasi itu justru menandai peristiwa tersebut sedemikian penting bagi gerakan Hindutva yang meyakini agama asli India hanyalah Hindu.

Doktrin sesat nan ekstrem itu juga yang akhirnya membuka jalan pemerintahan bagi Modi dalam kekuasaan tertingginya di India pada 2014 silam. Sebelum menjabat sebagai perdana menteri, Modi diketahui telah memprakarsai karier politiknya sebagai nasionalis Hindu. Peran Modi pun sangat mencolok dalam upaya melanggengkan Islamofobia yang berlarut-larut di India. misalnya pada peristiwa pembersihan etnis muslim di Gujarat pada 2002 lalu. Insiden itu meletus pasca sebuah gerbong kereta yang membawa peziarah Hindu luluh-lantak terbakar.

Sayangnya, Modi mengelak dengan mengarahkan telunjuk biang keroknya pada Dinas Rahasia Pakistan dan memboyong jenazah orang yang meninggal melalui Kota Ahmedabad. Pernyataan Modi itu kemudian menjalar menjadi pesta pembunuhan dan pemerkosaan yang menyasar warga muslim. Akibatnya, hampir 2.000 orang tewas, 2.000 rumah warga muslim hancur, dan 150.000 orang mengungsi dalam peristiwa tersebut. Adapun terkait pelantikan Modi sebagai PM India juga memperkeruh situasi sentimen anti-Islam di India karena Modi terus menggalakkan Islamofobia secara sistemik dan terstruktur melalui kebijakan negara. Tak heran, di tengah derasnya gelombang sentimen antimuslim, pemerintahan Modi dan partai BJP hanya menutup mulut dan telinga sampai akhirnya kecaman internasional terus membanjiri sepak terjangnya.

Selain itu Islamofobia mula-mula lazim terjadi di AS, Inggris, dan Jerman, kemudian merambat ke wilayah lain, seperti Prancis, juga di Eropa Utara yang tidak banyak komunitas muslimnya. Swedia adalah salah satu negara di Eropa Utara yang menunjukan tren eskalasi kasus Islamofobianya akhir-akhir ini, yakni berulangnya kasus penghinaan Islam dan pembakaran Al-Qur’an. Kasus yang terjadi di India hanya sekelumit contoh negara dengan Islamofobia akut. Selain yang terjadi di India, terdapat tsunami Islamofobia di kawasan Asia lainnya seperti kekerasan dan penghapusan etnis muslim Rohingya oleh rezim Myanmar, rezim sosialis Cina kepada muslim etnis Uighur. Terkhusus Rohingya dan Uighur ini, isunya bahkan lebih buruk dari itu karena sudah berstatus genosida.

Oleh sebab itu, pada maret 2023 lalu ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken memperingati ‘International Day to Combat Islamophobia‘ atau hari Internasional Perangi Islamofobia hanya sekadar seremonial bahkan bualan kosong belaka, karena kasus Islamofobia di Barat maupun kawasan lainnya makin ganas dan rumit.

Sehingga dari sepanjang gelombang Islamofobia, kaum muslimin senantiasa mendapat stigma sebagai umat yang intoleran, bahkan radikal, sebab lantaran mereka berkeyakinan atas pelaksanaan syariat Islam secara kafah dalam kehidupan. Tudingan semacam ini jelas fitnah yang keji sekaligus dusta besar karena pelaksanaan syariat Islam secara total adalah perintah Allah SWT. Di samping itu, Islam juga telah mengatur dengan tegas perihal toleransi antarumat beragama. Islam bahkan melarang pemaksaan kepada nonmuslim untuk meyakini akidah Islam. Seperti dalam firman Allah Ta’ala “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”(QS Al-Kafirun [109]: 6).
Juga dalam ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Oleh karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 256).

Merebaknya kasus Islamofobia sudah sangat jelas menegaskan betapa lemahnya posisi politik umat Islam di panggung internasional. Semua itu disebabkan oleh absennya institusi politik Islam yang menjadi perisai bagi umat Islam, yakni Khilafah, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai (junnah), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.”(HR Muslim).

Sehingga keberadaan institusi politik Islam ini akan mampu menjaga harta, darah, dan jiwa dapat terjaga dengan semestinya seperti pernyataan Allah Taala dalam Al-Qur’an “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang hak (benar).” (QS Al-Isra’ [17]: 33).

Adapun mengenai jaminan kehidupan dan kesejahteraan bagi nonmuslim sebagai warga daulah Islamiyyah, adalah bukti catatan sejarah yang terlalu sulit untuk nafikan. Ini sudah dikemukakan oleh orientalis sekaligus sejarawan asal AS, Will Durant, yang menuturkan bahwa, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.” (“The Story of Civilization”).

Juga Sir Thomas Walker Arnold (T.W. Arnold), sejarawan asal Inggris, yang menyatakan, “Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal ini tidak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya.Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan Muhammad II. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.” (The Preaching of Islam). Sehingga tak ada jalan yang lebih terang untuk mengusung perdamaian dan ketenteraman abadi serta menghapus segala bentuk Islamophobia kecuali hadirnya institusi politik Islam yang sahih. (*)