Opini  

Merdeka, dari Ternate “Bergolak” di Sulawesi untuk Republik

Basri Amin.

Basri Amin

Parner di Voice-of HaleHepu

 

PATRIOT besar ini menerima kabar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh dwitunggal Soekarno – Hatta di kota (Pulau) Ternate pada September 1945.

Berita Merdeka itu terlambat sekian waktu.

Ia langsung bergerak dan segera membentuk Partai Persatuan Indonesia (PPI) di Ternate, sekaligus menerbitkan surat kabar Menara Merdeka sebagai corong organisasi ini, dengan oplah 500 eksemplar. Dengan itulah kobaran Kemerdekaan disebar-sebarkan di seluruh Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Sulawesi Utara.

Di Ternate, sang Patriot Indonesia (dari) Timur ini dikenal sebagai sahabat baik Sultan Ternate (Iskandar M. Djabir Sjah), dokter Hasan Boesoeri, dan tokoh-tokoh organisasi (nasionalis) Maluku Utara seperti A.M. Kamaluddin, Botji Hasan Esa, Salim Fabanyo, Jassin Gamsungi, dsb. Juga, tercatat seorang tokoh Pemuda Ternate yang banyak membantu perjuangannya: Abzan Suleman dan Muhammad Sulaiman (Nalenan, 1981; Ruray, 2007).

Kelak, ketika Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) terbentuk, patriot ini bersama-sama Sultan Ternate, bertindak sebagai wakil kunci dari masyarakat Maluku Utara di Parlemen, antara lain dengan memimpin Fraksi Progresif yang Pro-Republik. Di masa itu, ia adalah juga sebagai Ketua Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI).

Dialah –-bersama Fraksi Progresif yang selalu dengan jitu melantangkan semboyan “sekali ke Yogya, tetap ke Yogya…” (1947-1950).

Hampir seluruh kehidupannya adalah pertaruhan panjang bagi cita-cita Proklamasi Indonesia 1945, Negara Kesatuan, dan Republikan-isme dalam bertata-negara di negeri ini.

Itulah sosok Arnold Mononutu –-yang lebih akrab dipanggil Oom No–, 1896-1983.  Berasal dari turunan terpandang, ambtenaar, di Minahasa, Sulawesi Utara. Masa kecilnya di Gorontalo dan menempuh pendidikan dasar anak-anak Eropa (ELS) di kota ini. Di usia dua tahun ia harus ikut ayahnya yang pindah tugas di Gorontalo di kantor Asisten Residen. Tak kurang dari sepuluh tahun si kecil Arnold menjalani hari-harinya sebagai anak ambtenaar di Gorontalo.

***

11 Januari 1942. Invasi Jepang memasuki Sulawesi Utara! Tanda-tanda perjuangan hidup-mati pun dimulai.

Oom No, di awal 1942, adalah tokoh yang masuk target untuk dibunuh oleh fasis Jepang di Manado karena dianggap “seorang demokrat yang anti fasis, tokoh Perhimpunan Indonesia, PNI, dan Gerindo”. Hanya karena pertolongan Tuhan, dan karena jasa baik Yamanishi yang simpati padanya, Arnold Mononutu kemudian “diselundupkan” dengan perahu nelayan (lewat Bitung) menuju Ternate di Maluku Utara. Ia pun tiba di Ternate dan selamat dari pembunuhan itu dan selama sekian tahun bekerja di Pulau Rempah ini di Taiwan Ginko (Bank Taiwan) di Ternate.

Di awal 1942 itu, ia terpaksa meninggalkan kerja-kerja luhurnya di Minahasa dan Bolaang Mongondow sebagai Direktur Koperasi Produksi Kopra  (1930-1942) yang telah ia besarkan selama dua belas tahun dan berhasil memerdekakan ekonomi Petani Kelapa di kawasan ini.

Sejak itu, ia memulai jalan perjuangan barunya di Ternate. Meski begitu, sesungguhnya dua puluh tahun sebelumnya, Oom No sudah pernah tinggal di Ternate selama setahun (1918-1919) menemani ayahnya yang bekerja di pulau ini. Saat itu, Arnold kecil baru saja menyelesaikan sekolah HBS-nya di Batavia. Rupanya Ternate membekali berkah tersendiri karena setelah itu (1920), atas restu ayahnya ia kemudian memilih ke Nederland melanjutkan pendidikannya.

Di negeri Belanda, pada Januari 1925, posisi Arnold Mononutu semakin terpandang di antara mahasiswa Indonesia. Ia adalah Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia, mendampingi Sukiman Wiryosanjoyo sejak 11 Januari 1925. Di periode itu, kedudukan Mohammad Hatta (Bendahara), Surono dan Sunario (Sekretaris), Amir, Budiarto, dan Muhammad Yusuf (Komisaris). Di masa kepemimpinan mereka inilah pernyataan “Indonesia Merdeka Sekarang” (Indonesia vrij nu) terkenal. Hebatnya karena pada rapat PI pada 8 Februari 1925, mereka menegaskan menggunakan nama organisasinya dalam bahasa Indonesia penuh: “Perhimpunan Indonesia” (PI), dengan majalah terkenalnya Indonesia Merdeka. Dan tidak lagi terbiasa mengulang penamaan Belanda-nya, Indonesische Vereeniging. Nama ini mulai dipakai sejak 1922, menggantikan nama organisasi sebelumnya, Indische Vereeniging (Simbolon, 2006; Poeze, 2014).

Lebih jauh dari itu, Anggaran Dasar Organisasi PI pun  dirumuskan kembali, dengan bahasa yang lebih tegas dan membebaskan, yakni tentang “Indonesia yang bersatu, dengan mengenyampingkan perbedaan-perbedaan golongan, mematahkan kekuasaan penjajah,….Kemerdekaan Indonesia, aksi massa yang nasionalistik, sadar dan bersandar pada kekuatan sendiri…dst (4 Pasal pokok).

Sejak 1925 itu pula, Arnold Mononutu dipercaya sebagai “Duta” Perhimpunan Indonesia (PI) di Paris untuk memperluas jejaring politik kebangsaan Indonesia dengan sejumlah tokoh kunci dari Asia dan Afrika. Lagi pula ia adalah pemberani di forum dan fasih berbahasa Perancis. Tak heran kalau kemudian ia berhasil terpilih sebagai Sekretaris Organisasi Mahasiswa Asia (Association des étudiants de L’Asie). Berkat jaringannya di organisasi inilah, Arnold Mononutu kemudian sukses mendatangkan Hatta, Nazir Pamuncak, Ahmad Subardjo dan Gatot Tarumiharja dalam kongres Internasional menentang kolonialisme oleh Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan di Brussel pada 10-15 Februari 1927. Sebelumnya, Hatta juga terlibat dalam Kongres Demokratis Internasional di Bierville, Prancis, pada 15 Agustus 1926 (Poeze, 2014:187). Tak lama setelah itu (1927), Arnold balik ke Tanah Air dan langsung aktif dalam gerakan kepemudaan, termasuk menjadi tokoh kunci dalam Kongres Pemuda Kedua (28 Oktober 1928) di Jakarta sebagai tokoh Perhimpunan Indonesia dan Penasehat Jong Celebes, bersama-sama menghasil “Sumpah Pemuda” 1928.

Kita masih harus menoleh ke belakang, pentinglah pula dicatat bahwa ide besar “Negara Kesatuan” Indonesia adalah dasar paling kokoh yang diyakini oleh Oom No sejak ia belajar di negeri Belanda. Konsep itu sesungguhnya berasal dari Sunario, yang disampaikannya dalam rapat lengkap Perhimpunan Indonesia pada 28 Maret 1926 (Nalenan, 1983: 109). ***

Bagi Oom No, dari kota Ternate inilah ia membentuk hentakan baru bagi perjuangan kebangsaannya agar kekar kembali. Untuk selanjutnya berjangkar sekian tahun di Sulawesi, ke tanah Jawa, ke negeri-negeri yang jauh, dst. Sekian tahun bertarung gagasan di kota Makassar. Setelah itu, ia tak pernah berhenti bekerja untuk bangsanya: sebagai Menteri, Anggota Konstituante, Duta Besar, Rektor, dst.

Oom No, selama berjuang di Sulawesi dan ketika harus merekonsiliasi aliran federalisme dan republikanisme di masa revolusi Kemerdekaan, tercatat bahu-membahu membangun keakraban ketokohan nasional di Sulawesi. Oom No sangat dekat-sejiwa dengan tiga tokoh utama dari Gorontalo yang besar perannya di Indonesia Timur: Ayuba Wartabone, R.M. Kusno Dhanupoyo (Sulawesi Utara) dan Nino Hadjarati (Parindra di Makassar). Ketiga tokoh di masa Revolusi Sulawesi ini adalah pantulan ketokohan Sulawesi yang aktif-lalu-lalang di jazirah ini, Jakarta, dan Yogyakarta, ketika percaturan nasionalisme di masa itu mengharuskan sejumlah perdebatan, pertarungan, dan perkumpulan (lintas tokoh) di tingkat regional dan nasional.

Mereka membawa gagasan dan gerakan sekaligus.

Nasionalis Gorontalo –Wartabone, Hadjarati, dan Dhanupojo–, selain intens berjuang bersama Oom No, sejumlah tokoh Minahasa, dan teman-teman seperjuangannya di Indonesia Timur di periode 1945-1950 juga aktif membentuk jejaring organisasi perjuangan fisik dan diplomasi kebangsaan di Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT).

Di masa itu, Sam Ratulangi adalah tokoh sentral yang sangat akrab dengan tokoh-tokoh Indonesia Timur.

Di Indonesia Timur, pergolakan meluas karena gagasan federalisme membesar. Benturan-benturan terjadi antar kelompok nasional pro-republik (baca: negara Kesatuan), kubu federalistik dan faksi ‘moderat’. Tekanan fisik menyebar di tengah ketidakpastian. Begitu besar korban nyawa dan pengorbanan yang tak ternilai di masa itu di Sulawesi (pembantaian Westerling).

Oom No dan generasinya adalah bukti bakti juang yang terbesar dalam “penyatuan Republik” sesuai nilai dasar Proklamasi 1945 yang nyaris terpecah-belah berulang karena taktik “negara boneka-federal” buatan van Mook yang terus-menerus berkeras memanfaatkan celah-celah politis yang melanggengkan kekuasaan Belanda; antara lain melalui Konferensi Malino (16-22 Juli 1946), Konferensi Pangkal Pinang (1-12 Oktober 1946) dan Konferensi Denpasar (Desember 1946). Pada konferensi Denpasar Desember 1946, perwakilan Maluku Utara adalah Mohamad Djabir Iskandar Sjah (Sultan Ternate) dan Zainal Abidin Alting (Djogugu Muda Tidore).

Di Sulawesi, Oom No punya hubungan khusus dengan Ayuba Wartabone dari Gorontalo karena dia adalah salah satu tokoh politik dari tujuh orang (Anggota Parlemen NIT) yang terlibat dalam satu misi besar, “Muhibah ke Yogyakarta” (goodwill mission) ke ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta (Februari 1948). Oom No dan Ayuba Wartabone adalah dua tokoh (proponen) Fraksi Progresif, dan lima orang lainnya masing-masing dari Fraksi Nasional, wakil Protestan dan Katolik, dan, ini yang sangat unik adalah karena terdapat seorang wakil golongan Tionghoa Indonesia Timur, Mr. The Sin Ho (Nalenan, 1981). ***

Hari-hari ini, sungguh terasakah Kemerdekaan Nasional kita yang sesungguhnya?

Seruan hampa (banyak) di ruang publik! Yang tampak, jiwa-jiwa lama yang membesarkan ‘feodalisme baru’. Semakin menjauh dari wawasan ke-“publik”-an dan prinsip dasar ke-“Republik”-an. Yang dominan adalah ke-Aku-an yang tidak berjejak di alam nyata. Menjauh dari dedikasi-diri dan pengorbanan yang konsisten karena mengerjakan misi perubahan yang menyentuh ketimpangan wawasan dan keadilan kawasan di Republik Merdeka ini. ***