Opini  

Pemilu, Perempuan, dan Pemuda

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Parner di Voice-of-HaleHepu

PEMILU menjadi penting karena melibatkan (hampir) semua golongan masyarakat sebagaimana terwakili dalam partai-partai politiknya. Setelah Pemilu selesai, tata kelola negara “dibentuk” kembali melalui sistem presidensial dan lembaga legislatifnya. Di dalamnya terdapat tokoh-tokoh baru dan biasanya tetap ada aktor-aktor lama.

Bagi semua negara modern, Pemilu sangat jelas adalah perkara penting. Bukan hanya karena besarnya biaya yang dikeluarkan, tapi juga karena menyangkut “amanah konstitusi” yang menentukan tegaknya sebuah sistem bernegara yang demokratis.

Di masa lalu, Pemilu pernah identik dengan kekerasan, tekanan-tekanan, dan hegemoni. Di banyak tempat di dunia, bahkan hingga kini, kekerasan selalu menyertai Pemilu. Tak lama setelah perhitungan suara, konflik dan kekerasan terjadi di mana-mana. Semuanya membawa pemicu dan pola yang variatif: polarisasi etnis, sipil-militer, konflik kelompok sipil, dst. Hal ini dipelajari panjang lebar oleh seorang ahli Pemilu ternama, Jack Snyder (2000), professor di Columbia University, dalam bukunya “From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict (384 halaman).

Kampanye Damai –atau Anti Hoaks— terus digalakkan disertai dengan seruan-seruan mengingatkan rakyat agar perbedaan aspirasi tak membuat kita berpecah-belah. Faktanya, untuk kasus kita di Indonesia, kita masih berjuang membuktikan bahwa Pemilu adalah hak rakyat  yang bebas dan sebuah pesta demokrasi yang diharapkan “menggembirakan”.

Memang, elite adalah golongan yang akan segera beroleh manfaat dari Pemilu. Itu yang terjadi dalam jangka pendek, terutama bagi mereka yang berhasil “menang” dalam perolehan suara. Demikian juga dengan mobilitas partai-partai peraut suara besar. Di jenjang berikutnya, mereka akan mewujudkan “koalisi bebas” dalam menuai banyak keuntungan di berbagai momen dan ruang: Pilkada, sebaran fraksi dan komisi-komisi, struktur pimpinan DPR/DPRD, Presiden, Gubernur, dst.

Pengetahuan, pola bernalar dan karakter perilaku kita dalam urusan perpemiluan sudah sangat terang-benderang. Hampir semua ide, data, tema, dan aspirasi bisa kita ikuti di media. Nyaris semua kelompok, perwakilan partai, simpatisan dan tim sukses sudah tampil di semua forum publik dan media sosial. Mereka telah menjadi tontonan kita sehari-hari. Apa-apa yang “berhamburan” dari mulut-mulut elite selanjutnya dipabrikasi di media sosial oleh sel-sel organisasi, jaringan calon, pekerja media, tim sukses, dan simpatisan.

Untuk sekian bulan, berhamburanlah banyak istilah, gosip-gosip, kabar bohong, polemik, kontroversi, kampanye hitam/negatif, dst. Negeri kita lalu banjir “narasi kuasa” yang demikian meluas. Semua pihak saling mengintip dan mengintai setiap saat. Untung saja satelit Palapa kita tak lelah menerima ledakan komunikasi dan informasi di negeri ini.

Smartphone sudah semakin murah memediasi semua proses komunikasi kita. Kita adalah bangsa pemenang dalam urusan informasi dan komunikasi. Hanya di jam-jam tidur saja barangkali yang memaksa (tangan/mata/telinga) kita “off” dengan teknologi informasi/komunikasi. Itu pun mungkin tak sepenuhnya benar karena bisa jadi smartphone kita tetap “on” di sekitar kita.

Pemilu 2024 hendak menjawab apa? Di tingkat praktis, Pemilu ditujukan untuk memekanisasi proses penentuan pimpinan lembaga negara (presidensial dan legislatif) yang terbuka, tertanggungjawabkan, terkontrol dan legitimate. Dengan demikian, legitimasi (baru) yang akan kita raih melalui jalan Pemilu hendaknya meyakinkan diri kita sendiri dan bangsa ini, baik secara ke dalam (sebagai bangsa besar yang majemuk) dan secara keluar (sebagai negara demokratis merdeka di panggung dunia).

Perempuan dan kaum (generasi) milenial adalah dua golongan yang menarik kita beri perhatian pada Pemilu 2024. Mereka adalah kekuatan tersembunyi yang terancam disfungsional dalam pergaulan yang lebih besar: penentuan kebijakan negara.

Jika kita menyebut perempuan, konteksnya adalah sebagai kekuatan perubahan dan perbaikan. Bukan sebagai “jenis kelamin” yang dijinakkan karena belas-kasih dan patron politis yang hanya menempatkannya sekunder. Perempuan tak bisa lagi dipahami menurut kaidah “tak ada rotan maka akar pun jadi…”. Perempuan bukanlah tempelan pernak-pernik kekuasaan yang hanya hadir “di samping suami” dan pria-pria hebat lainnya.

Perempuan, sejauh yang bisa kita pantau, telah melakukan peran-peran besar beberapa tahun terakhir ini. Mereka bisa mengkombinasi antara kecerdasan yang estetik dan kepemihakan sosial yang empatik. Perempuan bahkan berkiprah di lapangan yang serius tantangannya: menyikapi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Demikian juga di sektor pendidikan, ekonomi kecil-menengah, pembangunan mutu keluarga dan kesehatan generasi.

Semua tema tersebut bergulat dengan dunia perempuan. Di titik ini, perempuan-politisi membutuhkan kapasitas. Sejajar dengan itu, pembangunan perempuan meniscayakan konsistensi dan kompetensi. Tidak sekadar sambil lalu –-sesuai logika kuota—dengan menyatakan “yang penting perempuan ada…”. Golongan ini bukan pelengkap-penderita, agar kekuasaan tampak ramai dan berwarna-warni.

Kaum milenial adalah golongan yang juga sama pentingnya. Mereka bukan hanya sebagai pemilih aktif berjumlah besar, mereka juga adalah potensi perubahan strategis di masa depan. Mereka membutuhkan ruang dan agenda. Mereka akan bergelut dengan isu-isu teknologi, perubahan iklim, kompetisi pasar dan kesejahteraan berkelanjutan.

Tapi, di sisi lain, gempuran besar di zaman ini tengah menarget kelompok ini. Perhatikanlah isu pengangguran, kekerasan gang, obat-obatan, gaya hidup, dan kriminalitas. Pada kelompok milenial ini pulalah paradoks kemajuan ekonomi Indonesia diperhadapkan: kesenjangan dan kemiskinan.

Pemilu 2024 adalah Pemilu yang akan menandai kematangan kita dalam berdemokrasi dan ia akan sekaligus menjadi ujian apakah kita akan berhasil “mencipta” ruang bagi kaum milenial. Tidak terlalu penting mengartikan semua ini dalam ukuran angka-angkanya, tapi terutama dalam arti agenda dan peran.

Saya sangka, kaum muda milenial masih akan mengalami kegagapan di tahap praktis (lapangan), baik di ruang-ruang legislatif maupun di eksekutif, tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, emosi kegenerasian mereka akan tertransfer dalam bahasa tindakan nyata, terutama di lapangan ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan. Kita yakin bahwa dari nalar merekalah “kompetisi global” akan disikapi dengan kepala tegak, penuh kreasi dan, tentu saja, kita berharap agar mereka tetap berjati diri. (*)