Keindahan Sungai Boki Maruru tidak lagi seperti sebelumnya. Sungai ini terletak di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Malut). Kini, sungai yang tersambung dengan Gua Boki Maruru itu tercemar. Airnya keruh kecokelatan dari hulu hingga hilir. Tercemarnya sungai tersebut sudah tentu “mematikan” sumber penghidupan masyarakat setempat. Berikut laporan jurnalis Nuansa Media Grup (NMG).
Tanwin Fataha – WEDA
Sabtu (19/8) pagi sekira pukul 06.00, langit Ternate begitu cerah. Saat itu, saya dan dua kru NMG bertolak ke Sofifi menggunakan speedboat di Pelabuhan Semut, Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan. Tiba di Sofifi, tak butuh waktu lama, kami langsung bertolak ke Kota Weda, Halmahera Tengah. Kami tumpangi satu unit mobil Innova. Ini kali kedua saya ke Kota Weda. Tujuan kami bukan Kota Weda, tapi Desa Sagea.
Mobil melaju begitu cepat. Jalan dalam Kota Sofifi masih begitu mulus. Hanya beberapa bagian di tepi jalan yang aspalnya terlihat retak. Mobil mulai oleng, ketika kami sudah keluar dari Kota Sofifi. Itu karena sepanjang jalan menuju Kota Weda terdapat begitu banyak lubang. Aspalnya juga tidak serapi seperti di Sofifi. Bukan hanya tepi jalan yang retak, tapi di badan jalan (tengah jalan) juga berlubang. Aspal yang masih mulus, kira-kira panjangnya tidak sampai satu kilometer.
Ironisnya, hampir tidak ada drainase sepanjang jalan hingga masuk ke Kota Weda. Informasinya, jalan dari Sofifi hingga Weda itu berstatus nasional. Artinya, jalan itu di bawah kendali Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Maluku Utara. Saat memasuki Kota Weda, sopir meminta kami bertiga agar menaikkan kaca mobil. Alasannya, sekira 100 meter lagi kami akan temui “portal”. Di portal ini, kemungkinan kami akan ditahan para sopir mobil pangkalan Weda. Bagi mereka, mobil pangkalan dari Sofifi cukup sampai di Weda, tidak boleh membawa penumpang hingga ke Sagea. Kami masih beruntung, karena di portal itu tidak ada orang.
Setelah melewati portal, saya langsung menurunkan kaca mobil. Ketika itu sopir menyarankan saya agar menaikkan kembali kaca mobil, karena di tengah Kota Weda berdebu. Ternyata benar, sepanjang jalan yang kami lintasi dalam Kota Weda itu berdebu, padahal masih pagi, sekira pukul 09.00. Saat itu saya tidak lagi menurunkan kaca mobil, dengan maksud agar memastikan dengan jelas debu di jalan raya dalam Kota Weda.
Beberapa menit kemudian sopir minta saya menaikkan kaca mobil. “Karena di depan sana masih ada portal,” katanya. Portal kedua ternyata pengawasannya lebih ketat. Jika mobil kami berhasil ditahan, maka saya dan dua teman harus turun dari mobil Innova ini dan kami akan disuruh naik ke mobil milik warga yang berada di portal itu. Karena di depan kami tidak ada mobil, sopir tancap gas. Saya sempat melirik ke “pangkalan” di portal itu, tampak seorang pemuda menggerakkan tangannya dengan maksud meminta kami berhenti. “Mereka pasti kejar,” kata sopir. Mobil kami terus melaju dengan kecepatan tinggi. “Sepertinya mereka tidak kejar,” sambung sopir dengan nada lega.
Sepanjang perjalanan, di tepi-tepi jalan masih tampak pepohonan hijau berjejeran. Jalan sepanjang itu tidak berdebu hingga masuk ke Desa Sidanga. Desa ini masih wilayah Kota Weda. Setelah itu kami lanjut perjalanan ke Desa Kobe, Kecamatan Weda Tengah. Dari Kobe ke Desa Lukulamo, pemandangan mulai berubah, sudah terlihat debu beterbangan. Situasi berubah drastis saat kami masuk ke Lelilef. Sepanjang jalan di Lelilef, debu beterbangan tebal. Desa ini terlihat amat sibuk, bahkan lebih sibuk dari Kota Weda. Kendaraan, baik roda dua dan empat berlalu lalang di jalan raya, termasuk mobil perusahaan tambang.
Terlihat sejumlah pemilik warung kecil berjejeran di jalan raya mengenakan masker. Barang-barang yang di-pajang di etalase sejumlah toko kecil di Lelilef penuh dengan debu. Kurang lebih 26 ribu jiwa warga tinggal di Lelilef. Informasinya, setelah perusahaan tambang beroperasi di sekitar desa itu, sedikitnya 11 ribu orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) setiap tahun. Di desa ini juga, ada 600 titik kos-kosan dengan jumlah kamar yang bervariasi, rata-rata lebih dari 10 kamar pada setiap satu titik kos-kosan.
Tak hanya debu, tumpukan sampah yang sudah dikemas dengan plastik terlihat di tepi-tepi jalan antara pemukiman warga dan perusahaan. Sepanjang itu baunya begitu menyengat. Sampah-sampah tersebut sepertinya sudah tertumpuk hingga berhari-hari dan tak terurus. Pekerja tambang serta warga sekitar terlihat sudah biasa melintasi sepanjang jalan yang bagian tepinya ada tumpukan sampah itu. Rata-rata dari mereka yang melintas dengan kendaraan roda dua tidak mengenakan masker.
Untuk sampai ke Sagea, mobil kami harus melintasi jalan di area IWIP, salah satu industri tambang besar Indonesia. Selama mobil kami berada di area IWIP, terlihat aktivitas karyawan begitu aktif. Sejumlah bangunan berlantai tampak megah. Sebagiannya masih dalam proses pembangunan. Dan tentu suasananya sangat sibuk. Dari Lelilef (termasuk IWIP), beberapa menit kemudian kami sampai di Desa Gemaf. Di desa ini situasi begitu tenang, juga tidak berdebu, hingga tiba di Sagea.
Sesampainya di Sagea, kami lebih dulu ke hilir sungai Boki Maruru untuk menyaksikan lomba dayung yang digelar pemuda setempat. Suasana begitu ramai. Warga di beberapa desa sekitar juga datang menyaksikan perlombaan tersebut. Sayangnya, air di hilir sungai itu terlihat berwarna kecokelatan. Penasaran, beberapa menit kemudian kami ke hulu Boki Maruru. Jarak dari desa ke hulu Boku Maruru tak begitu jauh, sekitar dua kilometer. Ternyata jalan masuk ke hulu Boki Maruru belum diaspal. Kondisi jalannya becek. Ini karena hujan deras sempat mengguyur beberapa desa di Weda Utara, termasuk Sagea beberapa hari sebelum kami tiba.
Tidak hanya becek, berlumpur, tetapi juga terbentuk sejumlah lubang berukuran sedang di badan jalan. Mobil yang kami tumpangi begitu hati-hati, lantaran jalannya licin. “Mudah-mudahan pemerintah daerah cepat aspal jalan ini, supaya pengunjung Goa Boki Maruru tidak lagi mengeluh melintasi jalan ini,” harap dua warga yang ikut dalam mobil kami.
Di hulu sungai, kami bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat. Mereka tampak begitu sabar melihat kondisi air sungai yang sudah berwarna cokelat. Sesekali mereka alihkan pandangan ke bukit di tepi sungai. “Sudah satu pekan lebih air sungai tercemar. Kami juga bingung kenapa berwarna cokelat,” kata dua tokoh masyarakat. Menurut pengakuan mereka, beberapa tahun lalu, jauh sebelum perusahaan tambang beroperasi, air sungai Boki Maruru tidak pernah keruh hingga berwarna cokelat, sekalipun musim hujan. “Justru airnya makin jernih kalau hujan deras,” sambung salah satu tokoh masyarakat.
Di hulu Boki Maruru ketika tidak ada satu pun pengelola lokasi pariwisata tersebut, yang ada hanya dua penjaga pintu masuk. Kami sempat bertemu dengan tiga wisatawan lokal dari Sulawesi Utara yang didampingi salah satu warga setempat. Mereka ikut bertanya ke tokoh masyarakat tentang penyebab tercemarnya air sungai tersebut. Sekira 30 menit kami berada di hulu sungai. Saat balik, mobil kami sempat berhenti di jalan masuk salah satu bangunan yang beberapa tahun terakhir digunakan sebagai tempat pengelolaan air bersih oleh BUMDes Sagea. Sudah satu pekan lebih proses pengelolaan air bersih terhenti, karena sungai tercemar. Padahal, warga setempat menggantungkan kebutuhan air minum mereka yang dikelola BUMDes tersebut.
“Air yang dikelola BUMDes ini jalan ketika Edi Langkara menjabat Bupati Halmahera Tengah. Kalau air sungai tidak tercemar, pasti ramai, karena masyarakat harus datang ambil air di sini,” jelas salah satu warga seraya menunjuk ke-arah bangunan tempat pengolahan air bersih. Warga setempat sudah pesimis bahwa air sungai tidak akan sejernih dulu. Mereka yakin, beberapa hari ke depan air sungai akan jernih lagi, tapi tidak dalam waktu yang lama. Jika hujan turun, pasti tercemar lagi. Sekitar lima menit kami berada di depan bangunan itu, kemudian mobil kami bergerak ke-arah desa. (*)