Opini  

Miskin Teladan

Basri Amin.

Oleh: Basri Amin

Parner di Voice-of-HaleHepu

DEWASA ini, di banyak keadaan, “sistem kerja” kita makin terkesan dikelola sedemikian rupa dengan tabiat hipokrit. Prinsip kualitas dan akuntabilitas hanya jadi retorika di panggung acara dan lembaran administrasi.

Kepentingan pribadi dan kelompok begitu lihai dibungkus dengan pembenaran berulang dan bahasa basa-basi.

Gaya dan bahasa yang dimunculkan setiap hari makin jauh dari keteladanan, baik dalam arti bertata-negara maupun dalam pergaulan sehari-hari. Antara kata dan perbuatan, kesenjangannya makin menganga. Kita kehilangan pegangan, karena keteladanan nyaris sudah mati.

Kita kehilangan rasa malu dan sikap berani memihak kepada kebenaran karena “siasat” hidup semakin mengedepan. Hidup tak lagi dirasakan sebagai “panggilan”, melainkan ruang bagi prinsip “aji mumpung”. Kejujuran sudah tumpul.

Emosi dan rasio untuk berteriak kepada kebohongan tak lagi beroleh tempat di ruang-ruang rapat pimpinan dan di sidang-sidang resmi, pun di upacara-upacara dan di seremoni-seremoni. Diam-diam kita pongah menutupi apa yang “sebenarnya” terjadi di alam nyata. Aturan dan akal sehat tak berdaya di hadapan akal-bulus, nafsu kuasa, uang, dan perkawanan.

Kegundahan kita sudah lama: tentang hilangnya pegangan dan keteladanan.

Jangan ragu! Amatilah dalam pergaulan sehari-hari kita. Perhatikan sejenak di tempat-tempat kerja kita: kepentingan pribadi dan tindakan jangka pendek makin mengepung! Ketulusan dan keterpanggilan membuat hari esok yang lebih baik makin terasa sebagai “pemanis bibir” saja.

Kita seperti tak punya lagi ukuran-ukuran moral dan kepantasan dalam menyikapi sesuatu. Orang cenderung “mendua” ketika bersikap terhadap kebenaran. Rasa malu dan prinsip tanggung jawab nyaris sudah diparkir jauh di dunia lain. Setiap orang makin mudah mengedepankan kepentingannya sendiri, betapa pun kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah “demi” orang banyak, demi negara dan demi kepentingan bersama.

Kini kita demikian mudah membungkus keaslian diri dengan bersolek-kata dan muka. Tidak jarang bahkan kemewahan dan ketenaran digiring sedemikian rupa oleh banyak “kalangan atas” di wilayah publik. Semuanya demi mengelabui motif-motif aslinya dalam kiprah kerja-kerjanya.

Semua tahu betapa pemberitaan media selalu memiriskan hati ketika percakapan nasional belakangan ini terus meluas tentang “robohnya kemuliaan” di kalangan atas. Demikian banyak terbukti bahwa yang kini bertengger di kekuasaan bukanlah terdiri dari para negarawan yang punya integritas dan moralitas tinggi, dengan kedalaman pemahaman (praktik) bernegara yang mumpuni dan dengan keagungan pribadinya sebagai “pengabdi bangsa”.

Kemewahan gaya hidup dengan fasilitas dan uang negara dipeluk dengan penuh congkak dan tanpa rasa malu di ruang-ruang kuasa.

Tampaklah bahwa kini yang tersisa (?) adalah kepercayaan-kepercayaan psikologis bahwa masih banyak orang baik yang lurus dan orang hebat yang berani di negeri ini. Inilah yang masih kita yakini, saksikan dan rasakan. Orang seperti itu tersebar di banyak tempat. Mereka berperan dengan cara dan dayanya masing-masing.

Mereka masih terus menyuarakan kebenaran dan mengerjakan cita-cita luhur republik ini. Mereka sangat paham dan terus berusaha bahwa “abad kegelapan” tidak boleh menjerat masa depan Indonesia. Mereka tidak pernah kehilangan harapan. Mereka mengukuhkan sikap-sikap patriotis di berbagai arena kehidupan, mulai dari dunia perdesaan di pelosok, usaha-usaha kecil menengah di perkotaan, perdebatan-perdebatan aktual di parlemen, program-program pemberdayaan di instansi-instansi negara, di kantor-kantor media independen, NGOs, kelompok-kelompok muda-kreatif, di sekolah-sekolah, hingga di universitas, dst.

Ulasan seperti di atas tidak bermaksud mengalihkan perhatian dengan nada hendak “lari” dari kenyataan dominan. Tujuannya agar kita punya kegelisahan bersama untuk melihat gambar atau peta yang lebih luas.

Di setiap tingkatan kehidupan, termasuk dalam urusan bernegara dan bermasyarakat, selalu terdapat ketimpangan dan ketidakseimbangan. Tapi justru karena itulah maka kita (tetap) merasa “hadir” dalam hidup ini.

Bahwa selalu ada perasaan “terpanggil” untuk menyatakan dan berbuat sesuatu. Bahwa suara kita bukan hanya (pantas) dihitung pada setiap kotak suara ketika musim Pemilu atau Pilkada, tapi suara kita pun harus sungguh-sungguh diperhitungkan dalam percaturan (kemakmuran) bersama dan dalam pengaturan (kepentingan) bersama dalam jangka panjang.

Nalar kita dalam mencermati ketidakpastian tidak boleh terbuai kepada agenda-agenda yang berpusat kepada “orang atas”, kepada mereka-mereka yang “hendak ke atas” atau yang tabiatnya “bertahan di atas”. Sebab, kelompok seperti ini punyai pengalaman dan banyak cara untuk “lihai” –-bahkan licik— dalam hal berjanji dan membuat ritual-ritual yang mengelabui hak-hak orang banyak. Mereka lincah membuat judul dan kegiatan. Mereka punya jaringan organisasi dan aktor yang bisa terus-terusan “menggoda” akal sehat kita dengan tawaran jangka pendek.

Negara setiap saat ditempatkan sebagai “pelayan” buat keserakahan dan nafsu-nafsu sepihak mereka. Rakyat sudah saatnya berani untuk mengatakan kepada mereka: “kerjakan dan buktikan saja kata-katamu…Jangan lagi menipu dengan obralan janji dan penampilan musiman-mu…”.

Kepalsuan cita-cita. Moralitas dengan mudah mereka “obral” di mana-mana. Banyak di antara mereka yang tidak jelas lagi mana urusan negara dan mana urusan (kenyamanan) pribadi, keluarga, dan kelompok. (*) 

Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com