Opini  

Loloda, Kopra dan Kesejahteraan Petani

Subhan Hi. Ali Dodego.

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego

Alumni Magister Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SECARA umum masyarakat Loloda khususnya dan masyarakat Halmahera Utara pada umumnya memiliki dua mata pencaharian yang menjadi kebutuhan dasar hidup yaitu petani dan nelayan. Selain dari profesi lain seperti: guru, pengusaha, peternak, dan sebagainya. Dua profesi di atas (petani dan nelayan) dalam konteks kehidupan masyarakat Loloda ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dilepas-pisahkan, keduanya selalu berkait kelindan.

Kendati demikian, nasib petani kopra di Halmahera Utara dan khususnya di Loloda masih jauh dari kata sejahtera. Padahal jika dilihat secara holistik kopra adalah kebutuhan dasar masyarkat. Walaupun masih ada komoditi lain seperti pala dan cengkeh tetapi dua komoditi ini hasil panennya tergantung pada musim. Akan tetapi, komoditi kopra dapat dipastikan tetap dipanen dalam jangka waktu 3-4 bulan.

Jika dilihat dari prosesnya pekerjaan petani kopra ini tidak dapat dianggap ringan. Sebab, perlu waktu dan tenaga dalam menyelesaikan panen kopra. Mulai dari membersihkan pohon kelapa, memetik, mengumpul, membelah, pengasapan hingga ditimbang dan dimasukan ke dalam gudang kopra adalah suatu pekerjaan yang panjang sampai membutuhkan waktu 40 hari. Namun, lagi-lagi akibat terpaan badai turunnya harga kopra walhasil petani kopra kita gigit jari dan menangis menjerit. Bahkan para petani kopra sebagian rela tidak lagi melakukan produksi kopra mereka mengganti profesi menjadi nelayan, kuli bangunan, kerja di perusahan tambang, sopir dan sebagainya.

Dalam beberapa tahun terakhir Maluku Utara secara umum mengalami anjlok harga komoditi kopra. Untuk mengatasi anjloknya harga ini pemerintah daerah berikhtiar mencari solusi untuk menstabilkan harga kopra. Akan tetapi, per hari ini berdasarkan data dari Disperindag Halmahera Utara harga kopra di Rawajaya Rp.6.200 per kilogram. Wosia Rp.6000 per kilogram. Gosoma Rp. 6.200 per kilogram. Lina Ino Rp. 6.200 per kilogram (Disperin.halmaherautarakab.go.id, 5 Juni 2023).

Berpijak dari data tersebut menunjukkan bahwa harga kopra di Halmahera Utara belum merangkak naik. Ini artinya bahwa kesejahteraan petani kopra nyaris lenyap bak panggang yang jauh dari api. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah sehingga harga komoditi kopra ini bisa stabil? Secara teori ekonomi anjloknya harga kopra ini karena dampak pada pasar global dimana terdapat permintaan prodak yang tinggi. Selain itu, karena kopra di pabrik melimpah dan harga minyak dunia turun (TribunTernate.com, 3 September 2022).

Terlepas dari dasar pemikiran di atas apapun alasannya kesejahteraan petani kopra harus diperhatikan dan diwujudkan oleh Pemerintah Daerah. Berikut ini penulis kemukakan beberapa solusi dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan petani kopra. Pertama. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian wajib melakukan pendataan berapa jumlah kopra di Halmahera Utara per tahun. Dengan adanya data ini, maka pemerintah akan lebih mudah mengajak para investor berinvestasi di Halmahera Utara untuk membeli buah kelapa dengan harga yang tinggi di Halmahera Utara.

Kedua, pemerintah daerah Halmahera Utara wajib menyiapkan dana talangan. Dana talangan atau dana siaga ini adalah sebagai ikhtiar pemerintah dalam menyelesaikan anjloknya harga kopra di pasaran. Dana siaga ini dapat diambil atau bersumber dari APBD Halmahera Utara. Diketahui dalam setahun APBD Halmahera Utara berjumlah lebih dari 1 triliun ini dapat digunakan dan dikelola sebaik mungkin agar dapat membayar buah kelapa dan kopra para petani. Sehingga petani di Halmahera Utara dapat berdaya dan sejahtera.

Ketiga, pemerintah dapat secara langsung membeli buah kelapa petani tanpa harus menunggu pengasapan (lewat para-para kelapa). Dengan cara ini petani akan lebih cepat mendapatkan uang tunai bila dibandingkan dengan membeli kopra, karena memproduksi kopra memakan waktu lebih dari satu bulan. Lebih jauh, Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dapat dijadikan alternatif untuk membeli langsung kelapa dari petani dengan harga minimal Rp. 1.000 per buah. Dana membeli buah kelapa ini dapat bersumber dari Dana Desa. Buah kelapa yang sudah dibeli BUMDES dapat diolah menjadi minyak goreng, industri rumahan, batok kelapa dijadikan arang aktif dan lain sebagainya.

Dari ketiga solusi di atas paling tidak menjadi bahan masukan konstruktif bagi Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan daerah dan DPRD sebagai lembaga yang berfungsi membuat peraturan daerah, menyusun anggaran dan melakukan pengawasan serta seluruh instansi lainnya ini perlu mendudukan dan mencari solusi atas nasib petani kopra agar mereka dapat berdaya dan sejahtera. Jika, langkah-langkah strategis dan solutif ini dapat dilakukan maka tidak mustahil kesejahteraan petani akan segera terwujud. Semoga! (*)