Oleh: Raihun Anhar, S.Pd
Pemerhati Umat
INDONESIAN Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Mereka adalah mantan para koruptor yang telah selesai menjalankan hukuman. Akan tetapi kita tahu bersama bahwa hukuman korupsi di negeri ini tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan.
Hukuman penjara bagi para koruptor juga sangat ringan yakni empat sampai dua puluh tahun serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Jika hukuman tersebut dibandingkan dengan hasil korupsi, tentu lebih besar hasil korupsi. Mereka juga bisa menyewa penjara dengan fasilitas mewah dan bahkan bisa jalan-jalan keluar negeri seperti kasus Gayus Tambunan dahulu. Hukuman bisa dibeli, sehingga tidak perlu lagi menjalankan hukuman di penjara.
Dari hukuman koruptor yang tidak membuat mereka jera, maka seharusnya mereka tidak diberikan ruang untuk menjadi pejabat negara. Walaupun mereka telah bertaubat, tak perlu untuk diikutkan caleg. Mengapa? Karena kemungkinan untuk terulang lagi sangatlah besar.
Mengizinkan mantan koruptor untuk ikut caleg merupakan tindakan yang salah. Namun hal itu dibolehkan di Indonesia. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 45A ayat 2 PKPU Nomor 31 Tahun 2018. Secara tersirat disebutkan bahwa napi koruptor diperbolehkan mendaftar sebagai Caleg, dengan sejumlah syarat antara lain wajib melampirkan surat keterangan dari kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas, yang menerangkan bahwa yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta menyertakan salinan putusan pengadilan.
Selain itu, syarat lain eks napi korupsi dapat ikut Caleg namun harus melampirkan surat dari pemimpin redaksi media yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur kepada publik sebagai mantan terpidana, serta bukti pernyataan yang ditayangkan di media massa. Peraturan ini berlaku sejak ditetapkan pada 19 September 2018 lalu.
Apa jadinya jika mereka mengulang lagi perbuatan mereka kemudian ditambah koruptor baru?. Bukankah hal itu akan makin menambah kerusakan?. Dari hal ini dapat kita lihat buruknya demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Mengizinkan koruptor untuk caleg padahal masih banyak anggota partai yang bisa dicalonkan. Oleh sebab itu kita membutuhkan sistem politik yang baik mekanismenya. Tentu sistem tersebut bukanlah berada dalam demokrasi kapitalisme, melainkan Islam.
Pencalonan Pejabat dalam Islam
Dalam Islam juga terdapat pemilihan namun tidak serumit demokrasi. Untuk memilih pejabat juga tidak dilihat mereka yang mau, melainkan dilihat kelayakan mereka. Islam juga memiliki syarat-syarat khusus untuk menjadi Khalifah (pemimpin negara) dan pejabat negara lainnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki calon pemimpin dan pejabat adalah pemahamannya terhadap Alquran dan Sunnah agar mampu memecahkan masalah dengan hukum Islam.
Pernah dikisahkan Nabi Muhammad Saw tatkala memimpin Madinah. Beliau Saw mengangkat atau menugaskan Mua’adz bin Jabal dan Abu Musa al Asy’ariy sebagai qadhi (hakim) di Yaman. Beliau bertanya kepada keduanya, “Dengan apa kalian berdua akan menetapkan hukum?”. Keduanya menjawab “Jika kami tidak menemukan hukum dalam al-Kitab dan as-Sunnah, kami akan mengqiyaskan satu perkara dengan perkara lainnya. Mana yang lebih dekat pada kebenaran, itulah yang akan kami gunakan”. Nabi Saw membenarkan mereka berdua. Beliau Saw juga menetapkan tata cara untuk Qadhi dan pejabat yang beliau angkat untuk memutuskan suatu perkara.
Dari kisah pengangkatan pejabat oleh Nabi Muhammad Saw terlihat jelas bahwa orang yang dipilih bukanlah mereka yang tidak memahami Islam. Mereka dipilih karena ketaatan mereka terhadap Allah agar dalam menjalankan tugas tidak berlaku curang seperti korupsi serta tidak zalim terhadap rakyat.
Contoh lain bentuk pemilihan para Khalifah setelah Rasulullah Saw wafat. Dimana para sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar karena ketaatan beliau, beliaulah sahabat yang menemani sejak awal perjalanan dakwah Rasulullah Saw sehingga diangkat. Kemudian berlanjut hingga khalifah Umar, Utsman, dan Ali.
Dalam pemilihan tidak membutuhkan banyak budget seperti demokrasi. Pejabat yang dipilih juga tidak ada yang pernah korupsi sebagai bentuk menjaga Islam. Jika kedapatan pejabat korupsi, maka akan diberi sanksi. Seperti di masa Khalifah Umar bin Khattab, setiap pejabat yang beliau angkat dicatat penghasilan sebelum dan sesudah menjabat. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi pejabatnya berlaku curang, jika kedapatan penambahan penghasilan, maka kelebihan itu akan dikembalikan di Baitul Mal (kas negara), meskipun bukan hasil korupsi. Apabila pejabat korupsi, maka akan dihukum potong tangan karena korupsi adalah pencuri. Sebagaiman Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al Maidah [5] : 38)
Dengan Islam tidak akan kita temukan mantan koruptor menjadi calon pejabat dan korupsi bisa diselesaikan dengan tuntas. Siapa yang berani korupsi jika hukumannya potong tangan? Semua pejabat tentu tidak menginginkannya. Namun tanpa Islam, korupsi menjadi budaya dalam politik negara.
Oleh sebab itu, kita butuh Islam sebagai sistem hidup secara keseluruhan termasuk politik agar terciptanya kehidupan yang baik dan diberkahi Sang Pencipta. Dengan Islam, pejabat negara juga akan menjalankan tugas sesuai perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Pejabat yang taat akan mengurusi rakyat dengan baik. Dengan demikian, akan terciptanya kesejahteraan sebagaimana firman Allah:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al Araf [7] : 96). (*)