Opini  

Menggugat Politik Transaksional di Pemilu 2024

Subhan Hi Ali Dodego.

Oleh: Subhan Hi Ali Dodego

Alumni Magister Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SUDAH jamak diketahui bahwa setiap lima tahun di Indonesia dilakukan pemilihan umum untuk memilih para pemimpin pada level legislatif maupun eksekutif. Untuk pemilu kali ini direncanakan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Pelbagai macam persiapan menjemput pemilu telah disiapkan oleh lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu. Hal ini untuk membangun infrastruktur pemilu berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Namun, pada sisi lain dalam setiap pemilu kerap kali diusik dan dicoreng oleh pihak-pihak yang melakukan politik transaksional. Politik transaksional atau politik uang dalam pemilu di Indonesia tidak lagi menjadi hal baru namun sudah menjadi bahan tontonan publik dalam setiap pemilu. Tidak sedikit para penyelenggara dan peserta pemilu diadili lewat meja hijau akibat melakukan politik transaksional. Dalam konteks dunia internasional, menurut Burhanuddin Muhtadi Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia mengungkapkan Indonesia termasuk negara urutan ketiga yang melakukan politik uang pada saat pemilu (PPIM UIN Jakarta, 2018).

Lebih jauh, dalam konteks provinsi berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menafirmasikan bahwa Maluku Utara masuk dalam tingkat pertama di Indonesia melakukan praktik politik transaksional disusul provinsi Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Utara (Bawaslu RI, 2023).

Data di atas menunjukkan bahwa Maluku Utara adalah provinsi yang berada di urutan nomor satu sebagai provinsi paling rawan melakukan politik hitam atau politik transaksional. Ini membuktikan bahwa dalam konteks nasional, Maluku Utara berada dalam zona merah ekspansi politik uang pada saat pemilu.

Akibat dari budaya politik uang yang sudah mandarah daging dan selalu dipraktikkan dalam momentum pemilu ini telah menciptakan korupsi politik. Berdasarkan data KPK sejak tahun 2004 sampai 3 Januari 2022 tidak kurang dari 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah tersebut sudah pasti bertambah jika digabungkan dengan data yang berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian. Sementara, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2010 hingga Juni 2018 tidak kurang dari 253 Kepala Daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi (ICW, 2022).

Maraknya politik uang di Indonesia di atas bak fenomena gunung es. Salah satu penyebab korupsi yang melibatkan para kepala daerah adalah karena tingginya biaya politik. Berdasarkan data dari ICW (2018) mahalnya biaya politik menimbulkan dua hal. Pertama, politik uang dalam bentuk mahar politik. Kedua, jual beli suara. Dalam kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota dan gubernur membutuhkan biaya sebesar 20-100 miliar. Sedangkan pendapatan rata-rata kepala daerah selama satu periode hanya sekitar 5 miliar (ICW, 2022).

Dampak lain dari politik transaksional adalah para kandidat yang memiliki dana besar dipastikan mendulang suara yang besar pula saat pemilu. Karena mereka dapat menggunakan modus lain seperti memberikan uang tunai, sembako, baju, sumbangan tempat ibadah dan sebagainya. Padahal kandidat yang punya dana besar belum tentu memiliki kapasitas dan mutu. Sebaliknya kandidat yang bermutu tetapi tidak memiliki dana dapat tersingkir dan tidak mendapat suara signifikan karena mahar politik yang cukup mahal. Walhasil, menurut Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz (2016), pemilu tidak menciptakan pemimpin yang berpihak kepada masyarakat. Sebab, seleksi pemimpin lahir dari proses politik transaksional. Dan lebih parah lagi, saat kandidat yang terpilih dari cara-cara transaksional akan mengikuti arah kebijakan orang yang memberi dana pada saat dia mengikuti pemilu. Pada titik inilah wajah demokrasi di Indonesia semakin memudar akibat dari kepungan politik transaksional yang mewabah.

Berangkat dari pelbagai permasalahan di atas dibutuhkan solusi konkret. Menurut hemat penulis, beberapa solusi yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Pertama, kampanye politik gagasan dan menolak politik transaksional. Dalam pemilu politik transaksional adalah penyakit demokrasi sementara politik gagasan adalah obatnya. Politik gagasan harus menjadi bahan atau materi dalam kampanye setiap kandidat. Masyarakat harus memilih kandidat yang memiliki ide, gagasan, pemikiran, visi dan misi yang jelas untuk menjembatani dan mengawal kepentingan mereka jika terpilih sebagai pejabat negara. Karena dengan ide dan gagasan inilah para kandidat akan diuji layak atau tidak menjadi pemimpin. Tentu kampanye politik gagasan menjadi tanggungjawab semua pihak yaitu penyelenggara pemilu, pengawas, peserta pemilu, partai politik dan elemen lainnya.

Kedua, penyelenggara dan pengawas pemilu yang berintegritas dan berkompeten. Salah satu syarat terciptanya pemilu yang bermartabat adalah ketika para penyelenggara dan pengawas pemilu menjaga integritas dan memiliki kualifikasi. Bagaimana mungkin pemilu dapat berjalan secara baik jika penyelenggara dan pengawas pemilu tidak menjaga independensinya. Penyelenggara dan pengawas pemilu harus menjadi role model dan garda terdepan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai koridor. Tidak boleh berat sebelah terhadap partai dan kandidat manapun. Dengan begitu, maka demokrasi kita akan semakin baik dan mengalami peningkatan.

Ketiga, birokrasi yang netral. Yang dimaksud birokrasi adalah seluruh stake holders yang berada di pemerintahan tidak terjun bebas dalam politik praktis. Mereka tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Undang-undang untuk netral dalam setiap pemilu. Sebab, pada kenyatannya dalam banyak kasus para ASN dalam setiap pemilu terdapat berpolitik praktis dengan cara mendukung salah satu calon atau kandidat baik di ranah legislatif maupun eksekutif. Ini tentu tindakan tidak terpuji, berbahaya dan menggerogoti integritas dan netralitas.

Keempat, aturan yang jelas dan tegas. Penegakkan hukum yang jelas dan tegas wajib dilakukan demi perbaikan demokrasi dan kualitas pemimpin. Sebab, menjelang pemilu bahkan waktu pencoblosan banyak terjadi permasalahan di lapangan, seperti politik uang, politik identitas hingga jual beli suara pascapencobolsan. Akan tetapi, dalam praktiknya pihak-pihak yang menabrak aturan ini masih mudah dan leluasa terbebas dari jeratan hukum. Pada titik inilah nadi penegakkan hukum harus dihidupkan kembali agar penyakit demokrasi kita dapat sembuh total. (*)