Opini  

Kehidupan Perempuan Galela

Perempuan Galela tampak menggendong keranjang (saloi) untuk membawa hasil kebun. (Zain Bani Abdurrakhim)

Oleh: Muhammad Diadi

Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyinga

PEREMPUAN dalam pandangan orang Galela dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri), sedangkan laki-laki dianggap sebagai pemegang unsur nama atau harga diri (o gurumini). Kedua unsur tersebut, o gikiri dan o gurumini, bersama-sama unsur tubuh (o rohe) merupakan satu kesatuan unsur yang menandai keberadaan manusia.

Alasan yang dipakai orang Galela melihat dua unsur ini adalah bahwa perempuan memiliki rahim sebagai wadah, atau tempat persemaian bibit kehidupan dari laki-laki, serta air susu yang dapat menghidupi, dianggap sebagai pemberi sekaligus menyebar kehidupan. Perempuan juga dianggap sebagai lambang kesuburan. Sedangkan laki-laki yang memproduksi sperma, atau zat hidup, dianggap sebagai pemilik, dan penguasa kehidupan (Visser 1994:117-118).

Perempuan mengatur rumah tangganya serta membuat makanan untuk anak dan suaminya. Perempuan Galela biasanya menanam pisang, kentang, jagung, padi dan sayur-sayuran. Sedangkan kaum pria pergi berburu (Galela; o dhiha), pergi mengambil sagu (Galela; o peda) dan memancing (Galela: o hau) ikan di danau serta di laut. Hasil buruan dan mancing serta tanaman yang sudah dipanen, dimasak oleh kaum perempuan, cara memasak paling sering dilakukan dipanggang, direbus, digoreng dengan minyak kelapa serta nasi dan sagu harus disiapkan.

Mereka makan biasa dua kali sehari yaitu pukul setengah sepuluh pagi dan pukul setengah tujuh malam, para perempuan juga mengjaga bahan makanan agar dapat bertahan lama, di mana masyarakat Galela masih menggunakan sistem barter (Galela; tagi tagali moroi) dan kebanyakan dipraktekkan oleh kaum perempuan sebagai bentuk rasa kekeluargaan.

Pakaian dan kain yang dipakai oleh perempuan umumnya mereka memakai kebaya berwarna putih, sedangkan kain yang dipakai berwarna merah, orange, kuning, biru muda, biru tua, ungu. Sedangkan laki-laki memakai kain berwarna hitam dan merah serta penutup/pengikat kepalanya memakai warna merah, kuning, biru, hijau dan hitam. Pakaian atau kain didapat dari hasil pertukaran dengan para pedagang Arab, Cina dan Jawa yang berada di bawah kontrol kesultanan Ternate, sedangkan orang Alifuru Galela kebanyakan memakai sabeba yang terbuat dari kulit pohon serta perempuannya masih bertelanjang dada, mereka kebanyakan menetap di pedalaman hutan.

Para perempuan Galela menghiasi tubuhnya dengan cara melukis telapak tangan dan kaki berwarna merah dengan pewarna dari alam, mereka memakai konde serta sisir dengan corak/motif kura-kura dan bunga serta menaruh bunga berwarna hijau di telinga. Rambut mereka sangat panjang diikat pada tengkuk kepala, mereka sangat menjaga kehalusan rambutnya dengan menggunakan santang kelapa (Galela; o joho), kalung mutiara dan perak dari Belanda dihiasi di leher mereka. Tak hanya itu, sabuk pinggang mereka berwarna merah sebanyak tiga kain yang dililiti oleh koin perak agak besar, mereka juga memakai gelang perak dan cincin serta gelang kaki dari perak dan sebuah mahkota dari perak yang dipakai di kepala, mereka juga memakai anting emas dalam setiap acara panen padi atau acara adat lainnya.

Untuk perempuan yang sudah menikah sangat dihormati dan dijaga oleh suaminya. Perlakuan kasar terhadap istri bahkan kata kasar terhadap istrinya dapat menyebabkan dia kembali pada orang tuanya karena perempuan di anggap sebagai pemegang nyawa sehingga ketika suaminya ingin mengembalikannya ke rumahnya, maka harus dibayar denda (Galela; o bobangi) dan hingga rasa sakit hati istrinya hilang baru bisa dia kembali.

Wanita Galela tidak dijual apalagi dijadikan pelacur. Para lelaki Galela selalu menjaga dan melindungi istrinya baik di saat mereka bersama-sama pergi ke hutan serta melakukan perjalanan laut. Para istri juga sangat patut kepada suaminya. Sering terjadi peperangan antara suku terutama dengan suku Tobaru dan Tobelo ketika mereka meminang (Galela, o suku) kepada perempuan Galela. Jika mahar kawin tidak lengkap persyaratannya, maka hal itu dianggap sebagai pelecehan adat oleh masyarakat Galela dan akan terjadi saling membunuh antara suku. Mereka (Galela) sangat menjaga adat terutama anak perempuan mereka jika terjadi kesalahpahaman, maka mereka sering melakukan denda dan jika mereka mendapati anak perempuan mereka berzina, maka mereka akan membunuhnya (Baarda 1893:38-45).

Perempuan-perempuan Galela sangat taat kepada suami serta kedua orang tua mereka, rela mengikuti suaminya ke mana saja jika diizinkan. Mereka juga sangat mencintai anak-anaknya, merawatnya dengan kasih sayang walaupun nada mereka agak kasar ketika memanggil anak-anak mereka.

Perempuan Galela, mereka memiliki postur badan agak tinggi, terlihat cantik, memiliki rambut yang panjang walaupun mereka tidak terlalu banyak bicara, namun mereka sering menyanyikan lagu-lagu dengan bahasa Galela ketika menidurkan anak-anak mereka. Ketahanan tubuh mereka sangat kuat bahkan mereka mampu memikul bahan makanan yang ditaruh dalam keranjang besar maupun kecil (saloi/palaudi) dari kebun mereka yang jauh dari pemukiman.

Mereka juga digambarkan sangat berani ketika suku-suku lain menyerang pemukimannya mereka akan waspada untuk menjaga anak-anaknya bahkan mereka mengikuti suaminya ketika pergi berlayar jauh. Ada sebuah tradisi tentang kelahiran anak di mana ketika anak mereka lahir, mereka akan berteriak “Salawako atau Ta’ito“. Jika anak perempuan mereka lahir, akan menjawab Salawako. Sedangkan jika yang lahir anak laki-laki, mereka akan menjawab Ta’ito, ada juga yang menjawab Saloi (perempuan) dan Palaudi (laki-laki).

Perempuan Galela diibaratkan seperti Saloi, di mana bentuk saloi digambarkan sebagai tubuh perempuan, di mana bentuk kerucut saloi yang kecil (bagian bawah) dijadikan simbol kehormatan perempuan Galela yang harus dijaga serta keterbukaan saloi (bagian atas) disimbolkan sebagai keterbukaan hati perempuan Galela.

Dalam pembuatan rumah, perempuan berhak sepenuhnya atas rumah yang ditempatinya. Ketika rumah dibangun, pintu masuk rumah harus seukuran atau selebar ukuran panjang tangan perempuan yang direggakkan. Perempuan Galela juga dijadikan simbol keperkasaan suaminya ketika saat suami berangkat berlayar, di mana para istri mengikat sehelai rambutnya di perahu milik suaminya sebagai syarat keselamatan suaminya ketika berada di laut dan akan cepat pulang menemui anak-anak mereka (Eerde 1896:45). (*)