TERNATE, NUANSA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Maluku Utara bekerja sama dengan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Wilayah Maluku Utara menggelar Psikoedukasi Warisan Pengasuhan dan Memahami emosi anak, di Kelurahan Bastiong Karance, Kota Ternate, Minggu (17/9).
Kegiatan ini bertujuan agar dapat memberikan edukasi atau pengetahuan kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memahami hal-hal apa saja yang perlu disiapkan ketika menjadi orang tua, baik secara fisik maupun psikis. Selain itu, memberikan edukasi atau pengetahuan kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memahami dan mengenali emosi anak. Hal ini menjadi salah satu cara untuk pencegahan terjadi kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Maluku Utara khususnya di Kota Ternate.
Kegiatan tersebut diawali dengan pemberian icebreaking konsentrasi kurang lebih selama 5 menit di awal kegiatan. Hal ini dilakukan untuk mencairkan suasana sebelum kegiatan inti dimulai. Peserta yang hadir pada kegiatan ini sekitar 30 orang ibu-ibu.
Sebelum pemaparan materi dari tim, beberapa peserta diminta menyampaikan pendapatnya terkait tema warisan pengasuhan. Ada 2 peserta yang menyampaikan pendapatnya terkait warisan pengasuhan mereka, salah satu peserta bernama Ose Rahayu.
“Saya sudah memiliki cucu, saya rasa sudah terlambat, karena saya berpikir saya sudah memberikan pola asuh yang baik, namun ternyata hasilnya tidak begitu. Dengan adanya kegiatan ini saya berharap bisa membantu saya dan saya sangat mendukung,” ucap Ose sembari berusaha menahan air matanya. Tampak ada beberapa peserta yang ada disampingnya juga menahan tangis
Peserta kedua yang bernama Ida Redjeb juga menyampaikan pendapatnya terkait tema kegiatan. “Saya adalah keluarga dengan orang tua broken home, tetapi saya menyadari dan ingin memperbaiki diri saya dan keluarga saya, sehingga saya tidak mau anak saya merasakan hal yang saya rasakan dulu,” kata dia, seraya meneteskan air mata saat menceritakan peristiwa di masa lalunya.
Dalam proses sesi warisan pengasuhan ini tujuannya yaitu peserta mampu merefleksikan hal-hal penting, yakni melihat ke masa lalu dengan penuh kasih saying, mengungkapkan kritik batin diri sendiri yang mengganggu diri mereka, dan memori masa kecil yang mempengaruhi pola asuh mereka.
Selama kegiatan berlangsung, peserta tampak antusias mengikuti kegiatan psikoedukasi yang dilakukan. Hal ini terlihat dari antusias peserta, baik dalam sharing pengalaman ataupun mengajukan pertanyaan. Kegiatan sharing pengalaman dilakukan dengan cara latihan (kegiatan refleksi) dengan menuliskan peristiwa di masa lalu. Misalnya ketika mereka memarahi anak-anak di rumah, apa yang terjadi pada diri mereka saat mereka sesusia anak-anaknya.
Respons yang diberikan dari peserta kebanyakan adalah perlakuan yang mereka berikan ke anak, mirip dengan apa yang mereka terima di masa lalu. Misalnya saat mereka berteriak ke anak, berkata kasar atau memberikan hukuman secara fisik. Respons peserta memang beragam, beberapa peserta yang menyampaikan bahwa warisan pengasuhan yang kurang baik dari orang tua mereka terdahulu sudah mereka putuskan mata rantainya.
Misalnya saja yang diungkapkan oleh Ibu As. ”Pengalaman saya dulu ingin menjadi seorang polwan, namun terkendala biaya. Sekarang saya tidak ingin cita-cita anak saya terhalang oleh kami dan Alhamdulillah anak saya bisa menjadi polisi karena dukungan suami saya juga, saya paham apa yang dirasakan anak saya karena saya pernah merasakan hal yang sama. Oleh karena itu kami sebagai orang tua berusaha sampai akhirnya cita-cita anak saya tercapai,” ujarnya.
Pengalaman lainnya juga disampaikan oleh salah satu peserta yang Bernama Ida Redjeb. Yang bersangkutan menyampaikan bahwa anaknya adalah keluarga broken home dan hubungan dengan ayahnya kurang baik, ada pengalaman trauma yang dialami oleh anaknya sehingga kondisi emosional anaknya seringkali tidak stabil. Yang bersangkutan bercerita dengan tangisan. Peserta yang berada disampingnya berusaha menguatkannya.
Selain antusias, peserta yang tampak dari keterbukaan mereka menyampaikan kisah hidupnya masing-masing, temuan lainnya yang masih menjadi tantangan bagi orang tua di Kelurahan Bastiong Karance, yaitu masih menganggap hukuman fisik sebagai hal yang wajar, ketidakmampuan dalam mengelola emosi sehingga berdampak pada pengasuhan anak, perlu adanya kegiatan refleksi yang lebih banyak untuk memperbaiki kualitas pengasuhan.
Perilaku tersebut membutuhkan komitmen bagi orang tua untuk diterapkan dengan konsisten agar dapat mendukung peningkatan kualitas pengasuhan, mengelola emosi yang dirasakan, serta merespons perilaku anak secara tepat sesuai dengan kondisi anak saat ini, bukan dari bayang-bayang masa lalu yang belum tuntas.
Sebagaimana diketahui, pengasuhan adalah perjalanan dengan tujuan jangka panjang, tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya. Meskipun dalam perjalanan pengasuhan terkadang ditemukan tantangan-tantangan yang berbeda pada setiap orang. Ada yang mampu melewati tantangan tersebut dengan baik, namun tidak sedikit yang menyerah di tengah perjalanannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi permasalahan tersebut, di antaranya kurangnya ketidaksiapan menjadi orang tua, terbatasnya pengetahuan, pemahaman serta keterampilan terkait pengasuhan yang efektif, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kondisi baru sebagai orang tua dan yang paling salah kaprah adalah mewarisi pola pengasuhan dari orang tua terdahulu tanpa mengevaluasi dan melihat kebutuhan anak saat ini.
Warisan pengasuhan (parental/family legacies) adalah seperangkat keyakinan, nilai-nilai dan sikap yang diturunkan dari generasi ke generasi, melalui pesan-pesan yang diterima anak dari orang tuanya. Keyakinan dan nilai-nilai tersebut seringkali disampaikan tanpa disadari dan tidak direfleksikan, sehingga keyakinan tersebut bisa diterima secara membabi buta tanpa menyaringnya dengan bijak.
Akibatnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik akan ditelan mentah-mentah oleh anak dan akan diteruskan pada generasi berikutnya. Tentu saja internalisasi warisan pengasuhan tidak hanya negatifnya saja tetapi juga warisan pengasuhan yang positif .
Warisan pengasuhan yang positif ialah warisan yang penuh dengan penghargaan antar anggota keluarga, bertindak secara sadar dan sehat, dan warisan tersebut mampu mengembangkan individu ke arah yang lebih baik. Contohnya adalah menghargai pendapat anak, mendorong anak untuk mampu menghadapi masalah, serta memberikan perlindungan kepada anak jika ia mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.
Sebaliknya, warisan pengasuhan yang negatif adalah warisan yang berisi nilai-nilai kekerasan, rendahnya nilai-nilai moral serta tidak menghargai kehadiran anak. Misalnya saja, kita mungkin saja dibesarkan oleh orang tua yang sangat ketat dalam disiplin dengan cara menghukum, tidak menghargai sudut pandang anak atau bahkan menggunakan kata-kata kasar sebagai bentuk dari disiplin.
Warisan pengasuhan negatif inilah yang harus diputuskan mata rantainya sehingga pada generasi berikutnya mereka tidak perlu mencicipi pola pengasuhan yang negatif, karena faktanya 70% konflik psikologis orang dewasa berawal dari masa kanak-kanak dan remaja.
Inti dari parenting (pengasuhan anak) adalah hubungan yang kita jalin dengan anak. Jika manusia diibaratkan tanaman, maka hubungan adalah tanahnya. Hubungan akan mendukung, memelihara, memungkinkan pertumbuhan atau bahkan menghambatnya. Tanpa hubungan yang bisa dijadikan sandaran, anak tidak akan memiliki rasa aman.
Oleh karena itu, pendekatan pengasuhan sifatnya adalah long-term view (pendekatan jangka panjang) bukan pada pendekatan tips and trick approach (pendekatan tips dan trik). Berbicara soal warisan pengasuhan, tantangan yang paling besar adalah bagaimana keadaan keluarga tersebut, baik secara ekonomi, pengasuhan anak, pendidikan, pekerjaan, minimnya waktu dan tentu saja masih banyak daftar panjang yang harus dihadapi oleh setiap keluarga.
Dari semua tantangan yang disebutkan, salah satu hal yang paling menjadi penentu adalah apa yang kita berikan kepada anak-anak saat mereka masih bayi dan anak-anak. Sadar atau tanpa kita sadari kita seringkali memperlakukan anak kita sebagaimana orang tua kita memperlakukan kita di waktu dulu.
Tentu saja jika perlakuan yang diterima oleh anak membuatnya merasa diterima, dihargai dan dicintai, maka tentu tidak menjadi masalah. Namun, yang terjadi perlakuan yang kita berikan justru memberikan efek sebaliknya, misalnya umpatan, hukuman fisik dan tindakan pelanggaran lainnya. Kita hanyalah mata rantai dalam rantai yang terentang panjang selama berabad-abad, entah hingga kapan akan berakhir.
Sebagai orang dewasa, kita tentu perlu merefleksikan diri dengan menelaah apa yang terjadi pada diri kita, bagaimana perasaan kita saat itu, sehingga kita bisa berdamai dengan masa kanak-kanak kita. Barangkali hal ini akan memberikan ketidaknyamanan secara emosional, namun kita perlu menjadi lebih peka terhadap rasa ketidaknyamanan itu, supaya ke depannya kita lebih waspada dan tidak melakukannya lagi.
Dengan demikian, respons atau reaksi kita terhadap anak-anak kita saat itu apakah sudah sesuai pada situasi saat ini ataukah berakar dari masa lalu kita. Mari bersama-sama kita renungkan. (tan)