Oleh: Firdaus Muhidin
Sekum KAMMI Komisariat IAIN Ternate
TERUSIK alam pikiran masyarakat secara umum ketika mendengar tujuh huruf di dalam sistem pemerintahan kita yang sering kita sebutkan dengan “politik”. Politik bagi masyarakat adalah anjing menggonggong yang melacak keberadaan mangsa atau objek tujuannya, ada perasaan menduga tidak beres dengan pemimpin-pemimpin kita di negeri ini yang sebetulnya apa yang diinginkan oleh mereka bila telah berada di simpul kekuasan politik? Apakah mereka seperti membawa misi politik temporal, atau politik egoisme, atau politik individulisme. Dari semua itu untuk memperkaya diri atau politik bawaan dari masyarakat, politik universal yang membawa cita-cita besar kepentingan seluruh masyarakat tanpa harus membeda-bedakan antara satu dengan yang lainya sebagai kehendak Ilahi yang ada diisi dadanya, bukan isi kepala dan nafsunya.
Politik seringkali dinisbatkan sebagai suatu hal yang amat kotor yang dikaitkan dengan pejabat publik yang sering dianggap menyimpang dari sistem politik kita yang melakukan korupsi. Korupsi ini yang mengotori atau memperkeruh politik kita baik secara personal “khusus” dan universal “umum”. Terkait dengan korupsi dianggap sebagai sesuatu yang menjengkelkan oleh sebagian kelompok atau bahkan seluruh masyarakat karena memberikan efek atau akibat yang memburuk seperti korupsi mengungkapkan bahwa khususnya orang dalam otoritas menunjukkan perilaku tidak jujur, korupsi merupakan tindakan atau akibat yang membuat seseorang berubah dari standar perilaku bermoral menjadi perilaku amoral, dan korupsi mengungkapkan perubahan atau diubah secara progresif kepada keburukan.
Sebut saja, satu minggu yang lalu tepatnya pada hari Senin (11/9/2023) dalam keterangan Kejaksaan Negeri Halmahera Barat, Maluku Utara, menetapkan satu tersangka dalam kasus korupsi penggelembungan nilai harga jual beli lahan. Tersangka merupakan mantan kepala UPTD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara cabang Jailolo yakni bernama Ramli. Dan masih banyak rentetan kasus-kasus korupsi lainnya di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Masalah korupsi yang terus bergulir merupakan suatu hal yang mengerikan di setiap tahunan.
Praktek dalam perlakukan korupsi yang dilakukan pejabat memanfaat kekuasaan untuk melakukan kalkulasi harga proyek untuk meraih keuntungan pribadi menjadi sesuatu familiyar sering terjadi di sektor pemerintahan baik itu di sektor pemerintah desa oleh kepala desa sendiri serta perangkatnya, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, pemerintah provinsi serta pemerintah pusat. Lantas perilaku seperti ini bila terus dibiarkankan nyatanya merusak sistem pemerintahan kita. Teori Ramize Torrez menyatakan bahwa korupsi adalah kejatahan kalkulasi atau perhitungan bukan hanya sekedar keinginan. Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dan lebih besar dari hukuman yang di dapat serta kemungkinan tertangkapnya yang relative kecil.
Selanjutnya juga dikatakan menurut Jack Bologne akar penyebab korupsi ada empat yaitu; pertama, keserakahan, berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada pada diri setiap orang. Kedua, kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Ketiga, kebutuhan, berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya. Keempat, pengungkapan, berkaitan dengan tindakan-tindakan atau hukuman yang tidak memberi efek jera pelaku maupun masyarakat pada umumnya. (Bambang Waluyo, 2014:174).
Hal semacam ini telah memberikan efek negatif bagi sistem politik kita, bila hal itu terus berlanjut maka hilanglah kepercayaan masyarakat kita terhadap pemimpin-pmimpin kita di dunia politik, khususnya orang percaya untuk mengedepankan nilai-nilai kebangsaan. Dunia politik yang penuh misteri Ilahi yang sulit diberantas yakni terkait dengan korupsi yang terus merajalela yang kemudian itu telah merusak nilai-nilai kebangsaan kita.
Oleh karena itu, penguatan politik yang berdasarkan korupsi “hantu politik” yang merugikan keadilan manusia merupakan potret diri dari pergulatan politikus yang sengaja bernaluri rakus dari sebuah potret manusia yang tidak bisa membawa keadilan sosial. Tindakan semacam ini melampaui ambang batas bagi orang yang berpendidikan tinggi menunjukkan hal ini tidak hanya tampak bodoh, korup, dan tak bermoral, tetapi juga munafik.
Karena korupsi merupakan masalah yang serius di Indonesia. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi. Maka di dalam konteks Islam membenarkan bahwa ibadah kepada Tuhan harus berkolerasi dengan perilaku kepada alam dan seluruh isinya, yang merupakan ciptaan Tuhan. Artinya, makin seseorang beriddah kepada Tuhan, maka makin baik pula perilaku orang tersebut kepada sesama manusia.
Politik korupsi merupakan tindakan yang sangat buruk, bukan hanya pada dirinya tetapi juga pada orang lain. Perilaku korupsi adalah tindakan memiskinkan rakyat Indonesia. Sebab kelaparan dan kemelaratan selalu terjadi di antara sumber daya alam yang melimpah, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lainya. Korupsi juga memberikan ancaman yang seirus terhadap stabilitas dan keamanan yang dapat melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakkan supremasi hukum. Acemoglu dan Robinson yang meneliti negara-negara miskin dan negara-negara makmur, menyatakan bahwa institusi politik ekonomi suatu negara menjadi penentu.
Berbagai strategi stakeholder yang dilakukan dalam optimalisasi pemberantasan korupsi merupakan jawaban yang tepat dalam menyikapi maraknya perilaku korup dan korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi membawa dampak positif yang meluas bagi rakyat, bangsa dan negara.
Maka solusinya saya sebagai anak muda yang berupaya melihat sisi positifnya adalah memiskinkan secara merata pejabat yang telah melakukan perilaku korupsi agar supaya merasakan kembali betapa bobrokya perilaku korupsi yang dilakukannya. Hal ini bagi pelaku korupsi akan menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh dari korupsi tidak sebanding dengan penderitaan yang akan diterimanya (menyesal sampai tujuh keturunan). Dengan tumbuhnya kesadaran seperti itu, maka ada harapan mampu membentuk sikap, perilaku, dan mental masyarakat anti korupsi. Kondisi demikian juga idealnya diperkuat dengan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai kebangsaan, pancasila, dan nasionalisme kemasyarakatan dan keindonesiaan kita.
Di lain sisi juga adanya berbagai ketentuan, yang kemudian dibuatnya kesepakatan bersama untuk memperkokoh keterpaduan dan kebersamaan dalam pemberantasan korupsi, pada giliranya akan membawa dampak positif dalam mengoptimalkan pemberantasan korupsi di berbagai sektor yang ada. Yang tidak kalah penting juga adalah komitmen penegak hukum dalam menjalankan hukum dengan tegas, konsisten dan terpadu agar mampu menghasilkan penegakan hukum yang berkeadilan, memberikan kepastian hukum, dan dapat memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Dengan sanksi-sanksi yang berat kepada pelaku korupsi, yakni sanksi pidana, denda, uang pengganti, dan sanksi sosial, memiskinkanya. Dengan demikian operasionalisasi pemberantasan korupsi dilakukan secara komprehemsif, integral, dan holistik untuk mengembalikan nilai-nilai sosial kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memberikan dampak positif lainya yang amat sangat penting. Wallahu ‘alam bishawab. (*)