Opini  

Tagute, Sowamogiowo dan Galela

Sangaji dan Kepala Kampung di Galela, Halmahera pada 1822. (Istimewa)

Oleh: Muhammad Diadi

Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyinga

KAMPUNG/wilayah Galela untuk pertama kali disebutkan dalam sumber Bangsa Asing pada tahun 1543. Pada tahun itu Galela dikalahkan oleh pasukan gabungan Gam Konora, Ternate, Portugis. Sebagai akibat dari kekalahan ini, orang Galela harus mengakui kekuasaan Sangaji Gam Konora Leliato, ipar laki-laki Sultan Khairun Ternate (Ch. F. van Fraassen 1979:1).

Sebelum dicaplok menjadi Vasal oleh Kesultanan Ternate, terjadi perang yang terus-menerus antar orang Galela dan Kesultanan Ternate yang selalu dimenangkan oleh kubu Galela. Namun ketika Bangsa Portugis dan Gamkonora bergabung, maka kemenangan berpihak pada Kesultanan Ternate.

Tahun 1858 ada informasi dari dewan Ternate (Ternaten Court) yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu ada tujuh negeri kecil (petty states) yang independen di jazirah utara Halmahera, yaitu Jailolo dan Loloda. Masing-masing di bawah seorang Kolano, Sahu, Tobaru, Tolofuo dan Kau (Kao) di bawah seorang sangaji dan Tobelo serta Galela yang merupakan kampung-kampung yang besar yang memiliki pemerintahan sendiri dan independen dari Gamkonora.

Jauh sebelum bernama Galela, suku yang mendiami utara Halmahera dikenal sebagai Soa Mogiowo yaitu sepuluh soa, yang terpisah-pisah dengan penduduk Islam di bagian pesisir yang digolongkan sebagai Soasio, yaitu sembilan soa. Sepuluh soa dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri dari lima soa.

Yang pasti, kelompok lima berganda yang saling terpisah ini telah ada, paling kurang antara akhir abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 (Ch. F. van Fraassen 1979:6).

Dalam beberapa sumber baik ditulis oleh peneliti dan misioneris soal nama “Galela”, dengan berbagai versinya, namun memiliki nilai history yang sangat berharga. Sumber-sumber ini nanti akan menjadi rujukkan generasi Galela saat ini untuk lebih mengenal sejarah nama daerahnya.

Di sini, saya coba mengulas sejarah Galela memakai pendekatan ilmu sejarah yang disandingkan dengan beberapa sumber sejarah yang ditulis oleh misioneris dan peneliti. Namun saya lebih membahas soal Galela dalam artian “Meriam“. Alasannya karena Galela dalam konteks “Meriam” lebih bisa saya terima ketimbang Galela dalam konteks “Bunga“.

Mari kita mulai dari “Oral History” yang dikemukakan oleh seorang peneliti bernama J.D.M Platekamp (1993), mengatakan bahwa;

“Orang Galela berasal dari Malaka-Johor (Malaysia) yang di bawah oleh Sultan Pakualam yang bernama Pangeran Wajamin, dari Johor ke Oba (Halmahera). Orang Galela disebut sebagai suku laut yang di mana mereka diberikan tugas untuk mempersenjatai diri mereka dengan “Meriam“.

Lalu seorang misioneris yang bertugas di Halmahera bernama A,L, Fransz (1976) ia mengatakan bahwa;

“Orang-orang yang hidup di utara Halmahera dikenal sebagai Galela berasal dari kata “Lela” yang dalam bahasa melayu disebut Meriam, sehingga wilayah tersebut diberi nama Gasalela (Membawa Meriam).

Begitu juga dengan misioneris Van Baarda (1907) yang saat itu bertugas di Soakonora (Galela), ia menulis dalam kamusnya Belanda-Galela soal cerita penamaan Galela sebagai berikut;

“Raja Bacan memiliki prajurit yang handal di laut, lalu ia memberi mereka penamaan kepada mereka sesuai dengan pekerjaan mereka di atas perahu Raja. Orang Galela ditugaskan untuk menjaga meriam raja di atas kapal sehingga mereka diberi nama Lela (lila), sedangkan orang Tobelo ditugaskan menjaga tali kapal (jangkar) sehingga mereka diberi nama Belo (To-belo) dan orang Tobaru ditugaskan untuk membuat layar dari kain sehingga mereka diberi nama Baru’o (To-Baru)”.

Seorang penulis lokal dari Galela bernama Yosafat (2012) juga menulis nama Galea denga versinya yang lebih ke pengaruh Kesultanan Ternate;

Kata “Galela‟ secara etimologi berasal dari dua kata bahasa Galela, yakni Ga dan Lela. Ga artinya “itu‟, sedangkan lela artinya “meriam‟. Jadi kata “Galela‟ berarti: “Itu Meriam‟.

Ketika Raja Ternate membawah Meriam ke Galela, penduduk pun terperangah. “Ma ga? ma ga?” tanya mereka. Apa itu? Apa itu? “O lela!” tukas si pembawa meriam. Itu meriam. Maka ditetapkanlah nama Galela di tempat itu, yaitu daerah turunnya meriam.

Nama ini diberikan kepada masyarakat Galela pada zaman Kesultanan Ternate, yang dipengaruhi oleh dua faktor pertama, orang Galela pada zaman Kesultanan Ternate sering dijadikan sebagai anggota pasukan utama istana, yang bertugas memegang senjata meriam, karena sikap mereka pemberani. Ketika suku lain melihat orang-orang yang berasal dari suku ini, mereka sering menyebut: ma ga o lela majojoho, yang artinya: mereka itu adalah pemegang meriam.

Kedua, nama itu ditunjuk juga oleh cara menghadap Sultan dan cara melabuhkan perahu. Suku Galela ketika menghadap Sultan Ternate, diperkenankan masuk melalui pintu bagian depan istana, sedangkan suku lain harus melewati pintu bagian belakang atau pintu samping. Sedangkan yang nampak pada cara melabuhkan perahu di pantai, berlaku sebagai berikut: Suku lain ketika melabuhkan perahu, posisi depan perahu harus berbelok dan bagian belakang perahu yang mendarat di bibir pantai. Sedangkan suku Galela umumnya berlaku bagian depan perahu yang mendarat di bibir pantai. Ketika suku lain melihat cara menghadap Sultan dan cara melabuhkan perahu seperti itu, mereka akan tahu dan berkata: ma ga o nyawa o lela ma jojoho, artinya: mereka itu adalah orang-orang pemegang meriam.

Berdasarkan dua faktor itu, maka hingga kini wilayah dimana masyarakat pemegang meriam pada zaman Kesultanan Ternate dan masyarakat yang diperlakukan secara khusus ketika menghadap Sultan, serta masyarakat yang cara melabuhkan perahunya berbeda dengan suku lain di Halmahera tersebut, disebut sebagai wilayah Galela (Yosafat 2012:26-27).

1. Para pedangan Cina pada abad ke-15 menyebutkan Galela sebagai Chien-tzu-chih dan Chih-lo-li serta kata Mi-Liu-ho untuk Maluku (Mills 1979:87,90)

2. Bangsa Portugis menyebut Galela sebagai Galila pada abad ke-16.

3. Seorang pembuat peta dari Belanda Isaac de Graaf pada tahun 1735 menyebut Galela sebagai Galeta.

4. Dalam Bukunya Baarda, MJ. Vab tentang bahasa Galela dan Belanda menyebutkan Galela sebagai Galelareesch yang diterbitkan pada tqhun 1895.

Soa Mogiowo pada abad ke-19 dijadikan sebagai pengelompokkan kampung di wilayah tersebut. Sedangkan pada zaman aman dahulu Sowamogiowo (bukan soa mogiowo) ini berkaitan dengan sistem kepercayaan animisme. Orang Galela mempercayai bahwa semua benda mempunyai jiwa yang mendiami (ima si sowaku, secara leksikal berarti, tinggal atau duduk di sela antara) benda-benda yang kasat mata, seperti kayu besar. Roh-roh ini dapat meninggalkan benda yang ditempatinya, dan pergi ke tempat lain. Karenanya, orang Galela memuja benda-benda yang kasat mata sebagai manifestasi pemujaan kepada roh-roh. Dengan memuja roh-roh yang ada dalam benda, roh tersebut tidak meninggalkan obyek yang ditempatinya, dan tidak mengganggu manusia (Baretta 1917:43-44).

Pada tahun tahun 1662 penduduk Galela diperkirakan berjumlah 100 orang laki-laki dewasa, jadi sekitar 400 atau 500 jiwa. Pada tahun 1858 penduduk Galela diperkirakan berjumlah 4.200 jiwa. Menurut survei tahun 1911 jumlah yang ada di wilayah Galela 4.196 jiwa, terbagi dalam 3.109 orang yang belum beragama, 823 orang Islam dan 264 orang beragama Kristen. Pada tahun 1930 penduduk di wilayah Galela berjumlah 6.174 jiwa dan pada tahun 1971, berjumlah 10.897 jiwa (Fraassen 1979:3-13).

Suku Tagetu (Alifuru), penganut animisme (belum beragama), termasuk suku terasing yang para lelakinya hanya mengenakan cawat dari kulit kayu dan para wanitanya bertelanjang dada. Mereka hidup di bagian pegunungan serta didekat sungai yang berada di wilayah Galela, Halmahera Utara.

Pada tahun 1662, mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak beradab, yang berjumlah kira-kira 100 orang laki-Iaki dewasa (Ch. F. van Fraassen 1979:2).

Berdasarkan data Pemda Maluku tahun 1997, jumlah suku Tagetu sekarang ini tinggal ribuan orang saja, dan terus mengalami penurunan. Suku Tagetu konon masih memiliki hubungan darah dengan penduduk asli Filipina di pulau Moro. Meskipun hingga sekarang masih bertahan hidup di hutan-hutan Halmahera, tapi sebagian dari mereka mulai membaur dengan tinggal di kota-kota kecamatan setelah menganut Kristen melalui ikatan perkawinan dengan penduduk Galela, atau Tobelo yang beragama Kristen (SiaR News Service Fri 14 Jan 2000).

Orang Galela, dengan demikian orang Halmahera dan orang Seram Maluku disebut orang Alifuru. Adalah orang Portugis dan Spanyol yang pertama tiba di daerah ini, memberi nama Haraforo kepada penduduk asli pulau Halmahera dan Seram. Haraforo berarti penduduk atau masyarakat yang belum beradab. Pada masa selanjutnya, muncul istilah Alifuru yang berarti suku bangsa yang mendiami pulau Halmahera,Morotai, Buru,Seram dan Kepulauan Banggai yang belum beragama.

Pada tahap berikutnya, Alifuru diartikan dengan sisa-sisa manusia purba yang mendiami kepulauan Nusantara yang makin terdesak oleh suku bangsa lain yang datang (Beretta 1917:37).

Dengan demikian, Alifuru bukan merupakan suatu kesatuan baik ditinjau dari segi geografis maupun linguistik. Kecuali Alifuru dari Sahu, penduduk Halmahera dan Morotai, tergolong masih suka mengembara. Pola hidup mengembara merupakan karakteristik mereka.

Penyebab pola hidup berpindah, menurut Baretta, karena letusan gunung api, penyakit menular, extirpasi perkebunan pala/cengkih, perang antar suku, sistem pemerintahan Ternate-Tidore yang menindas, sistem pertanian berpindah, kepemilikan harta yang sedikit sehingga tidak terikat pada satu tempat, tidak bersedia membayar pajak,dan karena mencari damar dan sagu yang menuntut mereka berlama-lama di hutan daripada membina keluarga (Baretta 1917:42).

Mungkin karena itu hingga tahun 1915, penduduk Galela hanya 4.139 jiwa. Angka yang mengacu pada registrasi pajak ini masih diragukan karena hanya mencatat laki-laki dewasa. Perempuan dan anak-anak tidak tercatat (M.Tonirio 2016:60).

Kesimpulan dari ulasan ini kita dapat mengetahui sejarah nama Suku dari Galela yaitu Tagute di Halmahera Utara, sehingga kita dapat lebih mendalami dan memahami tentang sejarah Galela khususnya di Halmahera yang ke depannya akan mendorong kita serta generasi Galela agar tidak melupakan sejarah negerinya sendiri. (*)