Daerah  

Dinas PPPA dan Himpsi Malut Beri Tips Disiplinkan Anak tanpa Ancaman

Dinas PPPA dan Himpsi Malut menggelar kegiatan psikoedukasi dan konseling membangun disiplin positif mendisiplinkan anak tanpa ancaman. (Istimewa)

TERNATE, NUANSA – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Maluku Utara bekerja sama dengan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Wilayah Maluku Utara menggelar kegiatan psikoedukasi dan konseling membangun disiplin positif mendisplinkan anak tanpa ancaman, di Kelurahan Bastiong Karance, Kota Ternate, Sabtu (30/9).

Kegiatan tersebut bertujuan agar dapat memberikan edukasi/pengetahuan dan konseling kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memahami hal-hal apa saja yang perlu disiapkan dengan ilmu disiplin positif kepada anak-anak baik secara fisik maupun psikis. Hal ini menjadi salah satu cara untuk pencegahan terjadi kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Maluku Utara khususnya di Kota Ternate.

Kegiatan ini diawali dengan psikoedukasi selama 15 menit sebagai pengantar materi di awal kegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok dan konseling individual di lokasi pertama dan kedua. Peserta yang hadir pada kegiatan ini sekitar 30 orang, di antaranya orang tua dan anak remaja.

Sebelum pemaparan materi dari tim, beberapa peserta diminta menyampaikan pendapatnya terkait tema apa itu disiplin positif? Disiplin positif adalah cara kita memberi aturan kepada anak tanpa ancaman, menumbuhkan kesadaran dan memberdayakan anak agar mandiri tanpa iming-iming hukuman, ancaman, sogokan maupun hadiah.

Penjelasan narasumber sekaligus diskusi dan konseling dengan para ibu dan remaja yakni bagaimana pendekatan terhadap anak yang tidak patuh? Anak kelas 3 SD yang setiap pulang sekolah langsung bermain, ketika ditanya atau diminta untuk makan dulu, si anak menjawab sudah makan di sekolah. Setiap bermain harus dipanggil dulu oleh orang tuanya untuk pulang dengan pemaksaan atau marah-marah barulah si anak patuh.

Narasumber menyampaikan agar membuat aturan, yakni sang ibu boleh membuat jadwal untuk aktivitas anak dari pagi hingga malam untuk setiap harinya. Misal dari bangun subuh untuk salat, kemudian mandi, sarapan dan siap-siap untuk bersekolah. Lalu pulang sekolah anak boleh bermain di luar rumah dan harus pulang pada jam 4 sore. Ketika malam anak harus mengerjakan PR dan tidur pada jam 9. Intinya ibu membuat jadwal yang harus dilakukan si anak dan konsisten untuk diterapkan oleh orang tua baik ibu maupun ayah. Orang tua juga harus menjadi contoh yang baik bagi anak dalam melakukan segala sesuatu atau disiplin dalam bertindak. Misal dalam melaksanakan kewajiban salat bagi muslimin. Jika orang tua melaksanakan salat tepat waktu, maka anak pun akan meniru/mengikuti bahkan tanpa pemaksaan dari orang tua.

Sementara anak tantrum (sesi konseling) dari Nurfidyah S.T mengatakan, anak berusia 10 tahun lebih yang pada Desember tahun ini memasuki usia 11 tahun, si anak dari lahir sudah diperkirakan oleh dokter bahwa sifat anak akan berbeda dengan anak-anak pada umumnya, baik secara emosional hingga tingkah laku dari anak. Hal ini karena sebelum lahir anaknya sudah meminum air ketuban.

Nyatanya dari usia 1 tahun sampai 10 tahun si anak menjadi anak yang tantrum dan agresif. Selain itu, anak menjadi sering emosian, jika orang tua marah maka anak akan berbalik marah ke orang tua dengan nada bicara yang lebih daripada marahnya orang tua terhadap anak. Bahkan menegur saja tidak bisa. Misal, ketika anak sedang makan, lalu ibu menegur agar ia makannya di ruang makan, si anak langsung memecahkan piring yang ada di tangannya.

Anak pun tidak bisa menerima teguran dari siapa pun termasuk orang tuanya. Di saat anak mulai memecahkan barang, ibu merespons hal tersebut dengan pukulan terhadap anak. Si anak juga pernah beberapa kali kasar terhadap teman sekolahnya, sehingga ibunya dipanggil ke sekolah oleh guru. Ibu mulai menyadari bahwa anak selama ini ingin mendapat perhatian lebih dari orang tuanya, namun cara si anak salah yaitu dengan cara memecahkan barang, tantrum, dan kasar terhadap orang-orang yang berani menegurnya.

Orang tua pun demikian, merespons dengan perlakuan yang kasar dengan memukul dan marah-marah yang pada dasarnya bagi ibu hal tersebut merupakan bentuk perhatian dan sayangnya orang tua terhadap anak.

Seharusnya ketika anak tantrum atau melakukan kesalahan seperti memecahkan barang, tidak boleh langsung dipukul karena besoknya anak akan berbuat kesalahan lagi. Jika ini terus berulang, maka anak akan menjadi kebal terhadap perlakuan kasar orang tua dan menganggap hal tersebut merupakan hal yang biasa. Ini juga membuat anak di saat menjadi orang tua kelak, akan agresif atau kasar terhadap anaknya. Hal ini akan terus menjadi lingkaran atau circle yang berkelanjutan.

Kemudian, ada pertanyaan narasumber terhadap salah satu peserta remaja perempuan yang sudah memasuki kelas 2 SMP (usia 13 tahun), bagaimana pandangannya tehadap orang tua? Jawabannya galak, ibu galak, ayah juga lebih galak.

Orang tua marah ke anak sebenarnya baik alias untuk kebaikan anak, tapi anak menerimanya dengan perasaan sedih dan kecewa, yang diingat oleh anak hanya dimarahi atau dibentak saja. Padahal ada kebaikan dibalik marahnya orang tua. Anak yang merasa sedih dan kecewa karena orang tua marah akan menimbulkan perenggangan hubungan antara orang tua dengan anak. Apalagi di saat orang tua marah tidak jarang membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Hal ini jika berkepanjangan bisa membuat anak merasa rendah diri.

Anak perempuan vs ibu (sesi konseling) Jamila Sahil dan Chaerunnisa Ibu menceritakan, pernah suatu hari anaknya ingin menonton kegiatan perlombaan yang diselenggarakan di sekolahnya yaitu SMP Negeri 4 Ternate, yang pada saat itu bersaing dalam lomba dengan SMP Negeri 6 Ternate. Kedua sekolah ini sudah seperti musuh bebuyutan yang siswanya sering berkelahi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, ibu tidak mengizinkan si anak untuk pergi menonton perlombaan tersebut. Terjadilah adu mulut antara ibu dan anak, bahkan si anak dipukul oleh ibunya.

Kembali lagi seperti yang sudah disampaikan tadi, anak jika dimarahi atau dibentak yang diingat marah atau bentakan orang tuanya tersebut. Padahal memang maksud orang tua untuk kebaikan anak. Anak juga pada usia remaja mulai merasa sudah bisa mengambil keputusan sendiri, mulai merasa punya ruang sendiri, lebih senang beraktivitas di luar dengan teman-temannya. Sedangkan orang tua, ketika anak memasuki usia remaja akan muncul ketakutan dan kekhawatiran terhadap anak.

Misal, kekhawatiran akan adanya perkelahian saat perlombaan antar sekolah itu berlangsung atau para ibu di sini yang karena sering mendengar atau menyaksikan anak orang lain baik keluarga atau kerabat dan tetangga terkait kehamilan anak pada usia dini. Tentu hal ini membuat para orang tua terutama ibu menjadi lebih waspada dan disiplin terhadap anak, namun bagi anak perlakuan tersebut merupakan pengekangan terhadap dirinya.

Ibu Mariam Basir, menuturkan anaknya terlalu banyak menonton hp kecanduan dan lebih dari batas jam yang ditentukan, banyak yang lupa waktu. Dibuatkan aturan dan jadwal. Permasalahan ini tentu berdampak pada produktivitas dan kehidupan sehari-hari mereka. Evaluasi sebab-sebab kecanduan tersebut, seperti apakah itu untuk hiburan, pelarian dari masalah, atau pressure.

Diskusikan dampak negatif kecanduan hp pada anak, seperti kurangnya konsentrasi dalam belajar atau interaksi sosial yang kurang. Solusinya, membuat aturan dan jadwal yang seimbang untuk penggunaan hp, dengan memperhatikan batasan waktu yang wajar, dan memberikan saran tentang alternatif kegiatan yang dapat menggantikan waktu yang biasanya digunakan untuk menonton hp, serta diskusikan tentang pentingnya memantau dan memperbarui aturan sesuai dengan perkembangan anak.

Ibu Jamalia Pawane, menceritakan cara mengendalikan suara dan emosi. Permasalahannya ibu memiliki masalah dalam mengendalikan emosi dan reaksi terhadap situasi yang menantang. Narasumber menimpali identifikasi pemicu emosi yang sering memicu reaksi negatif dari Ibu, yakni melatih ibu dalam teknik-teknik relaksasi, seperti pernapasan dalam, meditasi, atau olahraga, untuk membantu mengendalikan emosi.

Ajarkan ibu cara berkomunikasi dengan anak secara efektif dan empatik, sehingga dapat mengurangi konflik. Dorong ibu untuk mencari dukungan dari keluarga, teman, atau konselor untuk membantu mengatasi masalah emosionalnya.

Ibu Mirani Arif ingin anak mematuhi aturan. Permasalahannya orang tua ingin anak-anak patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan. Narasumber merespons harus diskusikan pentingnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak-anak, bantu orang tua untuk mengidentifikasi aturan yang realistis dan adil, yang disusun dengan partisipasi anak-anak.

Ajarkan cara memberikan konsekuensi yang sesuai jika aturan dilanggar, sekaligus memberikan pujian dan penghargaan ketika aturan diikuti, ingatkan orang tua bahwa konsistensi dan kesabaran dalam menerapkan aturan adalah kunci utama dalam mengajarkan anak-anak mematuhi aturan.

Konseling anak (Vurkan) mempertanyakan bagaimana cara menghadapi orang tua yang suka mencari kesalahan anak-anaknya? Jawabannya, orang tua perlu diajak untuk mengikuti edukasi terkait pola asuh yang baik sehingga tidak selalu mencari kesalahan anak, namun cara mengajak anak harus dengan cara yang sopan agar tidak menyinggung perasaan orang tua.

Konseling anak (Farhan) mengaku sering dibanding-bandingkan sama anak yang lain dan jarang komunikasi langsung dengan orang tua. Disarankan untuk membangun komunikasi yang positif dengan orang tua dan komunikasikan dengan cara yang baik dan sopan jika tindakan membanding-bandingkan dengan anak yang lain menyinggung perasaan anak, sehingga orang tua berhenti untuk membanding-bandingkan dengan anak yang lain.

Konseling anak (Ibra) mengaku ingin bebas karena merasa sudah dewasa, sering dimarahi orang tua karena pulang larut malam. Jawabannya, bangun komunikasi dengan orang tua dan tanyakan kepada orang tua alasan orang tua memarahi anak pulang larut malam. Agar anak mengetahui alasan orang tua memarahi dan anak pun menyadari kesalahan dan konsekuensi bertanggug jawab atas kesalahan yang dibuat.

Sebenarnya anak sering menjadi pelampiasan emosi dari ibu. Karena menjadi seorang ibu memang tidak mudah, mulai dari merawat anak, mencuci pakaian, memasak, menyetrika, belum lagi bersih-bersih rumah. Apalagi ditambah dengan perlakuan suami yang kurang perhatian. Ketika ibu merasa lelah karena pekerjaan-pekerjaan tersebut atau ada perasaan marah terhadap suami karena kurangnya perhatian, maka sering kali pelampiasan emosi ibu dilemparkan ke anak.

Hal ini bisa terjadi tanpa disadari oleh seorang ibu. Coba kalau suami bisa memberikan perhatian, minimal dengan bertanya saja kepada istri, “Sudah makan? Lelah ya hari ini?” Jawaban yang akan ibu berikan, itu sudah sedikit mengurangi beban atau rasa lelah ibu karena pekerjaan-pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, bagi ibu-ibu yang sudah mulai merasa ada gejala kurangnya perhatian suami, cobalah diperbaiki hubungan dengan suami, jalin kembali komunikasi yang baik dan yang seharusnya dengan suami.

Kalau ini terjalin dengan baik, coba lihat perubahan dalam rumah tangga ibu. Marah-marahnya ibu akan berkurang, fokus ibu ke anak bisa lebih baik, lelahnya ibu karena pekerjaan rumah akan terasa lebih ringan. Jadi kesimpulan materi hari ini adalah disiplin positif dapat diterapkan dengan cara, membuat aturan dan kesepakatan bersama, aturan yang dibuat secara umum jika dapat diterapkan orang tua, maka aturan tersebut harus berlaku untuk anak maupun orang tua.

Kemudian, menyampaikan konsekuensi jika melanggar aturan tersebut, konsisten terhadap aturan yang sudah diberlakukan, jalin komunikasi yang baik dengan anak maupun suami, dan harus menjadi contoh yang baik.Disiplin positif menurut Jane Nelsen adalah membangun hubungan dan perasaan yang berarti baik dan tegas, efektif dalam jangka panjang mengajarkan keterampilan sosial dan hidup. Menemukan kapabilitas dan menggunakannya secara konstruktif. Disiplin positif bisa diterapkan orang tua dalam menegur anak ketika anak melakukan kesalahan. Metode ini jauh lebih baik dari pada mendisplinkan anak dengan cara memarahi, membentak, berteriak, bahkan memukul.

Kenapa disiplin positif penting diterapkan?

Terkadang sebagai orang tua tentu tidak pernah berniat untuk memarahi dengan cara membentak, memaki, berteriak, dan memukul. Namun pada kenyataannya, sebagai orang tua sering refleks untuk melakukan hal tersebut.

Ini karena ayah dan ibu mungkin sudah lelah, stres, emosi sedang tidak stabil, sedang dalam tekanan, sehingga hal tersebut sering terjadi dan berulang. Lalu ibu dan ayah merasa menyesal, tetapi tidak bisa menghindari situasi seperti itu. Mendisplinkan anak dengan cara seperti itu (keras) bukanlah solusi yang baik.

Kriteria disiplin positif yang perlu orang tua pahami di antaranya bersikap baik dan tegas, bantu anak membangun rasa percaya diri, memiliki pikiran jangka panjang, mmengasah keterampilan sosial (lingkungan sosial pertama keluarga) dan keterampilan hidup.

Sementara itu, cara menerapkan disiplin positif pada anak, yakni memberikan pujian dan dorongan yang positif, merencanakan waktu bersama tanpa distraksi (hanya berdua), membuat ekspektasi yang jelas, dan memberitahu tentang arti sebuah konsekuensi.

Selanjutnya, agar disiplin positif berhasil yaitu orang tua harus konsisten, istirahat yang cukup, sehat mental, orang tua yang bahagia, mengontrol emosi, dan bersyukur. sedangkan contoh perilaku disiplin positif di antaranya membangunkan di pagi hari untuk melaksanakan salat subuh (bagi yang muslim), ketika anak meminta sesuatu harus ada usaha, tidak membiarkan anak pergi terus menerus untuk bermain berkumpul dengan teman-teman, sepulang sekolah pakaian, sepatu, tas dibuat ke tempat yang semestinya, makan duduk bersama (diusahakan), mengerjakan PR dahulu, bermain HP dan menonton televisi ada batasan waktu. (tan)