Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
HIJRAH akhir-akhir ini terdengar telah menjadi istilah popular baik di televisi maupun artikel popular. Konsep hijrah yang dimaksud mengacu pada transformasi gaya hidup berpakaian kurang religius menjadi lebih saleh—Fashion.
Ciri-ciri fenomena ini terlihat di ranah publik Indonesia sejak 2000-an (Dr. Rena Latifa, 2022). Transformasi sosial begitu pesat sekarang ini yang cenderung tidak signifikan diperlukan suatu penguatan kesalehan yang disebut kesalehan sosial.
Istilah hijrah berasal dari hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah dalam rangka melakukan dakwah. Hijrah pun dapat dipahami sebagai konversi dan penyerbarluasan pengetahuan agama.
Konversi dalam pemaknaan hijrah dapat dipahami sebagai perubahan seseorang dari masa lalu yang dianggap buruk ke masa depan yang lebih baik atau religius. Setelah seseorang mencerna, memahami dan menginternalisasi pengetahuan agama yang menurut anggapannya menjamin kehidupan baik menjanjikan: dunia maupun di akhirat.
Sementara penyebarluasan pengetahuan agama lebih pada mereka atau Nabi dan para sahabatnya yang melakukan dakwah. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan praktik-praktik keagamaan. Sehingga hijrah dapat dikatakan sebagai kegiatan fundamental perkembangan agama dan etika sosial kemasyarakatan.
Dari Akademisi ke DPR
Istilah dari pemaknaan hijrah saya gunakan untuk menjelaskan alasan mengapa saya tidak memilih bertahan di dunia akademik, dan, lalu terjun dalam dunia politik praktis: calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ternate.
Salzman (1953) menunjukkan ada dua tipe konversi (hijrah): konversi bertahap dan mendadak. Konversi bertahap ditandai oleh pematangan perkembangan kepribadian seorang individu, cenderung integratif, dan merepresentasikan internalisasi nilai dan tujuan baru dianggap oleh pelaku hijrah berada pada level tinggi serta dapat mempraktiskan tujuan baru tersebut.
Konversi (hijrah) mendadak digambarkan Salzman sebagai solusi “semu” untuk menangani konflik-konflik yang sangat disintegratif. Menurutnya hijrah mendadak disebabkan karena keadaan seperti meningkatnya kecemasan…
Seseorang yang mencari solusi atas permasalahan di hidupnya yang mengalami kecemasan yang mendorong dirinya untuk mencari solusi dan meredakan kecemasannya tersebut (Clark, 1929, Roberts, 1965). Permasalahan dihadapi seseorang yang menimbulkan kecemasan bukan fakta psikologi semata, akan tetapi, lebih pada apa yang disebut sosiolog Durkheim sebagai fakta sosial.
Sebuah kekuatan yang berada di luar individu yang bersifat menekan, memaksa dan mengendalikan. Dan fakta sosial tersebut secara faktual belum mampu menyelesaikan berbagai macam problem seperti misalnya pengangguran, kemiskinan, ekonomi, kesehatan, krisis lingkungan dan persoalan inilah yang menimbulkan kecemasan masyarakat.
Problem sosial mendasarkan ini yang menimbulkan kecemasan dan kegelisahan saya setelah sekian lama bergelut di dunia akademik. Bertahun-tahun lamanya saya bergelut dengan pikiran sendiri dan mengatakan kegiatan akademik itu cukup mulia.
Namun pada suatu ketika kala mengamati problem Kota Ternate yang begitu kompleks, dan akhirnya saya sampai pada suatu kesimpulan—bahwa sebenarnya tidak cukup menjadi akademisi.
Tidak cukup menyelesaikan masalah sosial di belakang meja, bergulat dengan teori-teori bersifat abstraksi. Lalu kemudian saya mematangkan tekad dan niat lalu memutuskan untuk hijrah dari akademisi ke politik praktis: mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ternate.
Tekad dan niat untuk hijrah ke DPRD mungkin bagi sebagian orang terasa mendadak. Tetapi, sesungguhnya telah direncanakan dan bertahap secara integratif. Karena menurut saya bergerak tanpa kematangan pemahaman akademik adalah sesuatu yang nihil.
Sebab, solusi terbaik memecahkan persoalan sosial adalah mempunyai legal otoritas, yang tujuannya adalah mempraktiskan konsep yang saya internalisasikan secara matang di dunia akademik. Secara saintifik, sebuah gagasan, konsep mesti dikawal ketat dalam konteks praktis agar tidak disabotase oleh logika mapan yang disebut sebagai sebuah intervensi. Tujuannya adalah mendorong gerak pemikiran masyarakat dan program pembangunan berkeadilan.
Tekad dan niat untuk hijrah ke dunia politik praktis tak terbatas pada membumikan gagasan, teori, konsep, tetapi sekaligus meluaskan pengetahuan akademik di kalangan masyarakat lapis bawah sebagai alas kesadaran. Sebab problem mendasar kita adalah bukan sekadar bagaimana masyarakat mengetahui melainkan memahami persoalan dengan benar sebagai suatu proses mengubah sikap dan perilaku.
Jalan hijrah yang saya pilih ini beralaskan pada asumsi bahwa: setiap orang berhak untuk bahagia, berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka: pembangunan berkeadilan yang selama ini diabaikan atau krisis keadilan.
Maka solutifnya, adalah mengubah dan memajukan pemahaman mereka tentang akar problem hidup yang mereka hadapi dan untuk masa depan yang mencerahkan. Sehingga bagi saya konsep investasi terbilang relevan untuk diterapkan.
Bersambung…