Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos, M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
INVESTASI merupakan kapital dalam bentuk pemberian seperti sudah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya, bahwa: hak memberi dan kewajiban memberi balik berfungsi sebagai dasar memperkuat struktur kehidupan sosial dan perpolitikan (baca: Investasi, laman nuansamalut.com).
Mangun Wijaya (2014) membagi pengertian politik menjadi dua macam. Pertama, politik dalam arti kekuasaan (konvensional), yaitu mempertahankan dan menjalankan kekuasaan. Inilah yang masyarakat umum selama ini memahaminya, sehingga muncul istilah “politik itu kotor”. Kedua, politik moral, yaitu niat demi kepentingan orang banyak. Inilah arti politik sesungguhnya.
Romo Mangun menjelaskan kalau sampai, politisi, pejabat publik, akademisi dan pengamat politik mengatakan bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, dan yang ada adalah kepentingan abadi, maka itu menyedihkan sekali. Dari segi politik moral, teman abadi hanya ada tiga yaitu prinsip memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik dan apa yang indah. Inilah teman abadi-sejati dan jelas tidak bisa berubah.
Penjelasan tersebut menjadi landasan untuk mendefenisikan dan menguraikan investasi politik. Dalam pengertian system demokrasi dan praktik perpolitikan serta dampaknya terhadap kebijakan publik. Kualitas demokrasi dan proses perpolitikan adalah faktor penentu kualitas pembangunan bila public figure memiliki prestasi baik di kalangan masyarakat. Antonio Gramsci menyebutnya intelektual organik, dan memiliki misi tentang pencerahan masa depan yang saya sebut sebagai investasi politik.
Investasi politik merupakan gagasan politik tentang harapan dan perbaikan kualitas pembangunan yang memiliki keberartian pada lapisan masyarakat—terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat. Hal tersebut akan terpenuhi apabila muatan praktek perpolitikan berbasis pada etika, pemberian, modal yang selama ini tersikut politik konvensional—mempertahankan dan menjalankan kekuasaan, mendominasi dengan yang didominasi.
Yang oleh Pierre Bourdieu mencoba untuk mengatasi apa yang disebutkan sebagai oposisi palsu antara objektivisme dengan subjektivisme, atau hal yang disebutnya sebagai, “oposisi absurd antara individu dengan masyarakat” (Bourdieu, 1993; dalam Ritzer, 2008). Untuk mengatasi dilema subjektivis-objektivis, Bourdieu memusatkan perhatiannya pada praktik sosial yang dilihatnya sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur dan agensi. Bahwa praktik tidak ditentukan secara objektif dan bukan pula merupakan produk dari kehendak bebas.
Penyatuan objektivisme dengan subjektivisme, struktur dengan agen, masyarakat dengan individu tidak dapat dipisahkan dari praktek struktur di ruang sosial dan kelompok yang menguasai adalah produk perjuangan sejarah. Yang di dalamnya individu berpartisipasi menurut posisi dalam ruang sosial dan menurut struktur mental (habitus) yang digunakan untuk memahami ruang atau arena. Pemahaman tentang arena dimana terjadi pertarungan memperebutkan sumber daya atau modal.
Arena Perpolitikan
Sebelum kita masuk dan membahas arena politik, terlebih dulu kita memahami konsep habitus. Sebab habitus adalah tali penghubung (penyatuan) agen dengan struktur melalui praktek terstruktur di arena sosial. Habitus merupakan produk sejarah. Habitus menghasilkan praktik individu dan kolektif, dan sejarah, sejalan dengan skema yang digambarkan oleh sejarah” (Bourdieu, dalam Ritzer-Goodman, 2010:581). Habitus yang termanifestasikan pada individu tertentu, diperoleh dalam proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik temu dalam sejarah sosial tempat ia terjadi.
Habitus bersifat tahan lama sekaligus dapat dialihkan yaitu dapat digerakkan dari satu arena ke arena lainnya. Pertukaran sosial beralaskan jaringan, pengakuan, kepercayaan sebagai proses pembentukan struktur hubungan dapat digerakkan, dialihkan ke arena lain yakni arena perpolitikan. Arena perpolitikan yang saya maksudkan ialah praktik politik menurut system demokrasi beralaskan relasi pemberian antar calon pejabat publik dengan masyarakat selaku pemberi hak suara (baca: Investasi).
Arena politik merupakan tempat pertarungan mobilisasi sumber daya: bagaimana menarik perhatian, simpati, kepercayaan, dukungan masyarakat luas dan tujuannya ialah agar memenangkan pertarungan—terpilih sebagai pejabat publik. Dalam proses perpolitikan pada dasarnya akan mengarah pada kepentingan umum, dan sehingga habitus di arena politik seharusnya bersifat positif.
Motifnya jelas, yang disebut “teman abadi” oleh Romo Mangun, “kejujuran dan keadilan” adalah suatu hal yang abadi, tulis Albert Camus. Yakni upaya untuk mendorong pembangunan berkualitas dan kesejateraan masyarakat merupakan wujud ketundukan terhadap prinsip keadilan. Prinsip tersebut berfungsi sebagai penyatuan penguasa dengan masyarakat, individu dengan masyarakat, agen dengan struktur tanpa adanya relasi dominatif dan penyimpangan.
Politik Transaksional
Selain habitus sebagai pembiasaan sosial, ada pula yang bersifat emotif dan relatif spontan misalnya rasa senang, suka-tidak suka dan bangga bila apa yang diinginkan terpenuhi. Politik transaksional atau praktek pembelian suara dan memenangkan pertarungan misalnya. Fakta maraknya pembelian suara sudah diakui secara luas (Aspinall dan Sukmajati, 2016; Muhtadi, 2019).
Thomas Power dan Eve Warburton (2021) dalam buku, “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?” Menjelaskan pada satu sisi, klientalisme, termasuk pembelian suara, memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat, yang jika tidak, mungkin akan tidak terlayani oleh negara. Di sisi lain, praktik pembelian suara atau bentuk klientalisme yang lain dapat mengacaukan insentif dan perilaku pejabat-pejabat terpilih dan pemilih.
Secara spesifik, pembelian suara pemilu atau bentuk politik uang lainnya meningkatkan biaya pemilu, dan politisi bagaimanapun juga akan berusaha menutup biaya tersebut ketika sudah menjabat. Hal ini pada akhirnya akan mengarah pada korupsi dan pengkaplingan kebijakan publik. Pun akan berakibat pada terbatasnya kebijakan publik serta kurangnya pasokan barang-barang publik yang paling dibutuhkan masyarakat (Aspinall dan Berenschot, 2019: 167–8).
Inilah wujud praktik politik dalam artian kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, relasi subjektivisme dan objektivisme bersifat dominatif serta menyimpang. Peningkatan korupsi dan kurangnya pasokan barang publik yang esensial ini akan membuat masyarakat menjadi tidak puas, kecewa, kehilangan kepercayaan terhadap nilai demokrasi dan system politik.
Pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan dan menjawabnya disaat pemilu adalah, apakah terus-menerus kita meningkatkan pembiasaan politik transaksional, pembelian suara? Problem pemberian bersifat menyimpang inilah akan berdampak pada: harga yang harus dibayar oleh masyarakat adalah tersumbatnya pembangungan, korupsi dan akan mengarah pada masalah public trust. Adalah sebagai akibat-akibat susulan di masa mendatang disebabkan oleh praktek politik transaksional.
Public Trust
Publik trust berarti kepercayaan masyarakat. Istilah public trust merupakan kepercayaan bawahan terhadap pimpinan, masyarakat terhadap pejabat publik. Kennedy (2000:93) menjelaskan, “Jika orang diminta untuk menjelaskan calon pemimpin (pejabat publik) yang sangat memperhatikan dan/atau orang yang memiliki kekuatan sangat besar, umumnya mereka menyebut sifat-sifat berikut ini yaitu: dapat dipercaya, memperhatikan orang lain, jujur, sikap menjaga, perilaku empati (penuh pengertian) dan kasih sayang”.
Kennedy bermaksud mengingatkan calon pejabat publik, pemimpin agar mereka mempunyai kekuatan pribadi sangat besar dalam memimpin sebuah daerah atau organisasi sehingga terbangunlah public trust di dalam kepemimpinannya. Public trust akan hadir dengan sendirinya karena adanya good governance. Dalam penyelenggaraan system pemilu, pemilihan pejabat publik, jarang sekali kita menggunakan indikator dalam menilai tipekal calon pejabat publik dimaksud.
Meskipun hanya satu suara yang diberikan kepada calon pejabat publik, akan tetapi, menjadi faktor penentuan pembangunan selama lima (5) tahun. Artinya pemberian satu suara sama berartinya kita telah menginvestasikan modal dalam bentuk peningkatan akses layanan publik, pemerataan dan pembangunan berkeadilan. Prinsip keadilan akan dapat terwujud jika kita memilih calon pejabat publik berdasarkan prinsip dianjurkan Kennedy, otoritas karismatik menurut Weber dan intelektual organik, sebagai bentuk investasi masa depan.
Jadi investasi politik adalah proses perpolitikan yang mengarah pada pemberian dan kewajiban disertai niat memperjuangkan kepentingan banyak orang yang berbasis konsep dan kenyataan hidup hari-hari—baik ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Adalah sebagai upaya untuk mengatasi penyimpangan, mewujudkan prinsip keadilan, mendorong good governance dan public trust yang tengah berlangsung surut.
Bersambung…