Opini  

Suara tak Berkesan

Fikri Irwan.

Oleh: Fikri Irwan

Kader Forsas-Mu

SUARA yang tak berkesan sudah hadir di setiap obrolan kita sehari-hari. Di lingkungan masyarakat telah saksama mempengaruhi segenap jiwa untuk mengacu pada manusia yang tidak antusias dalam obrolan sehari-hari. Digitalisasi memotori segenap jiwa untuk perubahan, termasuk perubahan budaya belakangan ini. Untuk mengetahui masalah sejenis ini membutuhkan pendalaman dalam mengamati fenomena sosial. Di lingkungan hidup kita sehari-hari yang berkelompok-kelompok, atau bisa saja kita temukan dalam lingkungan keluarga atau teman sebaya.

Dengan adanya peranan yang besar-besaran menghancurkan tatanan sosial, mengakibatkan munculnya semacam kecemburuan sosial. Kegelisahan atau rasa yang tidak pasti yang menangkarkan. Dengan kata lain, ketakutan atau kecemasan yang kini dijumpai dan pantangan yang terpuruk yang mengubah gaya dan nilai-nilai kehidupan oleh keadaan masyarakatnya. Hal ini, dapat mempengaruhi ruang penciptaan masyarakat yang baik dan bermartabat.

Suara yang tak berkesan ini bisa datang melalui perangkat apa saja dan begitu mudah jalan pengaksesan, selagi menyatu dan hidup sesama yang kuat. Kita tahu tindakan itu melahirkan banyak pertentangan. Khususnya, hukum pemenuhan dalam penginderaan kehidupan. Peran sekaligus fungsi menjadi pedagogis, dalam kasus serupa. Seorang ibu merajuk karena anaknya hanya berfokus pada suatu objek atau menjadi acuan kesenangan jiwanya. Hal ini, terbiasa  karena terkondisikan oleh perkembangan zaman yang nyata. Dan telah mengakar kuat, menolak asupan dianggap nilai-nilai berseberangan.

Adapun, perumpamaan laju perkembangan teknologi, seakan-akan memberlakukan ruang privatisasi dan mengkerdilkan manusia dan mementingkan diri melalui alam sadarnya. Semua jenis muda maupun tua memanfaatkanya dengan tampil megah dan mengedepankan sikap apatis yang amat kuat. Sehingga, gaya dan arahnya melahirkan apa yang penulis maksud sebagai suara yang tak berkesan; Suara yang dikeluarkan tapi tidak menuai rangsangan yang baik dalam ruang kehidupan yang satu. Olehnya, apa yang menjadi kenikmatan untuk mencairkan suasana yang palsu menjadi dorongan wujud ruang hidup yang harmonis lagi damai.

Sebagai hubungan penguatan, pada cerita Rasulullah yang memiliki cincin yang bagus lagi indah. Membuat beliau sering menatap cincin dan memalingkan perhatian beliau kepada sahabat ketika membangun pembicaraan. Endingnya, beliau melemparkan cincin itu karena dianggap bagai pupus keharmonisan.

Dari Ibnu ‘Abas, beliau berkata, Rasulullah memiliki sebuah cincin dan memakainya. beliau (Rasulullah) bersabda,  “cincin ini telah menyibukkanku dari kalian sejak hari ini, sesat aku memandanginya dan sesat aku melihat kalian”.  Kemudian beliau melemparkan cincin tersebut.

Kiranya hal demikian menjadi cerminan hidup pada era keterbukaan. Penulis percaya, kasus demikian amat mengelabui, juga mengurangi kualitas hidup bersama, sebagaimana diulas oleh manusia bijak “Aristoteles” pada beberapa abad lalu.

Dunia kesenangan dimengerti sebatas kehidupan yang nyaman lagi menyenangkan. Hingga, sebagian mencoba-coba melanggengkan tatanan hidup dengan apa yang penulis maksud sebagai suara tak berkesan. Ingin mengabsahkan itu. Tapi, tatanan teologi dan religiusitas hadir tepat waktu. Moga-moga ada kepekaan “(kesadaran)”, membalik haluan pembiasannya ke ruang pencerahan harmonis. Sebagai perluasan akan saya paparkan dari beberapa model penguatan opini.

Pendekatan Religius

Zaman semakin laju menaungi alam semesta, semua kadar dan kepekaan mengenai ruang moralitas seakan-akan menggelalar. Mengenal lebih tanpa spasi bagaimana suara tak berkesan hampir pupus dengan waktu tanpa kompromi. Tindakan dan sifat-sifatnya mengatur dan mengajak. Kasus yang ada menjadi cerminan untuk mengetahui bentuk keasliannya. Tapi, hal demikian tak patut menjadi acuan hidup dalam kehidupan sosial. Sebuah dorongan dengan pendekatan religiusitas cenderung kuat memikat harapan agar kembali pada ruang perubahan bagai sediakala. Kita merambat sekian besar pada zaman dan lingkungan di sekitarnya. Model keagamaan tampil mesra mengajak kita ke jalan kebenaran. lagi-lagi, kurangnya bergelut pada ilmu pengetahuan yang menentramkan seakan membawa kita pada gaya hidup baru yang kemungkinan melenceng dari dunia moralitas.

Tentunya, melenceng dengan ajaran pedagogis. Moral yang mengangkat derajat manusia menjadi mahluk tuhan yang mulia. Orang-orang yang gemar pada pembiasaan itu, ingin lingkungan sekitar memahami dan melazimkan perilakunya. Padahal, barangkali sifat demikian menodahi kemuliaannya. Tapi, masalah penting melabelkan cara hidup era sekarang tanpa tabir atau tabiat hidup yang beradab.

Pendekatan religius yang akan penulis bahas adalah sedikit kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan. khususnya, orang-orang sekitar. Baru-baru saja teknologi hadir di tengah-tengah kita, kehadiran itu banyak memberikan keuntungan. Olehnya, demikian itu patut menjadi syukur dalam langkah juga nafas sehari-hari. Tapi, berseberangan dari syukur itu, ternyata budaya dalam kehidupan kita pun kian banyak dipengaruhi. Sebut saja, mengenai ruang mortalitas yang seakan menggelar. Dengan kata lain, tereduksi nilai-nilai moral lagi kepekaan dalam hidup.

Wacana keagamaan dipoles sedikit rupa untuk memenangkan perilakunya. Seakan dimengerti tak berlainan. Dengan menyatukan kepuasan jiwanya lagi tak menoleh hingga merujuk pada perilaku amoral; suatu perilaku tanpa sejalan dengan pikiran baik yang kuat. Kalau boleh penulis perkirakan dunia terang benderang akan meredup menjadi gelap gulita. Penglihatan manusia kehilangan kesadaran (kebenaran).

Kadang-kadang suara tak berkesan, sebut saja gejala-gejalanya sudah mulai membesar. Jadi, kita hanya butuh penguatan kepekaan agar kiranya suara atau ucapan itu berkesan. Tidak mengikuti ruang kesukaan jiwanya dan mengkerdilkan golongan-golongan luar darinya. Olehnya, perilaku keagamaan dijalankan amat baik, guna hidup beradab dan bermartabat.

Pembaharuan kini hari, memunculkan ketakutan pada hilangnya kepekaan sebagai perilaku baik yang kuat dalam kehidupan sosial. Mengambil peranan agar mengikat amat kuat oleh ajaran dogmatis terhadap ucapan atau perilaku yang tak sejalan oleh kaidah kehidupan. Untuk, penanggulangan moral kian hari terdegradasi. Sekiranya, persiapan kita mengokohkan iman plus ketakwaan, atau sinonimnya adalah pembacaan dan analisis lagi jitu. Ini memukul mundur perilaku amoral plus pandang remeh mereka yang tak mengesankan. Semakin tinggi iman pula ilmu seharusnya semakin halus perasaan.

Lini Masa

Perasaan kita dapat cepat berubah dan rapuh. Sehubungan dengan tema, suara tak berkesan. memunculkan peristiwa sebagai keterangan kausalitas atas kurangnya menjaga ruang kebersamaan. Yang berangsur-angsur memunculkan sebagai apa yang disebut perilaku apatis, kemudian memunculkan reaksi ketidaksenangan pada perilaku yang dilakukan. Demikian, hal sama bisa juga dirasakan oleh orang lain akibat dari pembaruan lagi percepatan ruang zaman.

Pembaca yang Budiman, penulis klaim pernakah kita mengalami kecanggungan  dalam pembicaraan sehari-hari. Adanya tindakan yang dianggap tak baik. Dipercayai kadar pemahaman manusia (individual) belum mapan menanggulangi kerusakan moral kita. Olehnya, pembiasan ini tak layak menjadi contoh dalam panggung kehidupan sosial.

Itulah barangkali disebut “Lini masa”. Sebagai contoh, anda tidak boleh membudidayakan hal yang menyenangi jiwa pula mengkerdilkan pihak lain. Dengan penjelasan lains, tidak boleh main hp (benda lain) saat berbicara, siapa pun orangnya, muda atau tua, kecil atau besar. Demikian, saya menulis untuk menjadi reflektif jiwa kita pada zaman pembaruan ini. (*)