Oleh: Zulfiqra Samsudin
Pemuda Desa Saria
PEMUDA pesisir sudah terbiasa melawan badai, ombak yang begitu besar tidak menjadi penghalang dan semangat mereka dan tidak memudar bagi mereka. hampir setiap detik, menit, bahkan siang dan malam, suara ombak menjadi instrumental menghantarkan mereka dalam kesunyian hingga mereka terlelap dalam ketiduran dan mimpi-mimpi indah yang menghampiri, diibaratkan seperti papan di perahu yang basah dapat dikeringkan dengan pakaian mereka sendiri, karena bagi saya mereka adalah pemuda yang tangguh dan dan kokoh saat bertarung melawan badai, melintasi ombak di lautan lepas, ombak yang begitu besar tetapi mereka tidak peduli. Sebab, atas dasar cinta yang tumbuh di negeri sendiri sudah digariskan oleh tuhan sang maha pengatur dunia dan seisinya yakni (Allah SWT) yang harus diterima dan diakui oleh para pemuda setempat.
Sebutan pemuda pesisir adalah pemuda yang hidup di Desa Saria, salah satu desa yang berada di bagian pesisir Barat Halmahera, desa tersebut berhadapan langsung dengan Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Maitara, dan Pulau Tidore. Di Desa Saria terdapat masyarakat yang dalam kesehariannya mencari ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu potensi yang ada di Desa Saria salah satunya memiliki mata pencarian sebagai nelayan.
Ditinjau kembali dengan benang merah dalam sejarah Desa Saria yang dapat saya menceritakan secara singkat tentang lingkungan Desa Saria pada saat itu, seorang pria yang bernama Marengke berlayar dari Sula Besi menuju ke Desa Saria dengan menggunakan rakit mengarungi dan melintasi selat laut capalulu. Namun di tengah perjalanan, pria itu kemudian kehabisan tenaga namun ada seekor ikan hiu yang sangat besar datang menghampiri dan seakan menawarkan dirinya di hadapan pria itu yang memberi isyarat bahwa ikan tersebut akan membantunya.
Pada saat itu, Desa Saria belum ada yang huni. Banyak masyarakat dari berbagai suku yang datang di tempat itu, kemudian datang sekelompok nelayan yang berasal dari Kota Tidore untuk mencari ikan di permukaan perairan perkampungan Desa Saria kala itu. Kemudian tiba-tiba arus pancaroba membuat mereka kewalahan dan harus berteduh lalu SAIHU (nakhoda) memerintahkan dengan menggunakan bahasanya yaitu Sari’ia yang memiliki arti singga sebentar. Lalu tak menunggu lama, mereka kemudian singgah ke desa tersebut. Akan tetapi persinggahan mereka hanya beberapa waktu saja lalu kembali melaut ketika cuaca membaik.
Pada saat itu juga Marengkeh yang berasal dari Sula Besi itu kemudian memutuskan untuk menikah dengan wanita asal Desa Payo, karena pada saat itu ia berada di sana. Alhasil mereka dikaruniai oleh seorang anak laki-laki dan diberi nama Idris, namun sayangnya bahtera rumah tangga mereka hanya seumur jagung. Ibunya meninggal dunia, luka mendalam yang dirasakan oleh Marengke dan Idris. Lalu mereka memutuskan untuk kembali ke Sula besi.
Disana Marengke kembali menikahi lagi dengan seorang wanita yang berasal dari Sula besi, pembawaan sang istri terhadap anaknya si Idris tidak merasa nyaman dengan perlakuan dalam keseharian sehingga Idris memutuskan untuk kembali ke tempat kelahirannya. Dengan menghilangkan jejak, ia menggantikan namanya sebagai ULAMA. Di sana Ulama mengajak para petani di sekitarnya untuk berkebun di sebelah utara Payo yakni Desa Saria, di sana Ulama diangkat sebagai kepala perkampungan dan dari situlah dibentuk dan tidak mau menghilangkan jejaknya sehingga kampung tersebut di beri nama Soa Facei dan Soa Falahu. Hingga saat ini kita kenal dengan sebutan nama Desa Saria.
Dengan cerita desa yang secara singkat itu para pemuda harus mengambil hikmahnya agar tetap tidak merasakan kepuasan di dalam diri masing-masing bahwa segala sesuatu yang dibentuk atas dasar cinta dan pengorbanan serta persatuan, hingga saat ini dikenal dan menggunakan slogan yang dititipkan para moyang terdahulu kita dengan sebutan Orecele yang memiliki makna dan arti bahwa “ayo luruskan barisan lalu peganglah perahu dengan erat, lalu melangkah untuk maju”. Hal tersebut dapat dicermati bahwa sebagaimana kebersamaan kita dibentuk melalui persatuan kita di atas pajeko (kapal nelayan).
Olehnya itu, kehadiran para pengunjung entah dari mana tetap selalu akan dikenang dan dari situlah cinta para pemuda selalu tumbuh mekar yang tidak akan melupakan, sebab bagi mereka pertemuan adalah cinta dan cinta itu sebuah pertemuan, karena berawal dari pandangan mengundang rasa cinta dan semua itu sudah terlaksana maka hal yang ditinggalkan adalah kenangan manis, sebab mereka juga berasumsi bahwa setiap waktu itu adalah pabrik kenangan-kenangan.
Oleh karena itu harapan besar para pemuda, bagi siapa saja yang telah datang dan sempatkan waktu untuk mampir di sana apabila lelah, karena Desa Saria juga salah satu desa persinggahan menurut saya, dan jika kita cermati lebih dalam lagi, desa tersebut memiliki jejak kaki Marengke, dan itu akan selalu dikenang.
Terakhir dari penulis “orang-orang yang sudah datang di desa ini kalian adalah bagian dari kami, bagian dari keluarga kami. Untuk itu, jangan sungkan-sungkan untuk datang karena pintu besar Saria selalu terbuka untuk kalian (keluarga)”.
Akhir kata dari saya, kita berjalan di atas jalur cinta maka akan kita bertemu di ujung jalan. (*)