Oleh: Abdullah Assagaf
Alumni Pondok Pesantren MA Al-Khairaat Bibinoi
BERDASARKAN sebuah maha karya yang ditulis oleh seorang tokoh cendekiawan muslim Indonesia bertajuk “Perspektif Intelegensia terhadap Genealogi Kelas Menengah Muslim di Indonesia”, bahwa di era globalisasi ini santri dapat melebarkan sayapnya melalui dua kecenderungan kelas yang tengah berkembang di masyarakat. Kelas inteligensi dan urban muslim, adalah dua kelas yang muncul sebagai buah dari transformasi Islam sebagai pola hidup dan berpikir masyarakat modern. Hal ini sekaligus menjadi indikator bahwa era globalisasi membutuhkan peran agama di dalamnya, bukan malah meniadakan.
Hal ini sejalan dengan prinsip dasar kaum santri, yakni Al-muhafadhah ala al-qadim as-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah yang bermakna memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Di kalangan pesantren dan ulama nusantara, prinsip inilah yang menjadi identitas diri untuk ikut serta membangun masyarakat bersama masyarakat itu sendiri. Melalui prinsip ini, seorang santri dididik untuk turut peka terhadap isu sekitarnya dan turut bekerja bersama isu tersebut. Hal inilah yang menjadikan santri sebagai agen terdepan dalam menentukan respons terkini melalui pendekatan agama yang moderat.
Pada kelas inteligensi, fungsi santri diperluas untuk dapat andil dan fokus membahas isu-isu masyarakat, terutama hal-hal yang berada di antara negara dan agama. Melalui kelas ini, santri berperan luas untuk menjadi aktor dalam pembentukan masyarakat ideal (madani). Tak lagi berkutat dengan keilmuan agama semata, santri juga menjadi jembatan antara agama dan birokrasi. Dengan begitu, suasana kehidupan sebuah bangsa yang kental akan nilai-nilai keislaman di dalamnya akan tercipta harmonisasi.
Berbeda dengan kelas inteligensi, urban muslim memandang bahwa agama sebagai fenomena yang berpengaruh terhadap gaya hidup. Tren bisnis, mode, serta budaya menginginkan tampilnya unsur-unsur keislaman yang tampak sederhana dan artifisial. Bagi santri, kelas ini dapat menjadi batu loncatan untuk mendekati masyarakat secara lebih halus. Sebab, budaya dan gaya hidup merupakan pintu masuk utama nilai-nilai keislaman, seperti yang telah dicontohkan para Wali Songo dalam dakwahnya pada masyarakat nusantara (Agus Sunyoto.)
Fakta-fakta ini membuktikan bahwa santri melalui karakternya merupakan unsur penting dalam menghadapi isu negatif globalisasi. Karakter egaliter dan demokratisasi santri dapat melawan otoritarianisme, sedangkan ketidakadilan sosial dan ekonomi dapat diatasi dengan karakter bersahaja dan tawaduk (rendah hati) santri. Begitu juga dengan kecurangan-kecurangan politis yang kerap terjadi, dapat diatasi dengan karakter jujur dan ikhlas santri. Sedangkan karakter moderat dan inklusif santri berperan untuk mengatasi konflik agama dan terorisme.
Penguatan karakter dan peran santri ini sangat dibutuhkan. Terbukti jelas melalui sebuah riset yang dilakukan oleh seorang Prof Revany Bustami PhD, tenaga pengajar University Sains Malaysia (USM), di era revolusi industri 5.0 nanti, agama akan kembali berperan dalam memimpin sains. Re-spriritualisasi masyarakat menjadi tugas besar santri untuk mengarahkan perkembangan masyarakat modern. Secara tidak langsung, peradaban manusia sebenarnya turut bergantung kepada peran santri dalam merespons dan mengendalikan isu-isu global yang krusial. (*)
Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2023.