Opini  

Investasi Ekonomi

Yahya Alhaddad

Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti

___
ISTILAH investasi ekonomi popular dan cenderung dominan digunakan dalam dunia bisnis. Keengganan menggeluti dunia usaha biasanya diperkuat dengan alasan “tidak punya modal” yang dimaknai sebagai modal ekonomi (finansial).

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa finansial sangat penting dalam dunia bisnis. Namun banyak bukti menunjukkan bahwa, ternyata finansial saja tidak cukup mumpuni dalam menjamin eksisnya seorang pengusaha dalam arena bisnis.

Sebab banyak pengusaha pun tidak dapat mengembangkan sayap bisnisnya. Oleh karena, terdapat faktor-faktor lain di luar modal finansial (ekonomi determinan) yang dapat membawa bisnis berjalan lancar dan sukses. Yang dalam istilah sosiologi disebut praktik sosial.

Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2016: 106), praktik sosial dapat dirumuskan sebagai: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Berdasarkan rumusan itu, Bourdieu dapat dilihat sebagai seorang pemikir sosial yang mencoba mendamaikan dikotomi antara objektivisme dan subjektivisme. Proses pembedaan atau pembagian; masyarakat dan individu, pemerintah dan masyarakat didamaikan Bourdieu melalui konsepnya yang disebut habitus.

Mengenai dikotomi agen dan struktur telah saya jelaskan dalam artikel sebelumnya: dimana perpolitikan mengarah pada pemberian dan kewajiban disertai niat memperjuangkan kepentingan banyak orang…(baca: Investasi Politik publikasi laman nuansamalut.com). Prinsip keadilan adalah tujuan utama untuk mendorong good governance yang akan mengarah pada kepercayaan publik.

Konsep good governance mulai dikenal sekitar tahun 1990-an. Sedangkan di Indonesia mulai diimplementasikan saat krisis moneter serta krisis kepercayaan yang melanda Indonesia di tahun 1998. System pemerintahan yang baik adalah salah satu tuntutan reformasi. Pertanyaannya, adalah apakah prinsip good governance dalam konteks kekinian sudah terpenuhi dengan prinsip keadilan? Pertanyaan ini mengarahkan kita pada kondisi politik dan ekonomi seperti yang saya jelaskan mengenai politik uang dan pengkaplingan kebijakan publik (baca: Investasi Politik).

Problem tersebut dibutuhkan upaya-upaya untuk mendorong prinsip goog governance yang diterapkan pemerintah terkait pelayanan publik terutama dalam aspek manajemen pelayanan publik. Aspek-aspek yang ada dalam pelayanan publik yaitu kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan. Hal tersebut menjadi alat ukur pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan. Pertanyaannya adalah bagaimana pemerintah dapat menerapkan sistem pelayanan publik sebagai alat ukur pembangunan berkualitas dan berkeadilan?

Persoalan pelayanan publik yang menjadi tolak ukur adalah pertama-tema dibutuhkan analisis data mengenai konteks kehidupan masyarakat misalnya dalam aspek sosial-ekonomi pada masyarakat kecil atau kategori berpendapatan kecil karena pekerjaan tak pasti. Contoh kasus misalnya masalah UKM di Kota Ternate yang boleh dikatakan cukup masif seperti usaha kedai kopi. Usaha kedai kopi hampir sebagian besar digerakkan oleh kalangan pemuda dan UKM tersebut, bahkan belum disentuh baik oleh pemerintah kota.

UKM selain meningkatkan sektor ekonomi juga menyediakan lapangan pekerjaan, dan bagi saya hal ini justru sangat membantu pemerintah untuk menekan tingkat pengangguran. Karena pengangguran di perkotaan cenderung didominasi oleh kalangan anak muda. Maka, yang dibutuhkan adalah upaya mengidentifikasi berapa banyak UKM di Kota Ternate dan problem-problem mendasar yang dihadapi oleh pelaku usaha. Sehingga bila diketahui problem mendasar yang mereka hadapi, maka memudahkan pemerintah untuk melakukan kebijakan intervensi menurut prinsip good governance.

Sebab saya cukup percaya bahwa pelaku UKM di Kota Ternate meskipun milik pribadi, akan tetapi, mereka memiliki sosial kapital dan habitus di ranah bisnis dalam melakukan manuver. Bukan berarti tak ada hambatan, setiap usaha selalu saja ada hambatan yang menyulitkan sehingga usahanya kerap tersumbat dan pada titik inilah kebijakan intervensi relatif dibutuhkan dalam bentuk pelayanan. Pelayanan dalam bentuk memfasilitasi baik perencanaan, partisipasi, evaluasi dan hingga menikmati hasil maksimal atau tidaknya.

Kasus yang kedua, adalah persoalan pertanian hortikultura salah satunya adalah sayur kangkung sebagai kapital ekonomi di Ternate Selatan, kelurahan Sasa, Gambesi dan Fitu. Dalam pengamatan saya usaha kangkung belum mendapat perhatian serius pemerintah Kota sehingga dibutuhkan kebijakan intervensi untuk meningkatkan perekonomian petani kangkung. Sebab sayur kangkung merupakan kapital ekonomi masyarakat kecil untuk menjawab kebutuhan subsisten rumah tangga dan arus perkembangan kota.

Saya tidak yakin apakah pemerintah Kota Ternate memiliki data mengenai berapa banyak petani kangkung di tiga kelurahan tersebut, tingkat pendapatan mereka dan apa masalah yang mereka hadapi. Padahal kangkung merupakan komoditi unggulan di Kelurahan Sasa-Gambesi. Kedua kelurahan ini merupakan sentra produksi kangkung di Kecamatan Ternate Selatan yang perlu diberdayakan kapital ekonomi.

Kangkung bukan hanya menjadi penopang, memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber biaya menyekolahkan anak-anak mereka dikutip laman poskomalut.com. Kangkung yang ada di kedua kelurahan ini, umumnya hanya dijual segar, dan mengalami kerusakan jika tidak cepat terjual, apalagi saat produksi sedang melimpah, dikutip laman jurnal.unpasby.ac.id. Atas dasar inilah intervensi sebagai bentuk system pelayanan publik yang berketepatan, efektif, memudahkan dan berkeadilan teramat sangat diperlukan.

Artinya bahwa bagaimana seefektif mungkin menjaga dan mendorong komoditi unggulan di kedua kelurahan ini sehingga tidak macet produksi. Bentuk pelayanannya adalah memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mereka berupa sarana produksi, pelatihan dan pendampingan secara ketat. Sehingga jika produksi kangkung melimpah tidak mengalami kerusakan, terjual habis dan atau diproduksi menjadi jenis bahan olahan lainnya yang menjadi pendapatan tambahan untuk petani kangkung atau reproduksi kapital ekonomi.

Fasilitas bantuan teknologi tepat guna kepada petani kangkung, agar selain produksi kangkung sebagai bahan mentah, pun reproduksi kapital ekonomi yakni keripik atau stick kangkung. Fasilitasi tak sebatas pemberian bantuan teknologi, melainkan juga dengan memberikan pelatihan, pendampingan dan mengorganisir petani kangkung dalam jejaring bisnis lebih luas—tidak sebatas menjual di pasar Gamalama.

Pun suatu hal yang bagi saya menjadi masalah mendasar yang perlu diantisipasi dan membutuhkan intervensi serius pemerintah Kota adalah persoalan krisis lahan. Kangkung sebagai komoditi unggulan bisa saja terancam jika suatu kelak lahan-lahan tersebut dibangun fasilitas publik atau perumahan penduduk. Persoalan lahan sudah cukup banyak kasus yang hingga sekarang belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah Kota misalnya kasus tanah di kelurahan Fitu. Padahal di sana pun terdapat petani kangkung yang menjerit.

UKM tersebut, baik kedai kopi maupun petani kangkung hanya jika dapat mendorong, mengembangkan kapital ekonominya apabila secara perpolitikan mereka bersikap kritis dalam soal system pemilihan pejabat publik. Artinya jika kita melakukan kesalahan yang sama, jatuh di lubang yang sama: mengutamakan politik transaksional, maka yang terjadi ke depannya adalah kita seperti binatang melata yang hidup di tempat-tempat busuk yang selamanya akan diisolasi, dipinggirkan dan tidak dilayani.

Sikap kritis yang saya maksudkan adalah memilih calon pejabat publik bukan karena politik uang, akan tetapi karena public figure, memiliki kekuatan besar, karismatik, intelektual organik, dan perpegang teguh pada prinsip system pelayanan publik yang berkualitas sebagai prinsip keadilan (baca: Investasi Politik). Investasi politik sebagai ruang pemberian kemudian dialihkan menjadi investasi ekonomi melalui kebijakan intervensi yakni upaya mendorong dan pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Jika pejabat publik yang memegang teguh pada prinsip public figure, good governance, dan suatu kelak mengabaikan pelayanan publik berkualitas, berkeadilan—maka yang perlu dituntut adalah moral publiknya, dan dengan begitu public trustnya pun berlangsung retak. Dalam artian bahwa nilai investasi politik dan sosialnya seperti binatang melata yang saya sebutkan di atas: membusuk di tempat yang berbau busuk.

Bersambung…