Opini  

Menenun Kebohongan di Ruang Publik

Oleh: Isman Baharuddin
Direktur Pilas Institute

____

PANGGUNG perebutan kursi kekuasaan kian dekat. Berbagai cara dilakukan para calon kandidat untuk mendapatkan perhatian sekaligus agar Masyarakat menaruh kepercayaan terhadapnya. Masing-masing dari mereka berusaha menjadi pemeran yang paling baik diantara pemeran yang lain.

Hal demikian sudah disinggung Erving Goffman (1959) yang kita kenal dengan Dramaturgi. Menurutnya, dunia merupakan panggung sandiwara. Ibarat sebuah drama, segala yang ditampilkan di permukaan (front ragion)  merupakan hasil diskusi dari belakang (back ragion).

Tak terkecuali penggunaan simbol bahkan setting ruang. Apa yang harus dikatakan dan bagaimana sang Figur bertindak tak terlepas dari marketting untuk menuai suara. Dia (Figur) dibentuk semenarik mungkin seolah tak punya kekurangan. Kemajuan teknologi tak luput dari mereka untuk merambah masuk demi mendapatkan perhatian lewat dunia maya.

Masifnya perkembangan teknologi dan informasi membuat orang lebih banyak menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dataindonesia.id dan di publish media kabar.online pada bulan Mei 2023 lalu, menunjukkan bahwa pengguna media sosial pada Januari tahun 2022 sebanyak 191 juta jiwa di Indonesia, dan pada tahun  2023 meningkat 0,8% dengan jumlah 212,9 juta jiwa, atau 77% dari jumlah populasi di Indonesia merupakan pengguna aktif,  dan rata-rata menghabiskan 7 jam 42 menit setiap hari untuk bermain sosial media. Berdasarkan data statistik tersebut, menandakan bahwa sebagian besar ihwal Masyarakat telah tersimpan di big data media sosial (FB, WA, IG, dll) dari apa yang dicari atau pun dipublish.

Dengan kondisi tersebut, semakin memudahkan kita untuk mencari tau apa saja yang telah terjadi, bahkan sudah terlampau jauh. Seperti halnya perjanjian dalam bentuk penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilakukan pihak pemerintah kota Ternate dengan Masyarakat Hiri pada Februari 2023 lalu di depan gedung Walikota Ternate, dapat kita temukan hanya membutuhkan waktu beberapa menit. Sekalipun MoU tersebut tidak ditindaklanjuti (Baca: Merencanakan Kebohongan, pada laman tandaseru.com). Atau salah satu program prioritas dari Walikota yang pernah merencanakan untuk mengatasi masalah sampah di kota Ternate yang dirumuskan dalam program ‘Kota Andalan Sampah’, dapat kita temukan kembali hanya dengan sekali klik. Sekalipun pada kenyataanya hingga saat ini sampah masih menjadi masalah yang cukup krusial (Baca: Wali kota Ternate dan Sampah Dapur pada laman kalesang.id). Kemajuan teknologi informasi mempermudah kita untuk mengetahui kemunafikan mereka berdasarkan apa yang telah dikatakan dan yang dilakukan saat ini, karena jelas berbanding terbalik.

Dari fenomena di atas dapat Saya katakan bahwa perkembangan teknologi informasi (media sosial) ibarat pedang bermata dua yang jika tak lihai dalam menggunakannya maka selain menyerang lawan, kita sendiri bisa menjadi korban terhadapnya. Apalagi publik Figur yang jelas segala perkataan bahkan gerak-gerik diperhatikan Masyarakat, dan dapat ditagih pada kemudian hari.

Jauh sebelumnya seorang sosiolog Charles H. Cooley (1902) merumuskan tentang proses komunikasi dalam Thomas Purklolon (2016), bahwasanya hubungan manusia merupakan proses mengartikan simbol secara lisan dan membacanya melalui ruang dan menyimpannya dalam waktu. Seperti yang dijelaskan, bagaimana Walikota melihat Masyarakat dan sampah saat masih berstatus calon Walikota dan setelah terpilih sebagai Walikota. Janji-janji yang diberikan satu kali waktu dapat dibuka dan dilihat kembali, kemudian membandingkan-menjadi tolok ukur apakah Dia termasuk orang yang beramanah atau tidak. Jika didedahkan, banyak hal yang jelas tidak terealisasi dari sekian banyak janji.

Pada penghujung masa periode, sebelum menuju pemilihan ulang. Masyarakat sengaja diseguhkan hidangan penutup yang cukup enak dari sekian banyak menu hambar sebelumnya, lagi-lagi ingin mengelabui rakyatnya sampai lupa bahwa salah satu sifat dari komunikasi yaitu segala yang telah dilakukan atau pun dikatakan tidak dapat ditarik kembali (irreversible) dan jelas sudah tersimpan dalam waktu.

Mengelabui dengan cara merenofasi beberapa taman yang berada di pusat kota untuk merebut kembali perhatian Masyarakat. Hal demikian tidak serta membuat kita lupa penghianatan yang dilakukan kepada Masyarakat Hiri atau pun beberapa kasus yang lain. Kebohongan satu persatu ditunjukkan kemudian dianyam untuk menutupi busuknya tubuh Pemerintahan. Dari hal tersebut pada akhirnya telah menghilangkan kepercayaan (trust) Masyarakat terhadap Pemerintah kota saat ini.

Bersambung…