Opini  

Suksesi Investasi Mengeliminasi Rakyat

Oleh: Gufran Ayub Waralalo, SE
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti

_

BESARNYA potensi kekayaaan Indonesia mestinya dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Saat ini, pemerintah Indonesia menjadikan investasi hilirisasi nikel sebagai trend dalam perekonomian demi ambisi “Indonesia Emas 2045”. Rilis (Kementerian Investasi/BKPM, triwulan II bulan Januari-Juni, 2023), realisasi investasi mayoritas berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA), dengan nilai mencapai Rp186,3 triliun (53,3%) dari total investasi di Indonesia. Sementara, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp163,5 triliun (46,7%).

Sebelum kebijakan hilirisasi, pemerintah hanya mengantongi 2-3 miliar Dolar AS per tahun dari pengelolaan bahan tambang dan mineral di Indonesia. Namun, setelah melakukan kebijakan hilirisasi, Indonesia berhasil mengantongi Rp34 miliar Dolar AS 2022. Daerah penghasil nikel menjadi sasaran PMA (Penanaman Modal Asing), di antaranya Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Maluku Utara. Pada periode 2015-2022 realisasi PMA mencapai U$ 18,6 di Sulawesi Tengah, U$ 6,6 Sulawesi Tenggara dan U$ 11,9 di Maluku Utara, (AEER, 2023).

Berdasarkan data BPS Malut (2023), Produk nikel (Ni) Maluku Utara sebesar 34.016.646 wet metrik ton. Sejak 1970-an, Perusahaan Milik Negara (PT. Antam Tbk) telah menjadi ujung tombak pemerintah dalam penambangan dan pengolahan nikel di Indonesia. Salah satu wilayah bekas eksploitasi Antam adalah Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kemudian tahun 2006, PT. Antam Tbk, bergeser ke Haltim, melalui izin (Kementerian ESDM, tahun 2000), dengan luas konsesi ± 39.040 hektar. Hingga saat ini, PT. Antam bersama perusahaan-perusahaan integrasi multinasional milik para gurita bisnis raksasa global, telah mengepung dan mengeruk kandungan kekayaan perut bumi Maluku Utara.

Perusahaan-perusahaan tersebut di antaranya, PT. IWIP di Halmahera Tengah 2018, dengan izin konsesi ± 4.622 hektar. Tetapi dokumen KATR/BPN menyebutkan, PT IWIP sebagai pengelola  wilayah pusat industri Teluk Weda, memerlukan lahan 867,44 hektar, (Mongabay, 28/03/2021). Kemudian PT. Harita Group dan Anak Usahanya di Pulau Obi, Halmahera Selatan, masuk 2010 dengan luas konsesi ± 10.769,53 hektar. PT. NHM di Halmahera Utara, masuk tahun 1997, dengan luas konsesi ± 29.622 hektar.

Tahun 2022, Antam berhasil menjual 24,2 kt FeNi dengan nilai Rp6,8 triliun. Perusahaan juga menjual 8,62 juta metrik ton bijih nikel dengan nilai Rp5,1 triliun. Sumbangan unit bisnis nikel Antam ke penerimaan negara cukup besar. Antam membayar royalti bijih nikel Rp334,7 miliar dan feronikel Rp183,3 miliar. Antam menyetor dividen Rp605,06 miliar kepada pemerintah dan MIND.ID, (AEER, 2023). Quartal II 2023, PT. Antam diproyeksikan mengoperasikan smelter yang ada di HALTIM, dengan kapasitas produksi 13.500 ton per tahun Feronikel (FeNi).

Selanjutnya PT. Harita Group di Pulau Obi, melalui Anak Usaha (Trimegah Bangun Persada Tbk), telah mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi (high pressure acid leaching/HPAL) yang pertama dengan kapasitas produksi nikel 60.000 ton per tahun. Anak usaha Harita Group tersebut diperkirakan mendapatkan peningkatan kekayaan bersih dari US$ 1,1 miliar jadi US$ 4,6 miliar, (JATAM, 2023). Proyeksi pada Quartal II 2023, akan melakukan penyempurnaan untuk meningkatkan kapasitas produksi nikel mencapai 240.000 metrik ton per tahun.

Kemudian PT. IWIP hingga 2025, menuntaskan 60-lini RKEF (rotary-kiln electric furnace), dengan kapasitas produksi 640 kt feronikel (FeNi), 360 kt nikel matte dan 300 kt Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Total investasi PT. IWIP tahun 2018-2025, sebesar US$ 19,1 juta. Selain produk nikel, ada juga produk emas dari PT. NHM. NHM menghasilkan produk akhir yang disebut Dore Bullion yang mengandung sekitar 45% emas, 45% perak, dan 10% logam pengotor lainnya. Produk batangan bullion ini kemudian akan dikirim NHM ke fasilitas pemurnian yang dimiliki PT Antam Logam Mulia, untuk diolah menjadi emas murni dengan kadar 99,99%.

Laporan Tahunan PT. Antam, penjualan emas tahun 2022 sebesar 34,97 ton. PT. Juga salah satu perusahan yang cenderung tertutup terkait pelaporannya kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dari segi produksi NHM mulai mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. CRU memprediksi NHM akan berhenti produksi emas antara 2022 atau 2023. Per 2020, cadangan emas Gosowong tersisa 9 ton, (CNBC, 2022).

Kesuksesan investasi tambang saat ini, berjalan seiring dengan kesenjangan sosial baru dan kerusakan alam berkelanjutan, khususnya di daerah-daerah penghasil nikel. Kata Pradipta Pandu, melalui Kompas.com (2023), Ekspansi industri nikel memicu deforestasi 25.000 hektar.  Terjadi alih fungsi lahan pertanian, perkebunan, hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan industri ekstraktif pertambangan dan penggalian. Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra, dalam artikelnya yang di terbitkan (Apahabar.com, 2021), menjelaskan bahwa konsesi pertambangan nikel dari tahun 2017-2021 menimbulkan kerusakan hutan Halmahera dan pulau-pulau sekitar seluas 7.565 hektar dan diproyeksi terus meningkat setiap tahunnya.

15 tahun terakhir, HALTENG telah kehilangan hutan 16.000 hektar. Artinya, setiap tahun hutan alam hilang seluas 1.000 hektar. Selain itu, pertambangan nikel telah menyebabkan pencemaran sungai dan laut yang cukup serius. Peneliti Lingkungan AEER, Arfah Durahman (2023), menjelaskan, hilir Sungai Wosea yang melintasi kawasan industri nikel mengandung kromium heksavalen dengan konsentrasi 0,017 mg/L. Kadar tersebut melebihi yang disyaratkan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebesar 0,011 mg/L. Ion toksik ini juga terdeteksi di beberapa lokasi di perairan laut dekat dengan aktivitas kawasan industri. Sungai Sagea yang menjadi sumber kebutuhan dan tempat wisata masyarakat, mulai keruh dan warna airnya kecokelatan akibat penggalian di sekitar hulu sungai. Awal 2021,  site Moronopo di penuhi lumpur sisa sedimentasi ore nikel akibat eksploitasi PT. Antam Tbk. Sehingga ketika terjadi hujan, air laut pesisir tanjung moronopo berubah warna menjadi kemerahan. Pesisir pantai juga masih di tutupi lumpur tebal, yang tingginya kurang lebih 1 meter, (Mongabay, 2021).

Desa Kawasi, Pulau Obi, HALSEL, yang merupakan salah satu desa tertua di Pulau Obi, telah kehilangan sumber mata airnya akibat ekspansi pertambangan nikel Harita Group. Sementara Sungai Toduku di belakang pemukiman warga, yang biasanya dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum, mandi, dan cuci pakaian, kini telah dipenuhi sedimentasi limbah ore nikel. Untuk konsumsi air minum setiap hari, warga Kawasi harus mengonsumsi air kemasan, (WALHI, 2022). Lebih bejadnya lagi, Harita nikel dan PEMDA HALSEL telah sepakat dan bersikukuh merelokasi atau memindahkan warga Kawasi ke tempat tinggal baru yang di sediakan oleh Perusahaan. Tetapi sampai saat ini, relokasi menjadi polemik karena sebagian warga tidak setuju dipindahkan dari tanah leluhurnya.

Kemudian sungai dan laut di teluk Kao dan sekitarnya tercemar akibat limbah tambang PT. NHM. Penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2010, menemukan beberapa jenis ikan dan biota laut terkontaminasi bahan berbahaya seperti sianida dan merkuri. Kandungan sianida di tubuh kakap merah, belanak, dan udang di Tanjung Taolas dan Tanjung Akesone sudah melebihi ambang batas aman, berkisar 1,52 ppms – 4,5 ppm WHO (2004). Hingga saat ini, warga yang berprofesi sebagai petani, banyak kehilangan sumber penghidupannya. Biota laut di sekitar laut Malifut dan Kao, tak bisa lagi di konsumsi karena mengandung zat berbahaya, (Mongabay, 10/12/2013).

Skema investasi industri tambang membuat banyak petani kehilangan lahan untuk berkebun dan nelayan makin kehilangan mata pencahariannya karena ikan makin menjauh dari bibir pantai. Sehingga nelayan harus melaut 20 sampai 30 mil dengan konsekuensi membahayakan keselamatan mereka. Menghilangkan tempat dan sumber hidup rakyat, sama dengan membunuh rakyat secara perlahan secara tak kasat mata. Kejahatan di balik megahnya  investasi, sama persis dengan penjajahan masa Belanda, Portugis dan Jepang di negeri ini. Perubahan lanskap struktur perekonomian, tidak menjamin kesejahteraan seluruh warga. Masih banyak warga lingkar tambang yang tidak punya cukup kemampuan untuk bekerja sebagai tenaga kerja (karyawan) tambang.

Warga demikian, akan tereliminasi dari tanahnya sendiri, lalu hidup dalam kemiskinan berkepanjangan. Padahal, pengelolaan kekayaan alam oleh pemerintah, sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat secara merata, tanpa terkecuali. Percuma jika pemerintah merasa bangga pada pertumbuhan ekonomi yang menjulang tinggi sedunia, tetapi menyengsarakan, bahkan membunuh rakyat dalam jangka panjang.

Daerah Provinsi Maluku Utara, membutuhkan kepemimpinan pemerintah yang kompeten dan lebih kuat. Sehingga mampu menyelaraskan perubahan lanskap ekonomi dan memanfaatkan rantai pasok industri pada sektor lain seperti pertanian, perkebunan dan perikanan. Kepemimpinan  MALUT harus lebih profesional, adaptif terhadap perkembangan teknologi dan mampu menerjemahkan investasi berkelanjutan di lapangan sekaligus menghasilkan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan jangka panjang. Hal ini akan membawa manfaat nyata bagi petani, nelayan, meningkatkan akses terhadap pasar yang meminta produk berkelanjutan, dan membantu menghasilkan investasi tambahan, sehingga pada akhirnya menciptakan komoditas lain berkelanjutan dan memastikan peluang bisnis dan mata pencaharian untuk masyarakat terdampak tambang di Maluku Utara. (*)