Oleh: Igrissa Majid
Alumni STHI Jentera
___
SAYA, dan kemungkinan sebagian anak muda yang kontra terhadap isu kekuasaan oligarki, percaya bahwa negara ini sedang menuju ke arah yang salah.
Bagi anak kandung penguasa, meraih kekuasaan yang menguntungkan dirinya semudah menyalakan korek api. Kemudahan itu berbanding terbalik dengan kita yang menapaki proses yang rumit untuk meraih kekuasaan.
Kita kemudian dibatasi sejak dalam pikiran, dan hanya sebatas menonjolkan kemampuan dalam perbincangan seputar diskursus kekuasaan. Tapi pada gilirannya pengambilan kebijakan yang berdampak bersama tidaklah sepenuhnya dilibatkan. Dan, terpaksa menerima konsekuensi dari kebijakan itu.
Saya menduga ada kekhawatiran, yang barangkali saja dapat mengganggu sirkulasi kepentingan para elite politik. Karena itu, dalam pengambilan kebijakan, mereka mengupayakan agar dapat menyumbat semua posisi kunci dengan tujuan untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Ini variabel penting untuk melihat elite kekuasaan itu berkolusi dalam oligarki. Robertus Robert dalam Who are the Elites who Control Indonesian Politics? (2023) mengatakan, antara kekuasaan dan kekayaan materi dua-duanya seirama dengan jabatan politik yang kemudian dapat menentukan siapa elite politik di Indonesia.
Robert membagi empat kategori tipe elite, Pertama, kaum oligarki yang mengendalikan dua motif kekuasaan sekaligus, yaitu ekonomi dan politik. Mereka mendominasi semua lembaga pemerintahan. Kaum elite oligarki ini mencakup korporat pertambangan, pendiri maupun senior partai politik.
Kedua, elite ekonomi yang terdiri pemilik perkebunan besar, perusahaan tembakau, pabrik, maupun lembaga keuangan, yang memiliki kuasa atas sebagian perekonomian, tetapi tidak secara langsung mengendalikan kekuasaan. Akan tetapi menurut Robert, mereka memiliki agenda yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Karena hanya faktor kedekatan dengan penguasa, mereka akan sangat dengan mudah menjadi oligarki.
Dalam gambaran Robert yang ketiga, ialah elite politik yang memanfaatkan partai politik untuk membangun kekuasaan. Meski kekuasaan itu hanya lewat partai politik, tetapi dari sanalah aksesnya untuk memperluas kekuatan ekonomi. Seiring waktu, tipe ini juga masuk dalam kategori kelas oligarki.
Tipe terakhir ialah elite birokrasi yang memiliki kuasa karena kedudukan politik dalam birokrasi. Mereka dari waktu ke waktu perlahan mengkonsolidasikan kekuatan politik dan mulai merambah ke dunia bisnis.
Dari keempat tipe di atas sangat berdampak terhadap keadaan negara. Seiring waktu berjalan, negara menjadi entitas yang tunduk karena kekuatan kolaborasi mereka satu sama lain. Bentuk kolaborasinya, merancang berbagai agenda kebijakan sesuai seleranya.
Dampak lainnya bisa kita telusuri dalam kajian Jeffrey A. Winters (Oligarchy and Democracy in Indonesia, 2013). Winters mengatakan, oligarki secara material menciptakan ketimpangan kepemilikan material (baca: kekayaan) yang cukup ekstrem, yang dapat menyebabkan kesenjangan politik yang ekstrem pula. Menurutnya, penyebab kekuatan oligarki di Indonesia terus dominan karena berhasil mendistorsi infrastruktur hukum negara menjadi lemah.
Dalam gambaran di atas, banyak anak muda yang berhasil terlibat di dalam sirkulasi itu. Mereka adalah bagian dari keluarga penguasa, membangun karir politik secara instan untuk mempertahankan legasi kekuasaan secara struktural.
Katakanlah yang paling mencolok adalah dua anak kandung presiden Jokowi. Mereka adalah bagian dari oligarki yang mendapat manfaat dari kekuasaan. Pertama, dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi politik. Kedua, dengan mudah masuk dalam ranah kekuasaan untuk mengobrak-abrik sistem demokrasi yang telah tertata. Keduanya kemungkinan besar dapat mengontrol politik dari level nasional hingga lokal.
Selain dua anak kandung presiden Jokowi, kategori oligarki lainnya adalah para miliarder muda yang memiliki usaha di bidang ekstraktif, penguasa tanah negara untuk lahan perkebunan, keluarga pendiri partai politik, yang rata-rata memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan politik negara.
Misalnya, pernah kasus dua anak muda yang menjadi staf khusus presiden Jokowi, Belva Syah Devara dan Andi Taufan Garuda. Keduanya terlibat dalam penyalahgunaan jabatan untuk kepentingannya perusahaannya. Atas penyalahgunaan jabatan ini, eksistensi mereka di istana disebut sebagai milenial oligarki sebagaimana disentil Wahyudi Akmaliah (2020).
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini mengatakan, mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sekaligus perusahaan yang mereka rintis, seolah-olah tindakan tersebut dibenarkan oleh normalitas hukum.
Belakangan, yang tidak kalah memalukan adalah pusaran kasus korupsi BTS 4G yang melibatkan salah satu pejabat milenial bernama Dito Ariotedjo. Meski hanya berstatus sebagai saksi dalam kasus tersebut, tetapi setidaknya peran Dito adalah gambaran tentang bagaimana peran anak muda yang kehilangan idealisme dalam mengemban amanah publik.
Selain dua anak kandung presiden, Belva Syah Devara, Andi Taufan Garuda, dan Dito Ariotedjo, masih ada deretan anak muda lain yang masuk dalam pusaran oligarki, baik di tingkat nasional maupun lokal. Bahkan ada yang pernah terseret dalam tindak pidana korupsi dan berakhir di penjara.
Setidaknya, kemunculan mereka merupakan fenomena elitisme dan kekuasaan oligarki yang makin menguat untuk mengubah wajah demokrasi dalam kendali kaum muda. Namun, apakah kendali mereka dari kalangan oligarki itu dimulai dari proses yang setara dengan anak muda lain yang hanya memiliki kecukupan intelektual?
Peranan mereka menarik ingatan kita untuk pergi menjelajahi sekelompok anak muda yang disebut sebagai Robber Baron di Amerika abad ke-19. Robber Baron diidentik sebagai referensi negatif untuk para pebisnis yang mengumpulkan kekayaan dengan mencuri kepemilikan publik, yang dianggap kejam dan tidak etis (Will Kenton, 2022).
Mereka menguras berbagai sumber daya negara dan mempengaruhi aturan demi menguntungkan pribadi. Burton W. Folsom (The Myth of Robber Barons: A New Look at the Rise of Big Business in America, 2018), dalam buku ia meneliti peran pengusaha kunci dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari tahun 1850 hingga 1910 yang di dalamnya terdiri dari beberapa pengusaha yang meniti karir bisnisnya di usia muda.
Mereka adalah Cornelius Vanderbilt yang merintis usaha sejak usia 16 tahun. John D. Rockefeller memulai bisnisnya di usia 20 tahun, James J. Hill memulai karir bisnis di usia 17 tahun, Andrew Mellon sekitar 28 tahun melanjutkan usaha ayahnya di sektor keuangan. Demikian Charles Schwab yang terkenal sebagai pengusaha yang unggul di usia 35 tahun.
Apakah peranan dari eksistensi sekelompok anak muda pebisnis Indonesia dan pejabat negara yang saya sebutkan di atas adalah manifestasi Robber Baron? Saya menyebut mereka anak muda tapi oligarki, karena menduduki jabatan publik hanya untuk meraup keuntungan pribadi. Aturan diacak-acak sesuka hati. (*)