Oleh: Zahra Riyanti
Mahasiswa Pascasarjana MMPT UGM & Aktivis Muslimah
___
KONFLIK Israel-Palestina kembali terjadi pada Senin 7 Oktober 2023. Peristiwa ini mengejutkan dunia international, Arab dan Islam. Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca serangan tiba-tiba oleh faksi Hamas Palestina ke Israel dekat perbatasan Gaza. Hamas menamai serangan mereka sebagai “Operasi Badai Al-Aqsa (Thaufan Al-Aqsa)” dan mengajak para pejuang perlawanan di Tepi Barat serta negara-negara Arab dan Islam untuk ikut serta dalam pertempuran ini.
Selang beberapa waktu Israel pun membalas serangan dengan lebih brutal yang pernah ada dari sebelumnya. Sejarah mencatat konflik kali ini memakan korban terbanyak dalam empat dasarwasa, seperti yang dirilis oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dari Kementerian Kesehatan Gaza dan keterangan resmi pemerintah Israel. Bahwa korban mencapai 5.200 jiwa dan 18.500 korban luka dari kedua belah pihak selama periode ini.
Bermula sejak muncul animo di tubuh masyarakat Palestina untuk merespons serta menyikapi berbagai bentuk aneksasi dan genosida berulang yang dilakukan Israel, Hamas akhirnya jadi lokomotor utama sebagai tonggak aktivisme intifadah II atas pencaplokan tanah Baitul Maqdis selama puluhan tahun oleh entitas zionis, setelah sebelumnya pernah diprakarsai oleh Hizbullah dan pasukan militan gabungan lainnya. Sejak 1917 pasca lahirnya dekrit James Balfour, koloni Yahudi mulai bermigrasi secara perlahan sampai puncak terproklamirkannya negara nasional Israel. Sejak saat itu berbagai bentuk upaya deportasi hingga agresi dilancarkan dengan kejinya tanpa ampun dan dukungan politik pihak manapun meski diapit oleh banyaknya negeri-negeri Muslim.
Berikutnya, jika bercermin pada sejarah lama permulaan konflik ini juga diakibatkan setelah kekalahan Arab dalam perang Arab-Israel tahun 1948, juga kekalahan Mesir saat terjadi krisis Suez tahun 1956, berbuntut pada perang enam hari pada 5-10 Juni 1967. Perang enam hari ini berlangsung antara Israel menghadapi gabungan tiga Negara Arab, yaitu Mesir, Yordania dan Suriah. Ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, jalur Gaza, semenanjung Sinai, tepi barat, dan dataran tinggi Golan.
Hasil dari peperangan ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini. Tujuh wilayah-wilayah yang telah dimenangkan Israel masih berbuntut panjang. Akibat dari hasil kemenangan Israel juga membawa perubahan religius seperti larangan memasuki kota suci Yerusalem. Israel mempersulit pemuda Muslim dan Muslimah untuk beribadah dengan alasan keamanan. Hal ini menyebabkan Negara Arab ingin melakukan perebutan kembali wilayah yang telah dimenangkan oleh Israel.
Proses perdamaian pun sebetulnya telah dilakukan antara kedua negara ini melalui proses perdamaian Oslo pada tahun 1993. Namun pada tahun 1996 kerusuhan kembali terjadi di terowongan Al-Aqsa. Kerusuhan ini terjadi beberapa hari dan menelan banyak korban. Israel terus melakukan serangan terhadap Palestina. Serangan Israel meningkat pada tahun 2008 di Gaza. Israel meluncurkan roket di wilayah Hamas dan warga sipil pun ikut berjatuhan. Hamas yang akhirnya dibentuk saat itu menjadi primadona militer pun membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh Israel. Warga sipil Palestina yang telah menjadi korban akibat konflik antara kedua negara tersebut. Israel memblokade semua bantuan yang akan diberikan kepada warga Palestina, mengunci mereka dalam ketakutan serta derita berkepanjangan, seperti sumber air utama yang telah diracuni, listrik dipadamkan total, internet yang terputus akses, rumah sakit yang cacat mobilisasi dan masih banyak lagi. Ini adalah kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah, tak ayal Israel harus dibinasakan dalam kamus Hamas.
Tanah Palestina di masa lampau dikenal dengan Kan’aan meliputi daerah seluas 25.000 km terletak di tepi laut Mediterania dan berbatasan dengan Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon. Palestina adalah tanah yang subur dengan iklim yang sedang. Secara geopolitik, Palestina merupakan negeri yang strategis namun sensitif. Di dalamnya terdapat Kota Jerusalem yang dijuluki sebagai al-Quds oleh umat Islam yang berarti kota suci dan dibangun di bukit Golgota yang terletak di puncak bukit Moriah bersama dengan kuil Yehoveh yang diyakini tempat penjamuan akhir Yesus sebelum disalib menurut umat Nasrani. Bukit ini menjadi salah satu tempat penting di Palestina. Pada sisi sebelah timurnya terdapat bukit Zion yang merupakan rumah tuhan menurut versi keyakinan Yahudi, sementara pada sisi seberangnya, yakni sebelah barat dapat dijumpai bukit Olives tempat Isa diangkat naik ke surga.
Disamping itu, selama 13 tahun pertama kenabian, Masjidil Aqsha di Jerussalem dijadikan kiblat salat pertama bagi umat Islam. Ketetapan ini baru mengalami perubahan ketika turun wahyu untuk mengganti arah kiblat ke Masjidil Haram (Ka’bah) di Makkah pada tahun 2 Hijriyah. Untuk itu, posisi Jerussalem menjadi sangat penting sebagai salah satu kota suci bagi umat Islam setelah Makkah dan Madinah.
Jerussalem baru dapat ditaklukkan dan menjadi wilayah kekuasaan Islam sejak masa khalifah Umar bin Khatab. Pada masa kepemimpinannya, terjadi serangkaian penaklukan ke beberapa wilayah sekitar Jazirah Arab seperti Iraq, Syiria, dan Mesir dengan memperoleh kemenangan yang gemilang. Mereka berhasil menaklukan Persia pada Perang Qadisiya yang berlangsung pada 637 M dan berakibat runtuhnya ibukota Persia, Ctesiphon. Kekuatan adidaya kedua yang berhasil dirobohkan adalah kerajaan Byzantium di Anatolia. Walaupun mereka tidak mampu menduduki kekuasaan Byzantium, namun memperoleh kemenangan pada Perang Yarmuk di Palestina Utara pada 636 M. Berselang dua tahun kemudian, Jerusalem dapat ditaklukkan pula sehingga seluruh Palestina menjadi daerah kekuasaan Islam.
Adapun ide penyatuan komunitas Yahudi sedunia dipicu oleh tulisan Theodore Herzl, seorang jurnalis Venesia (1860-1904) dalam bukunya “The Jewish State” yang dipublikasikan pada tahun 1896. Sejumlah kaum Yahudi mulai mengambil langkah politik menegakkan Negara Yahudi dengan menyelenggarakan Kongres Zionis se-Dunia Pertama di Basel, Swiss, yang mengumpulkan para Zionis dari berbagai aliran dan golongan sosial. Mereka mendirikan Organisasi Zionis Sedunia (World Zionist Organization) yang menyerukan kepada bangsa Yahudi agar mendirikan tanah air atau tempat tinggal untuk kaum Yahudi di Palestina (Meuleman, 2002: 22). Langkah mereka didorong dan didukung oleh pemerintahan Lyold George di Inggris dan beberapa tokoh berpengaruh di Amerika.
Dengan fakta inilah, Palestina dapat disimpulkan memiliki situs geopolitik yang luar biasa melibatkan berbagai faktor bahkan sosio historis yang melingkupi semua cerita spiritual antar agama di tanah Al Muqaddas yang sesungguhnya telah memakan zaman dan pelaku sejarah.
Pasca bergulirnya aksi Hamas sebagai pelaku awal bergejolaknya tensi politik antar Palestina dan Israel, media mainstream tak luput sedikit pun dalam menyoroti berbagai rentetan peristiwa real di lapangan, media sebagai nara hubung fakta aktual dan realita yang benar adanya, nyatanya telah menyajikan beragam giringan narasi dan wacana yang tidak lepas dari kepentingan politik negara-negara besar di kawasan itu. Berita yang memuat informasi seperti apa masalah, yang terjadi justru menjadi alat brain wash (cuci otak) dan alat polarisasi masyarakat yang berakhir dengan terbentuknya kubu-kubu dalam memandang isu kedua negara tersebut.
Disamping itu, konflik Palestina-Israel kali ini, bukan hanya perang roket dan peluru kendali yang berkobar, tetapi juga opini publik yang ikut mengemuka yang jauh lebih dahsyat dari pada nyala api bom dan berbagai keganasan alutista di sana. Masing-masing pihak mengklaim sebagai pihak pemegang kebenaran dan pihak lain dituduh sebagai pendusta dan pengkhianat. Seperti dilansir dari beberapa media internasional Eli Cohen mewakili Menteri Luar Negeri Israel telah mengumumkan adanya penggelontoran dana besar dalam menyewa buzzer juga influenser terkemuka untuk advokasi isu Israel dalam mencari dukungan dan simpati publik untuk mencecar Hamas. Senada juga dengan laporan yang dibuat peneliti Universitas Oxford yang menguak dana buzzer di Israel bisa mencapai 100 juta dollar AS, atau Rp1,4 triliun. Dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, kucuran dana pendengung Israel berada di level high capacity.
Masih segar ingatan kita pada awal membuncahnya berita Hamas memulai eskalasinya, opini publik di Indonesia terpecah belah antara pro dan kontra. Banyak kalangan menuduh Hamas dan Palestina sebagai aggressor dan menggambarkan Israel dan Yahudi sebagai korban yang mempertahankan diri. Realita menunjukan Berbagai konten video dan foto massif bertebaran dengan framing negatif terhadap eksistensi Hamas tanpa ada keterangan fakta dan pertanggungjawaban dari pihak agensi media manapun yang mem-blow up kabar miring itu, Hamas akhirnya diserbu dengan kecaman dan hujatan.
Selain itu, monsterisasi perlawanan Palestina yang digawangi Hamas ini terus digalakkan, media kurang lebih telah memainkan politik devided et impera untuk mengotak-ngotakan pandangan umat Islam terhadap perjuangan suci nan mulia yang telah dicurahkan oleh sayap militer Palestina tersebut. Mereka tak ada lelahnya turut menyerang konsep jihad dan Khilafah yang akan menjadi tujuan agung perjuangan kaum muslim yang berada disamping Palestina.
Kita patut bertanya, mengapa para pemimpin dunia Islam yang mendukung gencatan senjata Palestina tidak sepenuhnya melibatkan diri dalam persoalan Palestina? Negara-negara muslim saat ini hanya bisa mengeluarkan berbagai kecaman dan kutukan yang bagaikan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tidak pernah dan tidak akan didengar, apalagi berpengaruh terhadap bombardir Israel atas Palestina. Jika saja para pemimpin dunia Islam peduli dengan muslim Palestina, bisa saja mereka mengirimkan bala militer dan donasi peralatan perang mereka untuk melawan agresi bersenjata Israel. Sayangnya, normalisasi hubungan diplomatik negeri-negeri kaum muslim dengan militer yang tangguh, bersama negeri kapitalis dan penjajahan Barat, membuat para pemimpin negara muslim tidak berkutik dan malah bersembunyi di balik ketiak penguasa kapitalis.
Palestina pun makin menderita tanpa adanya bantuan riil dan ketegasan para pemimpin negara muslim terhadap penjajahan Israel. Ditambah lagi sistem sekuler kapitalisme yang mewujudkan sekat-sekat nasionalisme, menjadikan umat Islam bercerai-berai. Paham ini telah “menyuntik mati” para pemimpin muslim hingga lumpuh untuk bertindak tegas di hadapan para musuh Islam, di samping adanya ikatan normalisasi hubungan diplomatik tersebut.
PBB yang digadang-gadang menjadi lembaga perdamaian dunia pun turut tak bergigi tidak bisa berbuat apa-apa. Saat beberapa negara mengeluarkan resolusi terkait Palestina, PBB justru akan memfasilitasi AS sebagai negara penjajah yang kerap kali mengeluarkan vetonya. Jelas bagi kita bahwa AS selalu setia di belakang dan mendukung Israel serta aktivitas penjajahannya.
Melihat politik luar negeri AS, negara adidaya itu memang memiliki kepentingan di balik penjajahan Israel di Palestina dan Timur Tengah. AS mendudukkan Israel yang memiliki posisi tawar di wilayah Timur Tengah agar politik Islam tidak segera bangkit di sana. Walhasil, AS jelas akan selalu menyokong dan membela apa pun yang dilakukan Israel. Kalaupun kemudian akhirnya PBB menyarankan adanya solusi dua negara di Palestina ataupun adanya gencatan senjata, itu adalah pilihan yang menguntungkan Israel dan tidak menyolusi apa pun terhadap Palestina dengan kondisi wilayahnya yang makin menyempit akibat invasi Israel. Bahkan, Palestina dan entitasnya saat ini sedang berusaha dihilangkan dari peta dunia.
Disamping itu, terkait negara-negara besar yang ikut tanggap dengan situasi Palestina seperti China, ternyata juga tak lepas dari kepentingan politik terselubung, seperti pada pemberitaan tahun sebelumnya mengutip dari Socialistchina (12-12-2022), Presiden Cina Xi Jinping melakukan kunjungan kenegaraan keduanya ke Arab Saudi, sekaligus menghadiri KTT Negara-negara Cina-Arab pertama dan KTT Cina-GCC (Gulf Cooperation Council) pertama di Riyadh (09-12-2022).
Selain membahas kerja sama ekonomi, Xi Jinping juga memberikan pernyataan terkait Palestina. Dalam pidatonya ia mengatakan, baru-baru ini melalui upaya negara-negara Arab, kemajuan penting telah dicapai dalam rekonsiliasi intra-Palestina. China akan menyambut baik perkembangan itu. China dengan tegas mendukung pembentukan negara Palestina merdeka yang menikmati kedaulatan penuh berdasarkan perbatasan pada 1967 dan dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Saat ini China telah mengirimkan beberapa kapal induk yang bermuatan lengkap logistik alat bantu militer dan telah tiba di perairan timur tengah. Dukungan China terhadap Palestina ini dinilai oleh pengamat hubungan internasional Budi Mulyana bukanlah hal baru dan menjadi upaya China menaikkan level politiknya menyaingi AS.
Adapun Rusia yang menggandeng iran dalam menyuplai segala bantuan alutista juga tidak lepas dari pamor politik serta upaya unjuk kekuatan sebagai negara produsen alat berat dan logistik perang di timur tengah, sebab gejolak perang dan berbagai dinamikanya adalah perebutan pengaruh dan kepentingan negara-negara super power. Belum lagi hubungan AS dan Rusia yang masih diselimuti ketegangan, maka Rusia benar-benar tahu di mana kakinya harus berdiri untuk mengamankan kedudukannnya di seberang AS.
Pada akhirnya, Palestina benar-benar terpenjara dalam ketakutan dan nestapa, sebab telah tertemboki oleh banyaknya penghalang rasa kemanusiaan, yakni batas-batas teritority dan warna bendera, di mana tak ada yang mau dan murni berdiri karena peduli dan empati kecuali organisasi kemanusiaan saja. Problem Palestina akhirnya sudah seharusnya membuka cakrawala baru di mata kaum muslim bahwa nation state yang diusung negara-negara barat sejatinya paradoks dan malpraktik dan hanya jadi tools untuk memperlemah negeri-negeri muslim dan sekaligus menjadi bukti konsep kehidupan bernegara ala barat tersebut amat sangat rapuh dan menjijikan.
Secara paradigmatik harus dipahami oleh setiap muslim dalam memandang akar masalah Palestina-Israel, yakni apa yang saat ini terjadi di Palestina adalah kolonialisasi/penjajahan dan pendudukan Israel atas kaum muslim di Palestina. Dengan memahami fakta ini, hal yang dilakukan Hamas dan rakyat Palestina adalah bentuk perlawanan atas pendudukan yang selama ini Israel lakukan.
Seperti yang dikatakan oleh Kepala Biro Politik dan Hubungan Internasional Hamas Basim Naim dalam wawancara eksklusifnya di TVOne. Ia mengatakan bahwa serangan 7 Oktober 2023 yang mereka lakukan adalah sebagai upaya perlawanan atas 75 tahun penjajahan Israel terhadap Palestina, sekaligus ingin menghancurkan tembok yang mengisolasi Gaza dari dunia luar. Ia juga menegaskan bahwa hal itu merupakan bentuk pembelaan terhadap Masjidil Aqsa yang selama ini dikotori oleh perilaku biadab Zionis Israel.
Atas aksi tersebut, Barat bereaksi keras dengan menyebut perlawanan tersebut sebagai perbuatan teroris. Teroris teriak teroris, begitulah Israel. Negara Zionis dengan segudang pelanggaran hukum internasional, kebengisan yang di luar nalar, serta keangkuhan yang membuat dunia sebenarnya sudah muak dengan tingkah pongahnya. Mirisnya, masih saja ada muslim yang berdiri dalam barisan pendukung Israel. Mungkin mata hati dan pikiran jernihnya sudah mati dan tergadai oleh kesenangan dunia yang melenakan. Lebih miris lagi, manakala kita melihat diamnya penguasa negeri-negeri muslim atas genosida yang Israel lakukan terhadap Palestina. Sejauh ini, para penguasa muslim hanya bisa mengecam, mengutuk, dan menyerukan penghentian perang tanpa aksi nyata.
Faktanya, kita semua tahu bahwa Israel tidak bisa dihentikan dengan bahas diplomasi atau basa-basi kecaman. Israel hanya bisa ditundukkan dengan kalimat jihad atau perang. Buktinya, sudah lebih dari 30 diplomasi dikeluarkan PBB, tetapi Israel bergeming dan tidak patuh terhadap hukum internasional. Sudah banyak bangunan sekolah, masjid, dan rumah sakit dibangun, tetapi pada akhirnya dibombardir juga. Ini artinya, satu-satunya cara menghentikan kekejian Israel adalah memeranginya.
Oleh sebab itu, langkah konkret yang harus dilakukan penguasa negeri-negeri muslim adalah mengirimkan pasukan militer ke Palestina untuk menghentikan serangan militer Israel agar penjajahan Israel bisa dihentikan. Sayangnya, sekat-sekat nasionalisme membuat penguasa-penguasa negeri muslim terhalang menolong saudara muslimnya di Palestina. Mereka lebih memilih mengirimkan bantuan atau dana kemanusiaan ketimbang harus mengerahkan pasukan militer untuk memerangi Israel, padahal sebaran serdadu militer dunia Islam bagai 1000 banding 10 dengan Israel.
Berharap pada PBB dan komunitas internasional ibarat pepesan kosong. Lembaga-lembaga itu tidak akan berdiri tegak membela Palestina dan melawan Israel. Umat Islam harus tahu bahwa penderitaan kaum muslim Palestina dimulai dari deklarasi Balfour dan perjanjian Syces-Picot pada 2 November 1917 yang mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah rumah raya bagi bangsa Yahudi di Palestina.
Dari sinilah, sejarah lahirnya zionis muncul. Resolusi 181 yang dikeluarkan PBB pada akhir 1947 menambah panjang derita Palestina. Resolusi tersebut membagi tanah Palestina bagi bangsa Yahudi dan Arab. Sejak saat itu, pencaplokan Yahudi atas Palestina terus berlangsung. Lantas, bagaimana mungkin kita meminta pertolongan pada lembaga yang berkontribusi besar terhadap penjajahan Zionis di tanah kaum muslim?
Bantuan sosial kemanusiaan juga tidak akan efektif menghentikan agresi brutal Israel terhadap Palestina. Bantuan tersebut sifatnya hanya meringankan beban dan derita kaum muslim berjangka pendek, bukan menghilangkan penjajahannya.
Satu-satunya jalan untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel adalah dengan agresi militer negeri-negeri muslim yang bersatu di bawah komando seorang Khalifah. Pemimpin-pemimpin negeri muslim faktanya tidak melakukan itu akibat sekat negara-negara bangsa. Ketiadaan Khilafah membuat negeri-negeri muslim terjajah dan terisolasi. Oleh karenanya, penegakan Khilafah sebagai solusi atas Palestina dan negeri muslim lainnya adalah perkara mendesak dan penting. Tegaknya Khilafah harus terus diperjuangkan dan diserukan hingga kaum muslim memiliki kesadaran menjadikan Islam sebagai aturan bernegara.
Umat harus memiliki kesadaran politik bahwa nasib Islam dan kaum muslim tidak akan mulia dengan ikatan kebangsaan. Kemuliaan dan kehormatan Islam dan kaum muslim hanya akan terwujud dalam ikatan akidah Islam serta penyatuan negeri-negeri muslim dalam naungan Khilafah. Khilafah adalah perisai dan rumah bagi kaum muslim, yaitu tempat mereka berlindung dari kejahatan, konspirasi, dan propaganda yang dibuat orang-orang kafir. Palestina dan negeri-negeri muslim hanya butuh one-state solution, yaitu terlindungi di bawah sistem pemerintahan Khilafah.
Telah tampak bahwa entitas Yahudi ini menjadi kuat karena disokong oleh kekuatan besar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Palestina pun didukung oleh kekuatan besar kaum muslim. Jika Barat yang kafir bersatu membela entitas Yahudi, mengapa para pemimpin dunia Islam hanya diam dan mengoceh belaka? Seolah-olah mereka tidak pernah membaca firman Allah SWT:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian” (QS. Al-Baqarah [2]: 191).
Oleh sebab itu, Palestina hanya bisa dibebaskan jika Khilafah berdiri untuk melindungi tanah yang Allah berkahi tersebut. Khilafah pun akan mengusir para penjajah dari dunia Islam. Dahulu Palestina juga masuk ke dalam pelukan dan perlindungan kaum muslim pada masa Kekhalifahan Umar bin Al-Khaththab ra. Saat itu, Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab ra menandatangani perjanjian Umariyah bersama Uskup Yerusalem Sofronius. Di antara klausulnya adalah tidak mengizinkan seorang Yahudi pun tinggal di tanah Palestina.
Pada masa Rasulullah SAW, kaum Yahudi di Madinah juga terusir dari Madinah setelah mereka melakukan pengkhianatan terhadap negara Islam dan kaum muslim. Kaum Yahudi Bani Qainuqa diperangi dan diusir oleh Rasulullah SAW setelah mereka melecehkan kehormatan seorang muslimah dan membunuh seorang laki-laki pedagang muslim yang membela muslimah tersebut. Yahudi Bani Quraizhah diperangi oleh kaum muslim setelah mereka bersekongkol dengan kaum musyrik Quraisy untuk membunuh Nabi SAW pada Perang Ahzab.
Khilafah pula yang membentengi Palestina untuk terakhir kali dari tipu daya gembong Yahudi Theodor Herzl yang merayu Khalifah Sultan Abdul Hamid II. Kala itu, Herzl mencoba menyogok Khalifah dengan uang yang sangat banyak dan berjanji akan melunasi utang-utang Khilafah Utsmaniyah. Namun, harga diri dan girah Islam Sultan Abdul Hamid II amat tinggi. Ia menolak tawaran itu, bahkan meludahi Herzl.
Oleh karena itulah, eksistensi Khilafah Islamiyah adalah vital dan wajib bagi kaum muslim, karena ia akan menjadi pelindung umat. Khilafah adalah perisai yang akan melindungi umat sehingga mereka merasa aman dan nyaman. Dengan Khilafah, harta, darah dan jiwa umat tidak akan tumpahkan sia-sia. Akan ada pembelaan dan pembalasan untuk itu semua. Wallahu ‘alam bishawwab. (*)