Opini  

Investasi Budaya

Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo Nomor Urut 03

___

PRINSIP dasar kehidupan bermasyarakat berangkat dari seperangkat nilai yang dibentuk dan membentuk individu maupun kelompok sosial sebagai sebuah relasi yang melembaga. Robert Putnam menjelaskan suatu institusi sosial dapat berkembang baik dan tidaknya berkaitan kuat dengan fungsi nilainya, yakni berupa jaringan sosial, norma, kepercayaan membudaya yang disebut modal.

Pada masyarakat dikenal beberapa modal yang beberapa jenisnya telah saya ulas pada artikel sebelumnya, dan salah satunya yang akan diulas pada artikel ini adalah, modal budaya. Mengapa modal budaya menjadi begitu penting dan perlu mendapat perhatian serius oleh suatu masyarakat dikarenakan terkait erat dengan pendidikan dan kebudayaan manusia. Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya tempat di mana seseorang tumbuh dan berkembang.

Pada lingkungan keluarga atau lingkungan sosial anak-anak diajarkan, dididik untuk meningkatkan kemampuan berpikir, bertindak, berbudi pekerja dan sopan santun adalah bagian dari budaya pendidikan paling dasar. Sebab pendidikan merupakan nilai sosial-budaya yang diinvestasikan kepada seseorang atau anak-anak melalui proses sosialisasi, belajar, mengasah kemampuan berpikir, bertindak secara terus-menerus dan hingga menjadi habitus.

Di masyarakat awam memang belum banyak dibahas tentang modal budaya apalagi dikaitkan dengan pendidikan, padahal modal budaya ini mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan pendidikan dan pembinaan karakter, sebagaimana yang disampaikan oleh Jaeger bahwa modal budaya adalah sumber yang langka yang melengkapi seseorang dengan pengetahuan, keterampilan, dan rasa tanggung jawab dalam system pendidikan yang telah diakui dan dihargai oleh institusi serta rekan sejawat.

Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan, (Heri M. Zulfiati dkk, 2019). Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah usaha membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing.

Oleh karena itu, bila kita menafikkan pendidikan dari proses pembudayaan sama berartinya mengalienasikan hakekat manusia dan merupakan alienasi dari proses kemanusiaan. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia serta perusakan terhadap moral anak bangsa. Persoalan inipun tidak bisa dilepas-pisahkan dari peran institusi pendidikan.

Ciri-ciri institusi pendidikan yang dapat dikatakan mengalienasi proses pendidikan, perusakan moral anak bangsa salah satunya adalah masalah plagiarism. Indonesia sudah cukup banyak oknum-oknum yang melakukan tindakan plagiat terhadap karya orang—termasuk Maluku Utara. Misalnya di salah satu buku berjudul: “Kejahatan Dunia Intelektual” (Agus Sb, dkk, 2020) yang mengulas tentang perdebatan mengenai pelanggaran etika akademik, kejahatan dunia akademik, pelacuran intelektual (pembuatan proposal-skripsi) oleh oknum dosen di salah satu perguruan tinggi di Ternate. Pelanggaran etika akademik oleh dosen ini sama halnya menginvestasikan kejahatan kepada generasi oleh pihak perguruan tinggi.

Fakta mengenai tindakan plagiarism dan ditambah lagi percepatan pemajuan teknologi digital yang tak terkontrol sekarang ini tak hanya menciptakan generasi instan, tetapi juga bakal mempersiapkan calon pemimpin publik berwatak agresif dan buas. Jika ditinjau dari segi etika dan moral, maka pendidikan tanpa kebudayaan, maka manusia layaknya homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lain).  Ali Syariati dalam On the Sociology menjelaskan, bahwa sejatinya manusia tak bisa dipisahkan dari sejarah kekerasan dan hawa nafsu. Di dalam diri manusia memiliki kualitas predator, kejam, tidak manusiawai dan saling rebutan.

Hal ini dapat dicermati melalui sikap pejabat publik yang merasa berkuasa lalu anti kritik, mengancam, meneror para pengkritik atau lawan-lawan politiknya dan semakin maraknya perilaku koruptif. Adalah bukti otentik yang menunjukkan bahwa pemaknaan pendidikan sebagai sebuah proses pemudayaan tak mendapat kedudukan penting di bangsa ini—pendidikan justru dimaknai sebagai sebuah jalan pintas memperoleh ijazah atau gelar sarjana dan agar meningkatkan status sosial maupun ekonomi.

Budaya instan dan penyimpangan yang dibentuk oleh dunia pendidikan maupun dalam tubuh pemerintahan adalah sebuah tantangan sekaligus menjadi patologi sosial dan kebudayaan manusia. Padahal bangsa Indonesia memiliki ribuan budaya dari berbagai wilayah, etnis, suku dan agama yang mengajarkan kita tentang adab, etika, moral, bersikap, berperilaku dan terus berupaya untuk melestarikannya. Pun bagaimana ribuan budaya lokal tersebut dikerahkan agar dilembagakan dalam dunia pendidikan sebagai kerangka dasar pendidikan untuk menata karakter setiap individu.

Kebudayaan menurut Clifford Geertz (1926-2006) merupakan system keteraturan dari makna dan symbol yang dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, pengembangan pengetahuan, hingga cara bersikap. Dengan demikian pendidikan berkebudayaan adalah proses pembentukan pengetahuan yang meliputi intelektualitas, moralitas dan integritas. Ketiga hal tersebut adalah aset paling penting dalam dunia pendidikan yang mestinya diinvestasikan secara matang kepada generasi demi untuk mewujudkan pembangunan berkeadilan. (*)