Opini  

Sultan Baabullah, Ksatria dari Timur yang Berkeadaban Pengusiran Damai Orang Portugis

Oleh: M Ronny Saleh, ST
Presidium Madopolo Karamat

___


PADA 27 Desember 1575, Gubernur De Lacerda mengibarkan bendera putih tanda menyerah kepada Sultan Baabullah, dan bendera Kerajaan Portugis di Benteng Nuestra Senhora del Rosario diturunkan. Pasukan Portugis berangsur-angsur meninggalkan pulau rempah-rempah tersebut, menuju ke ujung Pulau Timor sebagai tempat pelarian, sebab di Nusa Tenggara Barat telah ditempatkan Sangaji Bima dan Sangaji Kore, di Nusa Tenggara Timur telah ditempatkan Sangaji Lawayong dan Sangaji Solor, dan di Timor Timur telah ditempatkan Sangaji Mena dan Sangaji Dili.

Pada tanggal 31 Desember 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir orang Portugis keluar dari Maluku dalam keadaan yang amat terhina, namun tak satupun disakitinya secara langsung. Seorang kapten dan sebelas serdadu Portugis yang ditawan oleh Baabullah sebagai jaminan juga diserahkan kepada Portugis yang dikirim ke Ternate.

Perlakuan Baabullah terhadap tahanan Portugis ini ditulis dalam dokumen berbahasa Spanyol bertajuk Relación Dueñas, yang kemudian dituangkan ke dalam Documenta Malucensia, sebagai berikut:

“… Que se avian de quedar doze portugueses con él para en guarda de la fortaleza, porque él no la tomava ni tiraniçava al Rey de Portugal. Sino que la queria tener en prenda hasta que le hiziesen justicia y lo desagraviasen la muerte de su padre.”

Terjemahan:
“… Bahwa mereka (Baabulah dan pasukannya) berhati-hati dalam menjaga dua belas tawanan Portugis di dalam benteng, dia tidak secara langsung memenjarakannya, tidak pula menganiayanya untuk menunjukan (kekuatan) kepada Raja Portugal. Sebaliknya, dia hanya ingin menawan orang-orang ini sampai keadilan diberikan kepadanya (kepada Baabulah) dan kematian ayahnya ditebus.”

Adalah pengakuan dari pihak musuh yang penting dicatat sebagai bukti bahwa memang Baabullah bersikap ksatria. Setelah orang Portugis diiizinkan keluar benteng, dua belas tawanan Portugis yang lain dijaga dengan baik. Baabullah hanya menawan orang sampai keadilan diberikan setimpal atas kematian ayahnya.

Tiga hari setelah menyerah, sebuah kapal Portugis yang penuh dengan bahan-bahan makanan tiba di Pelabuhan Talangame, Ternate, dan disambut baik oleh Baabullah. Portugis yang telah menyerah kemudian diberangkatkan menuju Ambon. Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke Malaka, sedangkan sebagian lainnya memilih untuk kembali ke Timor, di mana Portugis masih menancapkan kekuasaanya di sana.

Setelah kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan Benteng Nuestra Senhora del Rosario sebagai pusat kekuasaan, sekaligus istana yang ia renovasi dan perkuat. Ia mengubah nama benteng tersebut menjadi Benteng Gamlamo, yang berarti “kampong besar”.

Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sebagai sekadar pengingat bahwa bangsa Maluku-lah yang berdaulat atas bumi Maluku. Sultan Baabullah, juga penggantinya yaitu Sultan Saidi, menempati benteng sampai pada tahun 1606. Kota Sampalo (Kota Tua Ternate) dan Istana Sultan Baabullah di Komplek Benteng Gamlamo (Sumber: K. Nesseler, Documenting the East Indian Journey led by Admiral Jacob Cornelius van Neck (1598), featuring Depictions of: Mauritius, Tuban, Banda, Ternate, Molluccas, Banda, and Gammalamme (New York: Arader Galleries).

Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, Tengah, Timur, dan Barat, hingga Kepulauan Marshall bagian timur. Dari Filipina (Selatan) di utara sampai sejauh Kepulauan Kei dan Nusa Tenggara di bagian selatan. Di setiap wilayah atau kawasan tersebut, ditempatkan wakil-wakil sultan, atau sangaji.

Kemenangan Baabullah atas Portugis membuatnya sangat dihormati di antara penduduk asli di wilayah tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, sebagian besar wilayah pulau di bagian timur berada dalam pengaruhnya.

Keberhasilan Sultan Baabullah mengusir Portugis memberikan momentum bagi proses Islamisasi lebih lanjut di Maluku secara keseluruhan. Sultan, misalnya, memberikan peluang bagi sebagian besar penganut Kristen Portugis di seluruh Maluku untuk menerima Islam sebagai tanda kesetiaan.

Baabullah sudah menjadi “agen propaganda” yang efektif untuk Islam. Melalui kemenangannya, ia mampu meningkatkan kepercayaan diri orang muslim di wilayah Ambon, Buton, Selayar, serta beberapa kerajaan pesisir Sulawesi Timur dan Utara, dan bahkan hingga Mindanao Selatan.

Sultan Baabullah tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan dengan Aceh dan Demak sebagai upaya mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan tiga wilayah ini adalah simbol persatuan Nusantara karena ketiganya merupakan pusat-pusat kekuasaan terbesar dan terkuat di masa itu, yaitu kekuasaan yang merangkai wilayah barat, tengah, dan timur Nusantara dalam satu ikatan persaudaraan, guna mewujudkan kembali apa yang dicetuskan oleh Sultan Zainal Abidin, kakek buyut Baabullah sendiri.

Keperkasaan Sultan Baabullah, termasuk perang besar antara Ternate bersama dengan kerajaan Islam lainnya melawan Portugis, dianggap sebagai perang jihad. Oleh karena itu, Sultan Baabullah diangkat pula sebagai Khalifah Imperium Islam Nusantara oleh Sidang  Majelis Raja-Raja yang bersekutu dengan Ternate pada masa itu. (*)

Penulis adalah Anggota TP2GD Kota Ternate 2019, Letnan Alfiris Kesultanan Ternate, dan Anggota Tim Pembantu Penyusun Naskah Akademik Sultan Baabullah.