Oleh: Yahya Alhaddad, S.Sos., M.Si
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo Nomor Urut 03
___
ARTIKEL saya sebelumnya bertajuk, ”Investasi Budaya” yang publikasikan di laman nuansamalut.com dan di sana saya mengulas tentang pendidikan merupakan bagian dari investasi. Disebut investasi karena pendidikan diletakkan dalam kerangka proses pemudayaan. Melalui pendidikan tinggi seseorang dapat memperoleh pengetahuan, kemampuan, gelar dan jabatan yang diistilah Bourdieu sebagai modal simbolik.
Modal simbolik merupakan sesuatu yang raih melalui usaha kerja keras dan juga melekat pada diri seseorang yang bisa ditemukan dalam tingkatan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat hierarkis, yang terdiri dari struktur sosial hierarkis, orang dibagi ke dalam kelas sosial yang dihargai secara berbeda dalam masyarakat. Masyarakat hierarki sekalipun, lebih terbuka untuk mengubah status sosial melalui pernikahan, pendidikan, bakat, dan kerja keras.
Globalisasi telah meningkatkan peluang bagi orang untuk mengubah status sosial mereka. Namun, masyarakat yang benar-benar adil menuntut agar semua anggotanya dihargai secara setara, terlepas dari latar belakang keluarga, pekerjaan, tingkat pendapatan, atau faktor lainnya merupakan simbol menginvestasikan masa depan.
Status: Kekuatan Simbolik
Status sosial merupakan posisi yang dimiliki seseorang, dengan hak, tugas, dan gaya hidup yang menyertainya, dalam hierarki sosial status didasarkan pada kehormatan atau prestise atas nilai yang didapatkan. Status sosial menyiratkan posisi, jabatan, gelar, pengetahuan dalam kelompok masyarakat baik dalam artian positif maupun negatif.
Status sosial, menurut Weber, didasarkan pada kehormatan, prestise, agama, dan kualitas nonekonomi lainnya. Status sosial akan terbentuk seiring dengan berjalannya waktu, dan hal itu akan dibarengi dengan perubahan kondisi sosial dalam masyarakat tersebut. Dalam kehidupan bermasyarakat perubahan adalah suatu hal yang mutlak dibutuhkan dan perubahan akan beriringan semakin meningkatnya status sosial masyarakat.
Bila kita mengacu pada dunia profesionalism dengan tingkat persaingan begitu ketat sekarang ini, untuk memperoleh suatu pekerjaan dan dengan pendapatan yang layak dibutuhkan basis pengalaman, pengetahuan memadai dan termasuk gelar pendidikan. Apalagi dalam dunia yang semakin terbirokratisasi sekarang ini prosedural normatif adalah paling diutamakan.
Pengetahuan, pengalaman pun selalu butuh pembuktian administratif menjadi indikator utama dan semuanya diperoleh melalui dunia pendidikan, baik formal maupun informal. Secara hierarkis, status pendidikan pun menentukan status seseorang entah itu profesi, kedudukan, jabatan, kualitas pengetahuan dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Misalnya kedudukan atau jabatan tinggi jika bukan karena status pendidikan, kemampuan, bisa jadi juga karena faktor kekuasaan ataupun status ekonomi.
Seseorang dapat dikatakan menduduki posisi tinggi bila mempunyai sesuatu bernilai yang dapat dihargai, dihormati, kemampuan mengendalikan, mempengaruh serta memerintah. Semisalnya status pendidikan tinggi seperti magister, doktor, profesor, guru besar dan sebagian besar dari mereka selalu menempati posisi-posisi strategis seperti dosen, dekan, rektor dan jabatan menteri serta jabatan publik lainnya.
Selain karena status pendidikan, mereka pun memiliki status pengetahuan intelektual memadai yang memiliki pengaruh besar sehingga begitu dihargai dan dapat memerintah sehingga Michel Foucault mengatakan pengetahuan adalah kekuasaan. Status dosen maupun pejabat publik yang memiliki intelektualitas, moralitas, integritas kuat merupakan bagian dari investasi simbolik dan mereka adalah kategori orang-orang hebat yang benar-benar peduli terhadap pembangunan berkeadilan.
Lain halnya dengan kekuatan simbolik yang tidak utamakan tiga hal di atas. Semisalnya dari dimensi ekonomi-politik, tak sebatas masyarakat, politisi, pejabat, tetapi, system kekuasaan pun cenderung dikendalikan para pengusaha yang memiliki kapital ekonomi finansial. Kenyataan ini dapat kita mencermatinya di Kota Ternate, dimana sektor ekonomi dikendalikan oleh pengusaha yang memiliki kapital finansial dan mereka selalu diperlakukan secara istimewa oleh pemerintah.
Misalnya hotel-hotel di Kota Ternate yang menggunakan sumber air bersih tanpa batas maksimum, namun jarang dipersoalkan oleh pemerintah. Sementara di sisi lain sebagian masyarakat kecil masih terus saja mengalami krisis air bersih. Pun toko-toko besar, Indomaret, Alfamidi, Mall, Hypermart dan belum lagi pasar Gamalama yang di dalamnya tempat-tempat strategis di kuasai oleh orang-orang yang memiliki kapital finansial. Bahkan komoditi atau sumber pangan pun sebagian besar berasal dari Sulawesi dan Jawa.
Sementara petani kecil, masyarakat kecil, yang merupakan masyarakat lokal yang tidak memiliki kapital finansial memadai ditempatkan di emparan-emperan jalan untuk memasarkan hasil pertanian dan bahkan seringkali mendapat perlakuan tidak etis bila ada penertiban dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bentuk ketidakadilan ini beroperasi lewat apa yang disebut Piere Bourdieu sebagai kekuasaan simbolik.
Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang tidak mudah dikenali. Untuk menyembunyikan motif yang sebenarnya, kekuasaan simbolik seringkali menggunakan berbagai bentuk sehingga menjadi samar. Dengan cara tersebut, maka dominasi, penyimpangan yang dilakukan tidak akan dirasakan sebagai suatu paksaan oleh pihak lain. Bourdieu menyebutnya sebagai “kekerasan simbolik”.
Kekerasan simbolik dilakukan secara samar ini dapat ditelusuri melalui pelaku usaha yang kerap melakukan lobi-lobi untuk mempengaruhi aturan yang lebih memihak kepada dirinya dengan pengorbanan pihak lainnya yang disebut pemburu rente (rent seekers) (Rachbini, 2006: 126-127). Praktek berburu rente ekonomi juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen.
Penetapan tarif oleh pemerintah untuk kelompok bisnis juga merupakan bagian dari praktik tersebut. Hal yang sama pun terjadi dalam pemberian monopoli impor produk barang yang merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi (Rachbini, 2006: 127-128). Impor produk tak hanya menyingkirkan produk lokal, tetapi juga mengasingkan, menyingkir petani, pengusaha kecil dari ruang sosial dan ekonomi.
Kapasitas Intelektual: Investasi
Status, prestise, jabatan atau citra dalam hal ini berupa sesuatu yang sungguh dapat menghasilkan keuntungan dalam ranah masyarakat. Kekuasaan simbolik bekerja melalui simbol-simbol bahasa untuk menggiring mereka yang didominasi untuk mengikuti makna yang diproduksi berdasarkan kepentingan mereka, yang mendominasi (Bourdieu, 1991:165). Kekuasaan simbolik sering membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan prestise, kelas ekonomi mapan, gelar, status tinggi, keluarga ternama dan sebagainya.
Kekuasan simbolik pun sangat mudah dideteksi dan dibaca pada saat menjelang pemilu. Para pejabat, politisi menggunakan dan memoles bahasa seelok mungkin demi untuk merayu, menggombal, mempengaruhi, mengubah pikiran serta sikap masyarakat demi untuk mencapai suara terbanyak saat pemilu. Keluarga ternama, tokoh adat, masyarakat, agama dan pemuda adalah sasaran empuk menggait basis suara. Pejabat negara bahkan tak segan-segan menggunakan jabatan strukturalnya untuk menekan semua pegawai, ASN dan hingga pemerintah desa.
Bila bahasa tak lagi ampuh, maka salah satu instrument yang merupakan rayuan maut paling ampuh adalah politik uang. Politik uang tak membutuhkan etika politik, pertukaran timbal-balik sebagai nilai investasi jangka panjang (baca: Investasi). Bahkan figur publik yang memiliki kemampuan intelektual memadai dan mengutamakan pembangunan berkeadilan pun terpatahkan oleh rayuan maut (politik uang) (baca: investasi sosial).
Dengan demikian, yang perlu kita menyadarinya adalah kekuatan simbolik seperti jabatan tanpa pengetahuan intelektual memadai dan ekonomi finansial teramat sangat merusak moral serta prinsip demokrasi. Memilih calon pejabat publik berbekal gelar sarjana tanpa kemampuan intelektual dan lebih mengutamakan ekonomi finansial sama berartinya—kita menginvestasikan penyakit, ketimpangan, ketidakadilan serta perusakan terhadap tatanan pembangunan berkeadilan di hari esok.
Pada zaman yang serba carut-marut sekarang ini; merosotnya nilai demokrasi, etika politik dan ketimpangan begitu melebar saat ini, yang paling kita butuhkan adalah kekokohan pengetahuan intelektual, moralitas, integritas dalam memperjuangkan keadilan dan tanpa membedakan apapun status orang lain. Mereka yang memegang prinsip ini adalah kategori orang-orang yang memandang status (gelar, jabatan, prestise, kemampuan dan lainnya) secara setara dan sebagai kekuatan atau investasi simbolik untuk mengubah masa kini dan untuk masa depan.
Jika seorang pejabat publik memiliki kapasitas intelektual memadai, maka pembangunan manusia atau investasi simbolik adalah suatu hal paling substansial untuk diperjuangkan di masa depan. Asumsi paling mendasarnya adalah kerangka, ide, gagasan, konsep dasar mengenai pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan membutuhkan figur publik yang benar-benar matang secara intelektual. Kenyataan ini yang tidak kita temukan pada pejabat publik sekarang ini sehingga baik itu politik, prinsip demokrasi ibarat benang kusut, dan begitu pun fakta pembangungan dalam keadaan mandek. (*)