Opini  

Baca Diri Kenali Ilahi: Sebuah Refleksi Kehidupan

Oleh: Bachtiar S Malawat

___

MENGAPA kamu kafir (ingkar) kepada Allah padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu kemudian dimatikan dan dihidupkan kembali kemudian kepadanyalah kamu dikembalikan.

Kehidupan kita (manusia) hingga saat ini masih merupakan suatu misteri yang sangat sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan manusia, dari manakah manusia berasal? Hal itu masih menjadi tanda tanya yang besar bagi manusia. Tidak ada penjelasan secara kongkret yang menguraikan tentang hal itu. Begitu pula pertanyaan tentang siapakah sebenarnya manusia itu dan masih banyak setumpuk pertanyaan yang tidak dapat dijelaskn oleh ilmu pengetahuan manusia.

Dari kalimat Iqra (Bacalah) sabda kasih tuhan (Allah) telah melampaui cinta dari seluruh kalangan ummat manusia, begitulah cinta terbesar yang pernah diberikan tuhan dalam sejarah peradaban manusia, sebab dalam iqra itulah kecerdasan manusia sebagai fitrah yang diturunkan Allah kepada manusia.

Makhluk Allah yang disebut manusia adalah dzat yang juga terdiri dari dua unsur yaitu Roh dan Tubuh (Jasad), manusia dikatakan hidup apabila kedua unsur tersebut masih bersatu, begitu juga sebaliknya.

Dalam pemikiran kita sebagai manusia, untuk memahami masalah jasad dan rohani tidak akan bertambah (tetap sederhana) apalagi mengalami kemajuan, justru sebaliknya, pemahaman kita akan terus menurun dan terus mengurang meski dalam pikiran manusia dibebani dengan berbagai macam pemahaman dan pemikiran yang meningkat. Pada dasarnya manusia terlalu memikirkan hal-hal yang bersifat materi dan melalaikan hal-hal yang bersifat rohani (akhlak). Jika demikian terjadi, maka derajat serta kedudukan manusia telah hilang dari pangkuannya dan demikian dapat dikatakan sebagai binatang bahkan lebih rendah dari binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Qur’an surah Al A’raf (7) ayat 179.

Dengan berlandaskan pada keyakinan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dalam seluruh ciptaanya. Ini bisa kita temui dalam berbagai diskursus keislaman bahwa kesempurnaan manusia diletakkan pada akal yang menjadi tolak ukur pembeda manusia degan ciptaan yang lain. Roh dan jasad tidaklah berarti jika manusia tidak diberi akal untuk mengetahui jati diri sebagai seorang ciptaan yang punya pencipta. Olehnya, pada prinsip tertentu manusia disebut sebagai pemimpin di muka bumi. Dengan kecerdasan dan kemampuan manusia dalam melihat berbagai aspek kehidupan adalah tuntutan hidup yang diperintahkan Allah. “Dan Kami tidak menciptakan malaikat, jin dan manusia melainkan bersujud kepadaku”.

Dalam kehidupan manusaia, menurut Imam Syafi, penjelasan terkait kehidupan manusia ada tiga yakni pertama Hewani, manusia bersifat hewan, rakus, mementingkan diri sendiri. Kedua Nabati, manusia yang meyerupai tumbuhan, hidup tidak ada perlawanan, berdiam diri dan tidak mengerjakan apa-apa. Ketiga Insani, yakni manusia yang sempurna. Dalam konteks manusia sempurna juga dijelaskan Imam Syafi bahwa dalam mencapai keinginan manusia sempurna, pertama haruslah memiliki wawasan Intelektual untuk memahami segala bentuk pegetahuan yang ada di muka bumi. Kedua wawasan Spritual untuk mengetahui dan menaati ajaran agama dan keimanan diri, dan yang ketiga adalah tanggung jawab sosial untuk kelangsungan kehidupan dalam aspek makhluk sosial yang saling membantu, berguna pada satu dengan yang lainnya.

Degan demikian “Aku Manusia Maka Aku Khalifah” adalah ungkapan yang tidak seharusnya diucapkan tanpa ada keraguan, sebab sesuatu yang ragu akan membuat kita tidak mencapai puncak tertinggi kepercayaan dan keyakinan sebagai manusia. Olehnya, membaca diri sebagai manusia untuk mengenal sang pencipta sebuah pernyataan yang harus dibangun atas kesadaran diri sebagai manusia yang benar-benar sadar akan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang khalifah. Peran dan tanggung jawab manusia semata-mata hanya karena untuk kepada Allah. (*)